Pendahuluan
Dalam tradisi kekristenan, keugaharian[1] merupakan salah satu dari empat keutamaan moral kardinal. Melaluinya seseorang mampu menyangkal diri dari keinginan-keinginan nafsu seksual-duniawi yang tidak teratur karena menyadari bahwa itu semua hanya akan membawa hidupnya pada kesesatan dan dosa. Keugaharian[2] disebut juga pengendalian diri dapat dikatakan menjadi disposisi batin yang urgen karena de facto hingga sekarang masih banyak orang kesulitan untuk bersyukur dan mengatakan cukup atas hidupnya, istimewanya dengan segala macam tawaran duniawi yang tersedia dalam realitas kehidupan sehari-hari.[3] Dampaknya kemudian melahirkan ketimpangan sosial di berbagai aspek kehidupan bersama, terutama karena budaya konsumtif yang telah mewabah, sekalipun tidak sedikit orang yang hidup dalam penderitaan dan kemelaratan akibat mengalami kekurangan makanan-minuman, pakaian, maupun tempat tinggal.
Â
Di samping keugaharian, kerendahan hati juga berperan penting dalam kehidupan manusia, sebab di dalamnya terjadi proses pengenalan diri sejati yang dikembangkan lewat praktik hidup bersama dengan orang lain. Kebersamaan dengan orang lain membangkitkan kesadaran setiap orang supaya tidak hanya berbagi mengenai hal-hal yang baik dalam dirinya, tetapi kepercayaan bahwa Allah menciptakan manusia karena pemeliharaan-Nya. Mereka adalah anak-anak Allah yang diciptakan, jatuh dalam dosa, lalu ditebus, namun sungguh dikasihi.[4] Lebih lanjut, kerendahan hati membimbing seseorang untuk terus berjuang mengalahkan tendensi alamiah manusia yang menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan tidak membutuhkan pertolongan ilahi dalam segala usahanya.[5]Â
Â
Dengan demikian, kebahagiaan tidak dapat disangkal merupakan keinginan hati terdalam setiap orang (apa pun status, RAS, maupun keadaan hidupnya). Pencarian dan pergulatan mengenai arti dan kebahagiaan itu sendiri telah mandarah-daging dalam sejarah hidup umat manusia, sehingga secara instingtif terhubung erat dengan batinnya.[6] Akan tetapi, sering kali kebahagiaan yang dicari membuat seseorang tidak mau dan takut menghadapi kemalangan maupun penderitaan dalam peziarahan hidup. Sikap yang kemudian mengarahkan hidupnya pada kebahagiaan semu-sementara lewat pemuasan nafsu, baik itu seksual maupun materialisme. Pada akhirnya, kebahagiaannya tidak lain adalah hidup dalam kesenangan (hedonisme) dan budaya konsumtif.
Â
Ensiklik Laudato Si' art. 222-227
Ensiklik Laudato Si' merupakan salah satu dokumen Gereja yang membahas mengenai alam sebagai rumah bersama seluruh umat manusia, yang ditulis oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015.[7] Penjabaran isinya terdiri dari enam bab: bab satu 'Apa yang Terjadi dengan Rumah Kita', bab dua 'Injil Penciptaan', bab tiga 'Akar Manusiawi Krisis Ekologi', bab empat 'Ekologi Integral', bab lima 'Beberapa Pedoman Orientasi dan Aksi' dan bab enam 'Pendidikan dan Spiritualitas Ekologis'. Garis besar dari keseluruhan dokumen adalah ajakan Paus kepada seluruh umat manusia di mana pun mereka berada, terutama para pemimpin negara supaya bersama-sama menjaga alam, sehingga keutuhan dan keindahannya senantiasa dijaga-dipelihara. Dengan demikian dapat dilihat, dinikmati, dan menjadi tempat tinggal yang baik bagi generasi selanjutya (anak cucu).
Â
Artikel 222-227 yang diangkat dalam karya tulis ini merupakan studi pertama yang baru dilakukan dengan alasan bahwa penjabaran di dalamnya memiliki isi yang sungguh bermakna bagi keberlangsungan hidup manusia, terutama agar setiap orang maupun kelompok mampu mencapai kegembiraaan dan damai dalam hidup bersama terkait dengan keberadaan alam sebagai tempat tinggal bagi semua insan.