Mohon tunggu...
Julianda Boangmanalu
Julianda Boangmanalu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Suka literasi untuk lebih memahami

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bolehkah Jokowi Maju sebagai Cawapres 2024?

29 September 2022   09:40 Diperbarui: 29 September 2022   09:54 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diisukan Prabowo dan Jokowi akan menjadi pasangan sebagai Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024. Foto: Kompas.com

Masih hangat diperbincangkan diberbagai media terkait dimungkinkannya Presiden Jokowi kembali mencalonkan diri sebagai Cawapres pada perhelatan Pilpres 2024 yang akan datang. Heboh perbincangan tersebut berawal dari pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso yang menyatakan Presiden dua periode tidak dilarang maju sebagai calon wakil presiden. 

Namun, ia menggaris bawahi bahwa walau tidak ada peraturan yang melarang, hanya saja hal itu lebih terkait dengan etika politik.

Akibatnya, pernyataan tersebut mendapat respons beragam dari berbagai kalangan, termasuk para ahli hukum tata negara dan praktisi hukum dengan pandangan yang terbelah dua, antara setuju dan tidak setuju.

Yang setuju dengan pernyataan tersebut terutama para tokoh yang termasuk dalam barisan pendukung Jokowi, sedangkan yang tidak setuju dengan mendasarkan pada alasan bahwa hal ini telah nyata melanggar konstitusi. Karena harus dipahami walaupun Pasal 7 UUD 1945 tidak secara tegas melarang, namun secara normatif akan bertentangan dengan Pasal 8 UUD 1945.

Bila di tengah jalan misalnya, Presiden mangkat atau berhenti sebagai Presiden, maka bila Jokowi terpilih sebagai Wapres 2024, ia tidak akan dapat menggantikan kedudukannya sebagai Presiden 2024 karena berbenturan dengan aturan pada Pasal 7 UUD 1945.

Masalahnya, Pasal 7 UUD 1945 dinilai tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden. Bila ditelisik lebih dalam ketentuan yang mengatur tentang persyaratan untuk maju sebagai Capres/Cawapres ada di Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang persyaratan presiden/wakil presiden. 

Pasal itu berbunyi: "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama."

Perbedaan pandangan terhadap pasal tersebut membuat masyarakat pada posisi dengan dua pilihan yang berbeda. Untuk itu, perlu dilakukan upaya memahami dalam kacamata hukum yang sebenarnya, khususnya terkait makna yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n tersebut melalui interpretasi hukum.

Dalam kaitan tersebut, terkadang dalam memahami teks suatu peraturan (hukum) dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda diantara kalangan sarjana hukum. 

Karenanya dibutuhkan suatu tindakan penalaran ilmiah yang dapat mengurai makna yang mendekati kebenaran hakiki terkait arti sebuah teks hukum, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum.

Interpretasi merupakan metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi kurang atau tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa nyata. Dalam ilmu hukum ada banyak metode interpretasi dapat dilakukan untuk memahami suatu teks peraturan.

Menurut penulis, pendekatan interpretasi yang cocok digunakan dalam memahami makna Pasal No.169 huruf n tersebut yang dengan menggunakan metode interpretasi gramatikal dan interpretasi historis. 

Interpretasi gramatikal dipahami sebagai penafsiran berdasarkan tata bahasa atau ilmu bahasa (de gramatikale of taalkundige interpretatie) dengan cara menghubungkan teks itu pada penggunaan tata bahasa. Dalam hal ini dapat menggunakan kamus hukum sebagai rujukan.

Sedangkan, interpretasi historis didasarkan pada sejarah terbentuknya suatu rumusan hukum atau perundang-undangan (wethistorie interpretatie).

Yakni dengan melihat suasana bagaimana dulu suatu perundang-undangan terbentuk, termasuk menyelidiki sistem hukum dan politik hukum yang melatarbelakangi lahirnya suatu perundang-undangan.

Interpretasi gramatikal

Secara ketatabahasaan makna frasa yang terkandung dalam huruf n yang berbunyi: "belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama", --bila dikaitkan dengan isi Pasal 169-- dapat dengan mudah dipahami bila lebih memperhatikan keberadaan konjungsi "dan" dan "atau" pada dua frasa kunci dalam pasal tersebut. 

Yaitu kata "dan" pada frasa "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah" merupakan konjungsi yang menggabungkan (gabungan) dua frasa yang setara yaitu frasa "calon presiden" dan frasa "wakil presiden". Sehingga kedua frasa tersebut memiliki tingkatan makna yang setara, yaitu calon presiden dan calon wakil presiden.

Selanjutnya, konjungsi "atau" pada frasa "belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" juga harus dapat dimaknai sebagai konjungsi alternatif. Dimana kata "presiden" dan "wakil presiden" bukan merupakan satu kesatuan sebagai frasa gabungan tapi dapat berdiri sendiri sebagai presiden atau wakil presiden.

Dengan demikian frasa "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" pada Pasal 169 huruf n tersebut seharusnya dimaknai sama dengan "Persyaratan menjadi calon Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" dan "Persyaratan menjadi calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".

Interpretasi historis

Terkait dengan pembatasan kekuasan presiden dan wakil presiden di dalam konstitusi kita diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih  kembali  dalam jabatan  yang sama, hanya untuk  satu kali masa jabatan". 

Dikutip dari Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku 4 Jilid 1 diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa semangat perubahan Pasal 7 UUD 1945 tersebut adalah pembatasan kekuasan presiden. Seluruh fraksi saat sidang pada Rapat Sidang Umum BP MPR 1999 Ke-2 menyatakan setuju terhadap pembatasan tersebut.

Isi Pasal 7 tersebut merupakan turunan dari isi TAP MPR No. XIII/ MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik. Ketetapan tersebut hanya berisikan satu pasal yang berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Norma pembatasan kekuasaan presiden sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR dan Pasal 7 UUD 1945 tersebut selanjutnya diakomodir dalam Pasal 169 khususnya huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017. 

Norma tersebut dituangkan sebagai salah satu persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Dimana, calon presiden dan calon wakil presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Dengan pertimbangan pembatasan kekuasan presiden sesuai TAP MPR No. XIII/ MPR/1998  dan Pasal 7 UUD 1945, maka dalam hal presiden yang telah menjabat dua kali menjabat dalam jabatan yang sama, berdasarkan norma tersebut, tidak dibenarkan untuk kembali menjadi calon wakil presiden. 

Karena bila diperkenankan untuk dicalonkan kembali dan menang, maka dengan alasan Pasal 8 UUD 1945 ada kemungkinan seorang Wakil Presiden akan menjabat sebagai presiden untuk yang ketiga kalinya. Tentunya hal ini juga akan bertentangan dengan TAP MPR No. XIII/ MPR/1998  dan Pasal 7 UUD 1945.

Dengan demikian, berdasarkan interpretasi gramatikal dan historis maka dapat disimpulkan bahwa Presiden Jokowi tidak dapat dicalonkan kembali sebagai Wakil Presiden karena bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017 dan tidak sejalan dengan TAP MPR No. XIII/ MPR/1998  dan Pasal 7 UUD 1945, serta tidak elok dari sisi etika politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun