Masih hangat diperbincangkan diberbagai media terkait dimungkinkannya Presiden Jokowi kembali mencalonkan diri sebagai Cawapres pada perhelatan Pilpres 2024 yang akan datang. Heboh perbincangan tersebut berawal dari pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso yang menyatakan Presiden dua periode tidak dilarang maju sebagai calon wakil presiden.Â
Namun, ia menggaris bawahi bahwa walau tidak ada peraturan yang melarang, hanya saja hal itu lebih terkait dengan etika politik.
Akibatnya, pernyataan tersebut mendapat respons beragam dari berbagai kalangan, termasuk para ahli hukum tata negara dan praktisi hukum dengan pandangan yang terbelah dua, antara setuju dan tidak setuju.
Yang setuju dengan pernyataan tersebut terutama para tokoh yang termasuk dalam barisan pendukung Jokowi, sedangkan yang tidak setuju dengan mendasarkan pada alasan bahwa hal ini telah nyata melanggar konstitusi. Karena harus dipahami walaupun Pasal 7 UUD 1945 tidak secara tegas melarang, namun secara normatif akan bertentangan dengan Pasal 8 UUD 1945.
Bila di tengah jalan misalnya, Presiden mangkat atau berhenti sebagai Presiden, maka bila Jokowi terpilih sebagai Wapres 2024, ia tidak akan dapat menggantikan kedudukannya sebagai Presiden 2024 karena berbenturan dengan aturan pada Pasal 7 UUD 1945.
Masalahnya, Pasal 7 UUD 1945 dinilai tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden. Bila ditelisik lebih dalam ketentuan yang mengatur tentang persyaratan untuk maju sebagai Capres/Cawapres ada di Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang persyaratan presiden/wakil presiden.Â
Pasal itu berbunyi: "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama."
Perbedaan pandangan terhadap pasal tersebut membuat masyarakat pada posisi dengan dua pilihan yang berbeda. Untuk itu, perlu dilakukan upaya memahami dalam kacamata hukum yang sebenarnya, khususnya terkait makna yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n tersebut melalui interpretasi hukum.
Dalam kaitan tersebut, terkadang dalam memahami teks suatu peraturan (hukum) dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda diantara kalangan sarjana hukum.Â
Karenanya dibutuhkan suatu tindakan penalaran ilmiah yang dapat mengurai makna yang mendekati kebenaran hakiki terkait arti sebuah teks hukum, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum.