Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Gerimis Pagi (Bab 10)

27 Desember 2013   14:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Nara, elo kejam! Kejam banget.”
“Apa? Sejak dulu memang gue benci si Bandit!”
“Tapi elo enggak boleh begitu. Dia sahabat kita juga.”
“Dia menyebabkan gue kehilangan elo!”
“Bukan dia!”
“Seandainya hari itu dia yang pergi.”
“Nara! Stop, deh! Elo terlalu banyak menyalahkan orang. Elo enggak percaya kalau orang yang mencintai elo itu enggak akan menyakiti lo.”
“Memang kenyataannya cinta selalu berakhir sakit hati. Jadian. Putus. Menikah. Cerai. Jadi untuk apa bersusah payah jatuh cinta jika ending-nya selalu sama?”
“Lalu bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan cinta kita?”
“Galing sayang, cinta kita yang ini menentang takdir. Elo tahu itu, kan?”
“Nara, bangun! Bangun, Ra! Elo hidup dalam delusi. Cinta yang elo ingini. Dunia yang elo bentuk sendiri. Rasa yang elo cari. Semua enggak pernah nyata!”
“Sekarang, elo yang kejam! Elo yang enggak mengerti cinta.”
“Gue?”
“Elo enggak mengerti gue enggak bisa kehilangan elo. Enggak bisa! Gue enggak mau cinta yang seperti itu!”
“Nara… Sadarlah! Sadar, Nara!”
“Enggak mau!”
“Sadarlah, Ra! Tanpa sadar elo sudah lama kehilangan. Sekarang waktunya hidup lo berlanjut.”
“Enggak mauuu!!!”

###

“Nara! Nara! Bangun!” Goncangan itu membuat mataku terbuka. Lelaki itu duduk di tepi tempat tidur dan menatapku cemas. “Elo kenapa, sih?”

Itu mimpi yang sulit kujelaskan. Hanya gelap. Hanya suara-suara. Yang membuatku terbangun dengan napas memburu dan keringat membanjir. Aku takut tak mampu membuka mata. Takut ini semua nyata—mimpi itu. Aku akan selamanya terjebak.

Aku bangkit duduk dalam tremor.

Lelaki itu lalu mengusap-usap punggungku seperti yang sering dilakukan Ayah ketika aku masih kecil dan sering melindur dalam tidur, membuatku benar-benar teringat masa lalu yang menyenangkan. Saat itu aku menyandarkan kepala ke bahu yang kokoh, merasakan napas itu hangat dan dekat dengan cuping telingaku—tenteram dan nyaman. Ayah akan mendongengkan Putri Naga dan Kaisar Bola Api yang saling mencintai. Itu rasa cinta yang membuatku berharap mencari Kaisar Bola Api.

Ternyata saat ini pun aku melakukan hal yang sama. Lelaki itu bukan Ayah. Suaranya berat dan lirih saat mengatakan penyesalannya dengan tulus.

“Nara… Bisakah sekali ini saja—sekali ini saja elo maafin gue? Maafin gue, Ra!”

Airmata. Yang kupikir telah lama kering—sekarang mengalir turun dengan sendirinya. Sesuatu dalam diriku mencair. Sesuatu yang lama kubekukan. Sesuatu yang tidak kupercayai lagi masih tersisa. Kubisikkan nama itu, nama si lelaki. “Aksan…”

###

Aksan pasti bahagia bisa menikah dengan Ratih. Pagi-pagi aku sudah mendengar ia mengobrol lama di ponselnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun