“Yang gedung merah itu ya. Aku baru tahu. Empat tahun aku di sini, enggak pernah aku injak tempat itu.”
“Internet gratis. Tempatnya juga adem, enak buat tidur,” sahutku setengah bergurau. Entah karena tidak tahu atau segan masuk, teman sebangsaku lebih rela membayar enam dolar ke warnet yang berasap dan berisik daripada bebas biaya ke perpustakaan.
Aku melambai pada Nila yang masuk ke dalam gedung, dan berjalan pulang. Mampir ke warung Comebuy, aku memesan Tapioca Milk Tea (semacam teh bubble) ukuran sedang, sambil mendengar pertengkaran sepasang anak SMA di sebelahku. Yang pria, tinggi dan kelihatan ras campuran, sedang yang perempuan bertubuh mungil serta bermata sipit. Aku melihat bordir nama di sisi tas milik si pria: João. Benar, dugaanku. Ia keturunan Cina-Portugis, seperti kebanyakan orang asli Macau. Tampan. Aku mengagumi wajahnya yang seperti versi mudanya Keanu Reeves.
João sedang membujuk pacarnya untuk berbaikan. Rupa-rupanya mereka backstreet pacaran. Gara-gara nyaris terungkap, si perempuan minta putus, tapi João tidak mau dan mengaku cinta mati. Aku tertawa. Anak kecil bicara cinta. Buku pelajaran yang dipegang João jatuh. Aku spontan mengambil lalu memberikan buku itu kembali. João memandangku dengan sorot terima kasih.
(berlanjut...)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI