Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Pagi di Musim Gugur (1)

24 Januari 2015   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bagian depan, aku melewati etalase dagangan milik engkoh yang fasih berbahasa Jawa. Lelaki itu mengaku tinggal di Macau lebih dari enampuluh tahun semenjak penerapan PP no 10 yang menyebabkan banyak orang keturunan Tionghoa terusir kembali ke China. Namun tidak semua dari orang-orang yang eksodus itu orang yang lahir di negeri asing, banyak yang lahir dan besar dari keluarga yang turun-temurun sudah menetap lama.

Pengucapan kalimat Indonesia miliknya terputus-putus, terkadang bercampur dengan kosakata bahasa Kanton, akhirnya lebih banyak bicara dengan bahasa Jawa. Aku tidak bisa bahasa daerah selain elu-gue ala Jakarta. Bahasa Inggris yang kukuasai dengan aksen mulus tidak berguna, karena tak ada yang mengerti di pasar, selain sering membuatku disangka sebagai orang Filipina.

Ada yang menepukku dari belakang. “He, Suce!” Aku menoleh dan mendapati Nila, temanku yang asal NTT dan telah bekerja selama empat tahun, muncul dengan kantong belanjaan. Hari ini, dia tidak libur. Aku mendengarkan dia curhat tentang majikannya yang cerewet.

Enaknya bekerja di Macau, walau hanya sebagai pembantu, pekerja bisa tinggal di luar alias kos, sehingga tak perlu stres akibat kelakuan aneh dan menyebalkan dari majikan. Mereka bisa bergaul, punya privasi sendiri, bahkan bisa memiliki laptop dan smartphone untuk akses internet. Aku pernah merasakan sekali di Hong Kong, bekerja dengan semua akses dibatasi, tanpa jam kerja jelas, dan terkadang malah tidak boleh libur karena takut aku kabur. Komplain ke agen juga percuma, ganti majikan berarti tambah potongan, semua serba terjepit dan mau tidak mau bertahan.

Yang tidak tahan banyak yang lari—namun tidak berani pulang Indonesia karena belum menghasilkan apa-apa, memilih tinggal di Macau. Termasuk aku, awalnya. Itu sebabnya mereka bilang Macau, kota anak-anak buangan. Yang pembangkang, yang jadi TB dan lesbian, yang sakit-sakitan, hanya orang-orang semacam itu yang betah. Yang tak beruntung dapat pekerjaan, terpaksa overstay dan menghindari polisi.

Kata agenku dulu, aku kepinteran. Pekerja Indonesia dikenal kalem dan manut, berbeda dengan pekerja Filipina yang lebih vokal. Pintar kok ditakuti, pikirku heran. Teman-temanku senegara malah berkomentar, “Kalau pinter ngapain ke sini? Kerja di Indonesia kan juga banyak.” Aku malas menjawab, dan akhirnya mereka sibuk membicarakanku di belakang punggung. Pintar juga jadi bahan cemoohan.

Aku cuma tahan tiga bulan. Sampai tahun lalu aku juga bekerja sama seperti Meri, hanya saja Isabela, majikanku meminta aku mengajari anaknya, Noah—yang baru lima tahun, bahasa Inggris dan matematika. Penduduk Macau kalah bersaing dengan Hong Kong, yang rata-rata mampu berbahasa Inggris sejak kecil. Desa versus kota, begitu anggapan perbandingannya.

Nila mengajakku menemaninya jalan pulang. Ia bekerja di salah satu gedung dekat Tap Seac Square yang luas dan banyak orang membawa anjing mereka jalan-jalan, sehingga dikenal sebagai taman anjing. Ada perpustakaan dan puskesmas umum di tempat itu. Di tengah-tengah lapangan, tali-tali untuk menggantung lampion-lampion festival Kue Bulan akhir September nanti sudah terpasang melintang. Ada lampion ukuran besar berbentuk kelinci di dekat panggung yang bersisian dengan kolam air mancur.

Aku terpikir mau mengajak teman-teman satu flat di malam festival sambil menikmati camilan yi tan panas dalam mangkuk styrofoam. Jimie pasti bertengkar dengan Aldo yang memilih main game komputer  di kamar daripada jalan-jalan.

Nila memberiku satu cup berisi sambal teri seharga 20 dolar yang dibelinya dari si engkoh di pasar tadi. “Kamu kan suka. Makasih ya, sudah ditemani. Hari ini kan libur, kamu enggak jalan-jalan?”

“Tadinya mau mampir ke Macau Library. Tapi, ada titipan buat teman.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun