Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Pagi di Musim Gugur (1)

24 Januari 2015   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terbangun karena ada tendangan di ujung kakiku. Eri barangkali sedang bermimpi jadi aktris film laga dalam tidurnya. “So gei!” Belum siap melek, ia sudah memaki orang sinting. Jarum pendek jam dinding murahan bercokol di angka enam. Matahari pasti sudah terbit, walau cahayanya tidak sampai ke kamar karena tertutup gedung-gedung tinggi berlantai tigapuluhan sekitar Avenida do Ouvidor Arriaga. Aku menggeser kaca jendela sedikit dan membiarkan angin pagi menyapa. Menjelang akhir September, temperatur sudah tidak sepanas musim kemarin, tapi angin masih kencang. Aku melihat daun bonsai Ficus milik Eri yang ditaruh di atas kompresor AC di luar, mulai rontok selembar demi selembar.

Kace, dingin!” Tak lama terdengar jeritan dari balik selimut. Separuh kepala menyembul keluar. Aku tersenyum dan segera menelusup ke dalam selimut itu juga, mendapati gadis itu masih memejamkan mata.

Co san,” kataku setengah berbisik. Co san berarti ucapan selamat pagi.

Eri memicingkan sebelah mata lalu menutupnya kembali sambil menguap. “Jam berapa?”

“Enam lewat. Aku kepingin beli polo pau di pasar. Kamu mau ikut?” Polo pau atau Rocky bun itu sejenis roti bundar yang manis.

“Ogah. Ngantuk. Dingin,” gerutunya manja sambil memelukku seolah-olah aku ini bantal guling.

“Er, sesak nih!” Aku meronta, tapi Eri seperti biasa mengetatkan pelukannya, sehingga mau tidak mau kukeluarkan jurus andalan, yaitu menggelitiki pinggangnya. Ia menjerit-jerit minta ampun. Aku jatuh terguling ke lantai sambil tertawa.

Saat aku membuka pintu kamar, pintu di hadapanku pun ikut terbuka. Melihat siapa yang keluar, aku buru-buru menyapa, “Aldo, co san!”

Co san,” sahut si Aldo singkat, tanpa melihatku langsung duduk di sofa dan meraih remote tv. Ia mencari-cari sesuatu di saku piyamanya dan aku langsung berpikir ia pasti tidak menemukan kacamatanya. Hans dan Jimie yang jahil selalu menyembunyikan benda itu sebelum mereka pergi tidur.

Setelah cuci muka, sikat gigi dan berganti dengan pakaian olahraga ala kadarnya—celana karung dan kaos ukuran xxxl, aku meraih jaket hoodie hitam berukuran sama yang tergantung dekat pintu keluar. Walau belum waktunya musim dingin, tapi cuaca musim gugur di Macau terkadang aneh. Temperatur bisa sekali-kali turun dan aku tidak mau beresiko jalan-jalan pagi sambil menggigil.

“Mau keluar, Gia?” Aldo bertanya. Ia menonton siaran berita TDM tanpa kacamatanya.

“Aku sekalian ke pasar dekat Sam Can Tang, kamu mau titip apa?”

“Pulsa CTM, ya? Yang limapuluh saja.”

Aku mengiyakan, dan menutup pintu keluar. Di depat lift gedung, aku berpapasan dengan perempuan muda berkulit coklat dan bermata besar yang belum pernah kulihat. Ia menatapku sebentar dan tersenyum. Aku membalas senyumannya. “Indo?” tanyaku.

Ia menggeleng. “Pinoy. Philiphine.” Filipina.

Rupanya, flat sebelah itu ditempatinya beramai-ramai, mungkin sekitar sembilan atau sepuluh orang. Yang tidur di kamar jauh lebih mahal biaya sewanya dibanding yang tidur di ruang tamu, dalam bunk bed kayu dari Lap Sap Kai—pasar loak, yang sering banyak ketinggi alias kutu busuk.

“Berisik dan kutu-kutu ketinggi itu pasti lari kemari,” protes Eri kalau ia mendapati tetangganya ternyata boarding house.

Eri tahu kalau tiga tahun lalu saat baru tiba, aku juga sempat tinggal beramai-ramai. Biasanya satu boarding house dikelola oleh agen penyalur tenaga kerja khusus kung yan, istilah Kanton untuk domestic helper, atau dikelola teman-teman yang lebih mapan dan berduit. Saking ramainya, terkadang malah jadi tidak manusiawi. Kebanyakan isinya juga calon tenaga kerja wanita di Hong Kong yang sedang menunggu visa selama dua bulan proses.

Para Cece—ibu asrama yang dipercayakan selalu takut penunggu visanya kepincut enak kerja di Macau dan menolak kembali ke Hong Kong, akhirnya menerapkan aturan jam keluar-masuk yang terbatas atau menahan paspor. Bagi yang overstay, membandel dan memiliki tanggungan utang potongan gaji dengan agen malah tidak boleh keluar.

Beberapa temanku sudah kena batunya karena bebas bergaul di luar: uangnya habis di mesin slot kasino-kasino, pacaran dengan lelaki Nepal lalu diporoti atau kepincut dengan bojo—istri baru bagi yang TB (tomboi), sampai petak umpet dengan pakde polisi.

Lift terbuka. Aku berpisah dengannya di ujung jalan. Ate itu masuk ke dalam supermarket Vang Kei, dan aku menyebrang menyusuri sepanjang avenida yang rimbun dengan pepohonan, menuju bundaran dekat jalan utama yang sering disebut Sam Can Tang, tempat berkumpul kung yan dari berbagai negara dan juga para manula berkursi roda yang dibawa jalan-jalan untuk berjemur. Macau-Ou Mun pulau kecil, jalan-jalan di sini tidak sebesar dan sepadat Jakarta, bahkan tidak selebar jalan-jalan di Taipa atau Cotai, pusat banyak kasino dan hotel.

Di samping bundaran ada jalan sempit membelah toko dan stan pedagang kaki lima yang ramai dipenuhi penjual SIM card telpon serta pulsa isi ulang sambil bergosip keras-keras. Mereka kebanyakan wanita Vietnam, yang postur dan kulitnya tidak bisa dibedakan dengan warga setempat, kecuali saat mereka bicara. Aku membeli pesanan Aldo, dan berbaur di antara orang-orang yang masuk ke area pasar.

Di bagian depan, aku melewati etalase dagangan milik engkoh yang fasih berbahasa Jawa. Lelaki itu mengaku tinggal di Macau lebih dari enampuluh tahun semenjak penerapan PP no 10 yang menyebabkan banyak orang keturunan Tionghoa terusir kembali ke China. Namun tidak semua dari orang-orang yang eksodus itu orang yang lahir di negeri asing, banyak yang lahir dan besar dari keluarga yang turun-temurun sudah menetap lama.

Pengucapan kalimat Indonesia miliknya terputus-putus, terkadang bercampur dengan kosakata bahasa Kanton, akhirnya lebih banyak bicara dengan bahasa Jawa. Aku tidak bisa bahasa daerah selain elu-gue ala Jakarta. Bahasa Inggris yang kukuasai dengan aksen mulus tidak berguna, karena tak ada yang mengerti di pasar, selain sering membuatku disangka sebagai orang Filipina.

Ada yang menepukku dari belakang. “He, Suce!” Aku menoleh dan mendapati Nila, temanku yang asal NTT dan telah bekerja selama empat tahun, muncul dengan kantong belanjaan. Hari ini, dia tidak libur. Aku mendengarkan dia curhat tentang majikannya yang cerewet.

Enaknya bekerja di Macau, walau hanya sebagai pembantu, pekerja bisa tinggal di luar alias kos, sehingga tak perlu stres akibat kelakuan aneh dan menyebalkan dari majikan. Mereka bisa bergaul, punya privasi sendiri, bahkan bisa memiliki laptop dan smartphone untuk akses internet. Aku pernah merasakan sekali di Hong Kong, bekerja dengan semua akses dibatasi, tanpa jam kerja jelas, dan terkadang malah tidak boleh libur karena takut aku kabur. Komplain ke agen juga percuma, ganti majikan berarti tambah potongan, semua serba terjepit dan mau tidak mau bertahan.

Yang tidak tahan banyak yang lari—namun tidak berani pulang Indonesia karena belum menghasilkan apa-apa, memilih tinggal di Macau. Termasuk aku, awalnya. Itu sebabnya mereka bilang Macau, kota anak-anak buangan. Yang pembangkang, yang jadi TB dan lesbian, yang sakit-sakitan, hanya orang-orang semacam itu yang betah. Yang tak beruntung dapat pekerjaan, terpaksa overstay dan menghindari polisi.

Kata agenku dulu, aku kepinteran. Pekerja Indonesia dikenal kalem dan manut, berbeda dengan pekerja Filipina yang lebih vokal. Pintar kok ditakuti, pikirku heran. Teman-temanku senegara malah berkomentar, “Kalau pinter ngapain ke sini? Kerja di Indonesia kan juga banyak.” Aku malas menjawab, dan akhirnya mereka sibuk membicarakanku di belakang punggung. Pintar juga jadi bahan cemoohan.

Aku cuma tahan tiga bulan. Sampai tahun lalu aku juga bekerja sama seperti Meri, hanya saja Isabela, majikanku meminta aku mengajari anaknya, Noah—yang baru lima tahun, bahasa Inggris dan matematika. Penduduk Macau kalah bersaing dengan Hong Kong, yang rata-rata mampu berbahasa Inggris sejak kecil. Desa versus kota, begitu anggapan perbandingannya.

Nila mengajakku menemaninya jalan pulang. Ia bekerja di salah satu gedung dekat Tap Seac Square yang luas dan banyak orang membawa anjing mereka jalan-jalan, sehingga dikenal sebagai taman anjing. Ada perpustakaan dan puskesmas umum di tempat itu. Di tengah-tengah lapangan, tali-tali untuk menggantung lampion-lampion festival Kue Bulan akhir September nanti sudah terpasang melintang. Ada lampion ukuran besar berbentuk kelinci di dekat panggung yang bersisian dengan kolam air mancur.

Aku terpikir mau mengajak teman-teman satu flat di malam festival sambil menikmati camilan yi tan panas dalam mangkuk styrofoam. Jimie pasti bertengkar dengan Aldo yang memilih main game komputer  di kamar daripada jalan-jalan.

Nila memberiku satu cup berisi sambal teri seharga 20 dolar yang dibelinya dari si engkoh di pasar tadi. “Kamu kan suka. Makasih ya, sudah ditemani. Hari ini kan libur, kamu enggak jalan-jalan?”

“Tadinya mau mampir ke Macau Library. Tapi, ada titipan buat teman.”

“Yang gedung merah itu ya. Aku baru tahu. Empat tahun aku di sini, enggak pernah aku injak tempat itu.”

“Internet gratis. Tempatnya juga adem, enak buat tidur,” sahutku setengah bergurau. Entah karena tidak tahu atau segan masuk, teman sebangsaku lebih rela membayar enam dolar ke warnet yang berasap dan berisik daripada bebas biaya ke perpustakaan.

Aku melambai pada Nila yang masuk ke dalam gedung, dan berjalan pulang. Mampir ke warung Comebuy, aku memesan Tapioca Milk Tea (semacam teh bubble) ukuran sedang, sambil mendengar pertengkaran sepasang anak SMA di sebelahku. Yang pria, tinggi dan kelihatan ras campuran, sedang yang perempuan bertubuh mungil serta bermata sipit. Aku melihat bordir nama di sisi tas milik si pria: João. Benar, dugaanku. Ia keturunan Cina-Portugis, seperti kebanyakan orang asli Macau. Tampan. Aku mengagumi wajahnya yang seperti versi mudanya Keanu Reeves.

João sedang membujuk pacarnya untuk berbaikan. Rupa-rupanya mereka backstreet pacaran. Gara-gara nyaris terungkap, si perempuan minta putus, tapi João tidak mau dan mengaku cinta mati. Aku tertawa. Anak kecil bicara cinta. Buku pelajaran yang dipegang João jatuh. Aku spontan mengambil lalu memberikan buku itu kembali. João memandangku dengan sorot terima kasih.

(berlanjut...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun