Dengan senyuman menggoda pria itu menyela perkataanku "adek jangan khawatir, sudah dapat ijin dari Ayah dan Ibu kok." Wajahku berubah seketika seperti dijatuhi mangga masak di siang hari. Antara kaget dan tak percaya, segitunya Ayah dan Ibu merestui hubunganku dengannya sampai mengijinkanku bermalam di rumahnya?
Lagi-lagi aku terbangun karena suara aumannya Anjing di depan rumah. Seperti biasa kupandangi jam dinding, arahnya tepat jam 01.00 di hadapanku. Kali ini aku tidak cepat-ceapt melaksanakan rutinitasku di sepertiga malam, tapi aku termenung, terhanyut dalam angan-anganku. "Apa arti mimpiku ini." Seorang pria yang tidak ku kenali sama sekali hadir berturut-turut dalam bunga tidurku. "Apakah ini petunjuk agar aku mencari tahu siapa pria itu? Ataukah..... Ah..... Sudah lah, anggap saja semuanya ini hanyalah bunga tidur, agar aku tak kesepian menghabiskan panjangnya malam dalam kegelapan bisingnya suara jangkrik dan kelelawar.
Paginya, sebelum pergi ke kantor, saat sedang sarapan bersama Ibu di ruang tengah, sengaja kuceritakan mimpiku kepada Ibu, kali aja Ibu bisa menjadi ahli nujum sebagai peramal atas mimpiku yang berepisode itu. Ternyata jawaban itu diluar dari apa yang kuharapakan. Sambil tersenyum Ibu membelai rambutku dan berkata " namanya juga bunga-bunga tidur, Ndah. Kalau tidak mau bermimpi ya jangan tidur. Coba kalau semalaman penuh tidurnya nggak ditemani mimpi, pasti besoknya ga mau tidur lagi kan..... Ya sudah, jangan terlalu dipikirkan mimpi itu, nanti malamnya kamu ga mau tidur lagi." Masih tetap tersenyum Ibu bangun dari bangku duduknya dan membersihkan meja dari gelas-gelas kotor bekas minum adik-adikku dan Ayah yang sudah lebih dahulu sarapan dan berangkat kerja. Â Â Â Â Â
Begitulah Ibuku, meski aku bukan anak kecil lagi, tapi aku masih diperlakukan layaknya anak-anak SMP atau SMA yang masih sangat harus diperhatikan. Mulai dari makan minum, sampai dengan mencuci pakaian, semuanya Ibu yang lakukan. Ibu sendiri yang tidak memperbolehkanku melakukan itu semua. Terkadang aku malu bila Ibu membelai rambutku, apalagi kalau ada teman yang bertamu ke rumah. Sering Ibu tak peduli kalaupun ada teman-temanku. Aku sadar itu adalah bentuk kasih sayang yang Ibu berikan untukku. Bahkan akupun tahu betapa Ibu menyayangiku. Bagi Ibuku, aku tetaplah anaknya yang masih berusia belasan tahun. Mungkin karena seperti itu, sehingga Ibu sangat berhati-hati dalam melihat laki-laki yang akan menjadi suamiku kelak. Ibu takut aku terlalu gegabah karena mengejar usia akhirnya salah pilih pasangan hidup. Dan aku baru menyadarinya. Ibu sangat mencintaiku. Aku tak boleh menggoreskan luka kembali di hatinya seperti yang pernah kulakukan waktu itu.
***
                                                                                            Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H