Mohon tunggu...
Julaila Haris
Julaila Haris Mohon Tunggu... Guru - SMK Negeri Kokar, Kabupaten Alor-NTT

Menulis, Membaca, dan Berbicara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Takut Menjadi Perawan Tua Part 2

26 Februari 2024   00:25 Diperbarui: 26 Februari 2024   12:47 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam selimut heningnya malam, kulangkahkan kaki bersama Ibu secara perlahan menapaki dinginnya sapuan bayu malam di sepanjang trotoar untuk pulang ke rumah. Tak terucap sepatah katapun dari bibir ini untuk menggetarkan susana, begitu juga dengan Ibu. Bibir indah yang kukenal selalu melantunkan kalimat-kalimat syahdu, seakan tak mau lagi memancarkan cahaya lewat tuturan kalimat yang menyentuh kalbu. Bayu seakan ingin menampar wajahku, hanya rasa penyesalan yang terungkap lewat deraian air mata yang seolah tak mau menutup mata airnya. Seakan tak ada lelahnya ia terus mengalir di pipiku.

Kubergegas ke kamarku begitu sampai di dalam rumah. Sambil memegang tanganku, Ibu mengantarku masuk ke kamar. Ibu menemaniku, menyapu punggungku. Terlihat bibir Ibu bergerak seakan ingin berbicara, namun ditutupnya kembali. Tak sengaja bola mata ini melihat genangan air mata yang sedikit lagi akan jatuh di pipi Ibu. Kucoba meleraikan suasana. Kugenggam tangan Ibu, dengan sedikit gerakan manja kumainkan jemari Ibu. Tak kusadari instingku menarik kepalaku sampai terjatuh dipangkuan Ibu. Terbayang kembali hari-hari yang pernah kulalui bersama Ibu. Bermanja, berhalusinasi, meluahkan amarah, dan masih banyak lagi kenangan indah yang selalu kulalui bersama Ibu. Hambar rasanya kamar ini tanpa bisingnya suara petuah dari Ibu. Suara yang selalu menegurku bila kusalah, suara yang selalu mengingatkanku bila kulalai, suara yang selalu menghampiriku bila aku masih terjaga. Sungguh berdosa diri ini yang telah melukai hati Ibu. Tak dapat kutakarkan berapa dalam luka yang sudah kutorehkan dihati Ibu. 

Terdengar suara Ibu sedikit bergetar dengan memanggil namaku "Ndah... Kamu anak gadis Ibu satu-satunya. Naluri Ibu sedikitpun tak tersentuh kala kau perkenalkan Ibu dengan teman-teman priamu. Aku ini Ibumu Ndah.. Ibu dapat merasakan lelaki mana yang baik budinya, yang baik hatinya, yang pas untuk kamu. Ini bukanlah masalah harta, pangkat atau paras. Tetapi seberapa besar tanggung jawab mereka terhadapmu kelak. Yang Ibu harapakan adalah kau menemukan laki-laki yang dapat menggantikan posisi Ayahmu. Yang dapat menjagamu, membimbingmu, sama seperti bagaimana Ayahmu menjaga dan bertanggung jawab terhadap Ibu dan adik-adikmu. Maafkan Ibu karena pernah salah memilih jodoh untukmu. Ibu jadikan itu sebagai pelajaran berharga agar Ibu dapat lebih hati-hati lagi dalam melihat pria yang baik untukmu. Kamu mengerti maksud Ibu kan Ndah..?" Aku mengangguk, mencoba untuk melepaskan betapa egoisnya diriku.

Memang sebelumnya Ibu pernah menjodohkanku dengan seorang anak teman lamanya. Kami sempat dekat, bahkan sempat juga menjalin hubungan asmara lantaran Ibunya dan Ibuku sudah setuju dengan perjodohan ini. Pria itu baik orangnya, meski agak sedikit temperamen. Perlahan kujejaki sifatnya. Aku... aku... aku beneran jatuh cinta padanya. Mungkin itu sudah sifatku, sangat mudah untuk jatuh cinta. 

Ah sial...... Aku dibohongi, aku dimanfaati. Bahkan bukan aku saja yang dibohongi dan dimanfaati, tapi Ibuku juga. 

Ibu pernah membayar uang kuliahnya, katanya regis untuk seminar proposal. Entah berapa nominal yang harus dibayar, tapi laki-laki itu meminta dalam jumlah yang cukup besar kepada Ibuku. 

"Endah... Mas malu mau ngomongin ini sama kamu. Bisa bantu Mas tidak?" Dengan lembutnya Mas Ganjar mulai memainkan aktingnya. Oh iya,, namanya Mas Ganjar. Nama yang begitu bermartabat, tapi tak semartabat orangnya. "Bantu apa Mas?" begitu polosnya aku waktu itu karena cinta, sebenarnya cinta sedang membutakanku, tapi aku tak menyadarinya. "Tolong bantu Mas untuk bayar pendaftaran seminar semester ini, bisa tidak Ndah? Insya Allah kalau sudah punya uang nanti Mas balikin"                                                "Nanti Endah bilangin Ibu dulu ya Mas, Endah ga punya duit. Lagi bokek." Sambil tertawa geli aku mencoba untuk menghibur Mas Ganjar.

Bukan hanya sekedar memberikan uang kepadanya, tetapi Ibu selalu memenuhi kebutuhannya juga, sampai pada jenis makanan kesukaannya, semuanya Ibu siapkan saat Ia bermain ke rumah. Bak raja Ibu memperlakukannya.

belakangan kami mendengar bahwa Mas Ganjar akan segera menikah. Mas Ganjar mempunyai perempuan lain selain aku, dan perempuan itu tengah mengandung anak Mas Ganjar, usia kandungannya sekitar tiga bulan. Bagai disambar petir kabar itu harus menembus dinding telingaku. Namun aku bersyukur, bahkan sangat bersyukur, tujuh bulan bersama Mas Ganjar Alhamdulillah.... aku belum diapa-pain olehnya.  Tak terlintas sedikitpun dipikiranku, Mas Ganjar yang terlihat kalem, ternyata gemar bermain wanita juga.

Yang bodoh itu aku, jelang beberapa bulan setelah dekat dengan Mas Ganjar, aku pernah diteror lewat telepon dan sms dari seorang perempuan yang mengaku bahwa dia adalah kekasih Mas Ganjar. Tapi semua kegelisahan lewat keluhan yang kuceritakan pada Mas Ganjar seketika terhapus setelah ditepis oleh mulut manis Mas Ganjar yang bertopeng malaikat itu.

Aku yang bodoh, aku yang salah, karena terlalu mudah untuk jatuh cinta, sampai tidak menyadari akan permainan cinta yang dimainkan oleh perasaan sendiri. 

Hari-hari berlalu, kujalani aktifitas seperti biasa. Jalan-jalan bersama teman-teman, karierku, semuanya berjalan normal seperti sedia kala. 

"Sudahlah, biarlah kujalani hidupku sesuai dengan kehendak Allah. Aku hanyalah seorang anak yang harus terus berbakti kepada orang tuaku. Jangan sampai mereka terluka karena aku terlalu memaksakan kehendakku." Gumamku dalam hati.

Aku teringat dengan pesan seorang sahabat yang berteman denganku lewat sosial media, Ranee namanya. Kami sering chating-chatingan. Pernah dalam sebuah chatingannya Ranee berpesan "Bila Endah ingin hajatnya disegerakan oleh Allah, maka berikan dulu sesuatu untuk Allah. Bukankah untuk mendapatkan upah, kita harus belerja dulu...."

Ketika analisaku bermain, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Ranee. Kuperbanyak ibadahku, tiap malam tak pernah luput dari istiqharah, puasa sunnah selalu menjadi teman menemani siangku, bahkan sedekah subuh tak pernah kulupakan. 

Niatku tulus, kulakukan semuanya ikhlas hanya untuk ibadah dan kukhususkan hanya untuk menyembah Sang Khalik semata. Meski tak tahu kapan keindahan fatamorgana akan berpihak padaku lewat do'a-do'a yang tak pernah putus kupanjatkan.

Hingga suatu malam dalam lelapnya tidurku, aku bermimpi, aku dilamar seorang pria yang aku sendiri tidak mengenalnya sama sekali. Bersama keluarganya mereka datang dengan membawa seserahan untuk melamarku. Orang tuaku menerima lamaran mereka, dan aku pun mau. Bukan karena suatu keterpaksaan karena  sudah direstui oleh kedua orang tuaku, tapi karena memang aku juga menyukai pria itu, meski baru pertama kali aku melihatnya. 

Aku terbangun ketika mendengar suara gong-gongan Anjing di depan rumah."Oh.. Aku bermimpi rupanya" Kucoba mengingat kembali paras pria dalam mimpiku tapi tetap saja ingatanku berbisik bahwa Ia pun tak mengenal pria itu. "Lalu, siapakah gerangan pria itu?"  Kupandangi jam dinding di kamarku, jarum jamnya menunjuk ke angka 12.45. Segera kuberjalan ke tempat wudhu, karena batinku berkata sepertinya mimpi tadi adalah jawaban atas permohonan yang selalu kupanjatkan.

Kembali kulakukan ibadah rutinku di sepertiga malam ini, dalam sujud terakhirku aku memohon "Jika mimpi itu adalah petunjuk dari Allah bahwa dialah jodohku, maka dekatkanlah. Namun pabila semuanya hanyalah bunga tidur saja, maka aku ikhlas akan takdir baik yang sudah Allah siapkan untukku" 

Aku tidak begitu gelisah karena aku percaya segala ketetapan baik atau buruknya sudah Allah tetapkan untuk setiap hamba-hambaNYA yang beriman.

Esoknya, aku tidak begitu mengingat akan mimpiku yang semalam. Kujalani aktifitasku sebagaimana hari-hari sebelumnya. 

Ada yang lebih menggugah perasaan ini ketika malamnya kembali aku bermimpi pria yang sama datang dalam mimpiku. Seolah-olah seperti sebuah cerita berepisode. Pria itu mengajakku pergi ke rumahnya, "Dek, ke rumah Abang yukk,, rumah Abang di desa, mau nggak?" sambil memandangi wajahku pria itu mengajakku ke rumahnya. "Ntar aku minta ijin sama Ayah dan Ibu dulu."

Dengan senyuman menggoda pria itu menyela perkataanku "adek jangan khawatir, sudah dapat ijin dari Ayah dan Ibu kok." Wajahku berubah seketika seperti dijatuhi mangga masak di siang hari. Antara kaget dan tak percaya, segitunya Ayah dan Ibu merestui hubunganku dengannya sampai mengijinkanku bermalam di rumahnya?

Lagi-lagi aku terbangun karena suara aumannya Anjing di depan rumah. Seperti biasa kupandangi jam dinding, arahnya tepat jam 01.00 di hadapanku. Kali ini aku tidak cepat-ceapt melaksanakan rutinitasku di sepertiga malam, tapi aku termenung, terhanyut dalam angan-anganku. "Apa arti mimpiku ini." Seorang pria yang tidak ku kenali sama sekali hadir berturut-turut dalam bunga tidurku. "Apakah ini petunjuk agar aku mencari tahu siapa pria itu? Ataukah..... Ah..... Sudah lah, anggap saja semuanya ini hanyalah bunga tidur, agar aku tak kesepian menghabiskan panjangnya malam dalam kegelapan bisingnya suara jangkrik dan kelelawar.

Paginya, sebelum pergi ke kantor, saat sedang sarapan bersama Ibu di ruang tengah, sengaja kuceritakan mimpiku kepada Ibu, kali aja Ibu bisa menjadi ahli nujum sebagai peramal atas mimpiku yang berepisode itu. Ternyata jawaban itu diluar dari apa yang kuharapakan. Sambil tersenyum Ibu membelai rambutku dan berkata " namanya juga bunga-bunga tidur, Ndah. Kalau tidak mau bermimpi ya jangan tidur. Coba kalau semalaman penuh tidurnya nggak ditemani mimpi, pasti besoknya ga mau tidur lagi kan..... Ya sudah, jangan terlalu dipikirkan mimpi itu, nanti malamnya kamu ga mau tidur lagi." Masih tetap tersenyum Ibu bangun dari bangku duduknya dan membersihkan meja dari gelas-gelas kotor bekas minum adik-adikku dan Ayah yang sudah lebih dahulu sarapan dan berangkat kerja.         

Begitulah Ibuku, meski aku bukan anak kecil lagi, tapi aku masih diperlakukan layaknya anak-anak SMP atau SMA yang masih sangat harus diperhatikan. Mulai dari makan minum, sampai dengan mencuci pakaian, semuanya Ibu yang lakukan. Ibu sendiri yang tidak memperbolehkanku melakukan itu semua. Terkadang aku malu bila Ibu membelai rambutku, apalagi kalau ada teman yang bertamu ke rumah. Sering Ibu tak peduli kalaupun ada teman-temanku. Aku sadar itu adalah bentuk kasih sayang yang Ibu berikan untukku. Bahkan akupun tahu betapa Ibu menyayangiku. Bagi Ibuku, aku tetaplah anaknya yang masih berusia belasan tahun. Mungkin karena seperti itu, sehingga Ibu sangat berhati-hati dalam melihat laki-laki yang akan menjadi suamiku kelak. Ibu takut aku terlalu gegabah karena mengejar usia akhirnya salah pilih pasangan hidup. Dan aku baru menyadarinya. Ibu sangat mencintaiku. Aku tak boleh menggoreskan luka kembali di hatinya seperti yang pernah kulakukan waktu itu.

***

                                                                                                                                                                                        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun