Mohon tunggu...
Julaila Haris
Julaila Haris Mohon Tunggu... Guru - SMK Negeri Kokar, Kabupaten Alor-NTT

Menulis, Membaca, dan Berbicara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Aku Takut Menjadi Perawan Tua"

24 Februari 2024   23:53 Diperbarui: 24 Februari 2024   23:56 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PART 1

"Sebenarnya mau Ibu apa? Pria seperti apa yang Ibu inginkan untuk menjadi pendamping Endah? Endah bingung dengan pilihan Ibu. Semua pria yang Endah perkenalkan kepada Ibu, semuanya Ibu tolak." Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menahan genangan air mata yang menggenangi bola mata ini. Aku mencoba untuk bicara empat mata dengan Ibu, tapi tak dihiraukan, tiap soalan yang kupertanyakan tentang sikap Ibu pun tak digubris. Aku mendesak, Ibu hanya menjawab "Bila sudah tiba jodohmu, pasti akan datang dengan sendirinya." sepintas kalimat, tapi membuatku terus bertanya-tanya, "ada apa dengan Ibu, sehingga Ibu begitu menyeleksi setiap pria yang ingin dekat denganku."

Selama duduk di bangku sekolah hingga sampai pada bangku kuliah, Ku akui tak pernah menjalin hubungan serius dengan pria manapun. Kalau hanya sekedar dekat.... Iya, ada! Tapi untuk sampai ke jenjang yang lebih serius Aku tak berani. Keadaan ekonomi orang tuaku membuatku lebih tahu diri, daripada hanya sekedar untuk membuang-buang waktu bersama teman-teman pria di luaran sana.

Ayahku seorang tukang bangunan, yang hari-harinya tak pernah mengenal istirahat. Ayahku jarang di rumah karena panggilan tanggung jawab yang begitu besar untuk menghidupi kami anak-anaknya. Ibuku seorang pedang kaki lima, lebih tepatnya pedagang kaki lima. Kedua orang tuaku bekerja membanting tulang tiap harinya  hanya untuk kelangsungan hidup kami. Sehingga tidak ada kata "nakal" sedikitpun yang terbesit dalam pikiranku untuk bersenang-senang di luaran sana layaknya gadis-gadis pada umumnya. Umurku sekarang sudah 26 tahun. Sepertinya bukanlah usia yang terbilang masih remaja. 

Sore ini Aku sudah membuat janji dengan seorang teman pria yang kebetulan lagi dekat denganku. Aku ingin memperkenalkannya kepada orng tuaku, terutama Ibuku. Mas Ferdi namanya. Orangnya tidak begitu tampan, yang jelasnya Aku mencoba untuk mau membuka hati untuk Mas Ferdi. Siapa tahu orang tuaku merestui dan kami bisa saling mengenal lebih dekat lagi.

Sesekali kupandang jam dinding di kamar, arah jarumnya menunjukkan pukul 16.45. "Kok Mas Ferdi belum datang juga ya?" Hati ini tak karuan, rasa khawatir menghantui pikiran, seakan-akan pikiranku ingin berbisik bahwa Mas Ferdi batal datang ke rumah. Hampir saja Aku terjatuh bersama dalamnya lamunan, ohh.... Akhirnya, terdengar suara honda Scoopy berhenti tepat di depan rumah. 

"Assalamu'alaikum" Suara itu sudah tidak asing ditelingaku, "Mas Ferdi.." gumamku dengan lirih. "Wa'a....." belum sempat Aku membalas salam Mas Ferdi, ibu sudah lebih dulu membalas salamnya sambil melangkahkan kakinya ke ruang depan "Wa'alaikumsalam. Cari siapa ya?" tanya Ibu. "Endah ada, Bu? " Oh Endah... Mari masuk dulu" Perasaanku sedikit legah setelah mendengar Ibu menyapa Mas Ferdi dengan lembut. Biasanya kalau ada teman pria yang ke rumah, meskipun mereka hanya sekedar teman saja, tapi pastinya Ibu akan menjawab mereka dengan ketus, bahkan sampai membentak pula.

Dengan riangnya Aku keluar dari kamar, dan menghampiri Mas Ferdi. "Mau minum apa Mas, Kopi, teh, atau air putih? Sedang Ibuku sudah kembali ke belakang. " Tidak usah Ndah, Aku ke sini mau silaturrahmi sekalian mau ngajak kamu jalan-jalan. Nanti kita minum di luar saja yah." kata Mas Ferdi sambil memegang tanganku. Seketika jantungku mau copot, dek.. dek.. dek.. Pura-pura malu Aku melepas tanganku dari genggaman tangannya. "Kalau begitu Aku siap-siap dulu ya, Mas."

Selesai berdandan, Ku hampiri Ibu yang sedang santai di kamarnya. "Bu, Mas Ferdi mengajakku jalan-jalan. Katanya tidak lama, cuman keluar sebentar buat minum" Ekspresi wajahku benar-benar gugup saat itu, seperti Aku sedang berhadapan dengan....... Ah sudahlah,, yang terpenting bagiku adalah mendapatkan izin dari Ibu untuk keluar bersama Mas Ferdi.

"Coba kamu lihat, sudah jam berapa sekarang? Sebentar lagi waktu maghrib, tidak baik seorang anak gadis masih berkeliaran di luar sana saat waktu Maghrib." Ibu mulai berceramah. "Tidak lama kok Bu. Endah janji sebelum jam 7 malam Endah sudah ada di rumah." pintaku dengan penuh pengharapan. "Lantas ntar Maghribnya kamu di mana? Di trotoar? Tidak tidak tidak.. Ibu tidak izinkan." Dengan suara yang semakin meninggi Ibu melarangku pergi sore ini dengan Mas Ferdi. "Kalau habis Maghrib boleh ga Bu Endah keluar dengan Mas Ferdi?" Tanyaku manja sambil memegang kaki Ibu. Ibu hanya menarik nafas panjang lalu meninggalkan kamar dan menghampiri Mas Ferdi di ruang depan. "Nak Ferdi, bukannya Ibu melarang Endah keluar dengan Nak Ferdi, tapi Nak Ferdi juga harus tahu dong sekarang sudah jam berapa? Bentar lagi kan waktu maghrib, sebaiknya Nak Ferdi pulang dulu, besok-besok kemari lagi ya..." Penyampaian Ibu kepada Mas Ferdi terdengar sangat lembut, tapi ditelingaku kata-kata Ibu seperti sedang merobek-robek harga diri Mas Ferdi yang sudah menungguku hampir 1 jam di rumah ini. "Baik Bu, kalau begitu saya permisi dulu. Endah.. Aku pamit ya.. Bye..! 

Sambil menatap mataku, aku dapat melihat kekecewaan besar yang ada pada kedua bola mata itu. Begitu suara Scoopy-nya Mas Ferdi berlalu dari halaman rumah, aku berlari ke kamar. Sudah tak kuasa aku menahan air mata yang yang ku tahan sedari tadi ketika sedang merayu Ibu. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi aku malu didengar tetangga. Meski sikap Ibu seperti itu, dia tetap Ibuku. Aku yakin Ibu punya alasan mengapa dia memperlakukanku seperti itu. 

Aku ingin menemui Ibu, tapi kebiasaan Ibu setelah selesai shalat maghrib, Ibu masih duduk tenang di atas sajadahnya, berdzikir, sampai selesai shalat isya. 

Perasaan tak karuan semakin menjadi-jadi dalam benakku. Pertanyaan-pertanyaan kecil mulai muncul satu per satu " Apakah aku bukan anak kandungnya, sehingga Ibu tak mau melihatku bahagia bersama pilihanku? Apakah Ibu iri melihatku bahagia? Apakah Ibu tidak ingin aku menikah? Ataukah memang Ibu menginginkan aku menjadi perawan tua?" Air mataku terus mengalir, semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul, semakin kuat tekatku untuk lari dari rumah. "Tapi kemana? Tanyaku dalam hati. " Ah nanti saja kupikirkan, yang terpenting sekarang aku harus keluar dari rumah." Soal tempat tinggal,,, gampang... itu mah bisa dicari.

Selesai shalat Isya, aku keluar dari kamar membawa tas berisi beberapa potong pakaian. Niatku tidak ingin memberitahukan Ibu kalau aku mau pergi dari rumah. Tapi Ibu memanggilku dan bertanya dengan lembut "Endah, mau ke mana?" Ya Allah... Suara lembut itu membuatku tak kuasa untuk melangkahkan kakiku keluar dari rumah ini. Apakah suara lembut ini adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku tadi? Sungguh durhaka aku bila keluar dari rumah ini tanpa restu dari Ibu, apalagi bila sampai membuat hatinya terluka.  "Endah mau pergi Bu." Serasa sangat berdosa diri ini ketika menjawab pertanyaan ibu seperti itu. "Endah sudah tidak tahan lagi dengan sikap Ibu yang selalu melihat dan memilih ketika ada pria yang dekat dengan Endah. Mau Ibu apa? Endah sudah tidak tahan lagi, endah mau pergi saja." 

Tetap dengan kelembutan Ibu menjawab sambil mengelus rambutku, "tapi mau kemana kamu malam-malam begini? Tidak baik anak permpuan malam-malam begini tidur di rumah orang." 

"Tidak Bu, Endah juga tidak tahu harus pergi ke mana, tapi Endah juga sudah dewasa, Endah pantas untuk menentukan jalan hidup Endah sendiri." sambil menarik tas yang ada dilenganku, aku menuruni tangga depan rumah dan bergegas melaju menuju pintu pagar. "Kalau begitu, Ibu ikut ya..." Aku tak menjawab, tapi Ibu mengikuti dari belakang, seolah-olah Ibu ingin mengantarkanku ke tempat di mana aku mau bermalam.

"Bu,, jangan mengikuti Endah Bu, Endah bukan anak kecil lagi yang masih harus Ibu atur-atur. Mau kemana, pergj sama siapa, tidur di mana, sudah makan atau belum. Kenapa sih, Ibu suka skali ngatur-nagtur Endah?" Suaraku semakin meninggi tanpa peduli setiap pejalan kaki yang lalu lalang di dekat kami. "Nanti Ibu jelaskan di rumah ya.... Tapi sekarang kita pulang dulu." 

Tanpa sengaja aku melihat mata Ibu mulai berkaca-kaca, bahkan suaranya pun sedikit gemetaran saat mengajakku kembali ke rumah. Sebenarnya hati ini juga tidak tega melihat Ibu seperti itu. Aku merasa sangat berdosa, tapi aku juga tak kuasa untuk dapat bertahan hidup dalam kecaman perangai Ibu yang kian mengkanak-kanakkanku seperti ini.

Aku sudah tak peduli dengan Ibu. Langkah kakiku sengaja kupercepat, agar ibu tak sanggup mengejarku. Dan ternyata betul, kutorehkan sedikit pandangan ke belakang, ibu sudah tidak mengejarku lagi. Mungkin Ibu kelelahan. 

Suara apa itu, seperti suara tangisan. Ku hentikan langkah kaki, mencoba untuk mendengar dengan saksama. 

Itu adalah suara tangisan Ibu. "Ibu..... Ibu....."  Aku tak sanggup mendengar suara tangisan ibu. Sungguh aku sangat durhaka membuat ibu sampai mengeluarkan air mata. Aku berbalik dan berlari memeluk ibu yang bertekuk lutut di atas trotoar.

"Ibu..... Jangan menangis Bu,, Endah tahu Endah salah. Endah minta maaf Bu, asal Ibu jangan menangis. Maafkan Endah Bu." aku terus memeluk Ibu dengan sekuat tenaga. Sungguh aku anak yang durhaka, sampai hati membuat Ibu bisa mengeluarkan airmata karena kebodohan dan keegoisanku sendiri. "Kita pulang ya Nak, kamu anak Ibu, ibu tidak mungkin membiarkan kamu pergi dalam kegelapan malam seperti ini. Ayuuk nak, kita pulang" sambil membelai wajahku, ibu merayuku untuk pulang.

Isak tangisku semakin pecah. Aku mengangguk sambil memegang kedua pipi Ibu. "Iya Bu, kita pulang Bu. Maafkan Endah, Endah sayang Ibu." Sambil mencium kedua tangan Ibu, aku kemudian memapah Ibu untuk bangun dan memeluk Ibu dengan sekuat-kuatnya.

Sembari Ibu mencium keningku, ibu berkata dengan suara yang terdengar serak karena lagi menangis ,"Nanti kita bicarakan di rumah ya Nak. Ibu juga sayang kamu, nak."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun