Aku ingin menemui Ibu, tapi kebiasaan Ibu setelah selesai shalat maghrib, Ibu masih duduk tenang di atas sajadahnya, berdzikir, sampai selesai shalat isya.Â
Perasaan tak karuan semakin menjadi-jadi dalam benakku. Pertanyaan-pertanyaan kecil mulai muncul satu per satu " Apakah aku bukan anak kandungnya, sehingga Ibu tak mau melihatku bahagia bersama pilihanku? Apakah Ibu iri melihatku bahagia? Apakah Ibu tidak ingin aku menikah? Ataukah memang Ibu menginginkan aku menjadi perawan tua?" Air mataku terus mengalir, semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul, semakin kuat tekatku untuk lari dari rumah. "Tapi kemana? Tanyaku dalam hati. " Ah nanti saja kupikirkan, yang terpenting sekarang aku harus keluar dari rumah." Soal tempat tinggal,,, gampang... itu mah bisa dicari.
Selesai shalat Isya, aku keluar dari kamar membawa tas berisi beberapa potong pakaian. Niatku tidak ingin memberitahukan Ibu kalau aku mau pergi dari rumah. Tapi Ibu memanggilku dan bertanya dengan lembut "Endah, mau ke mana?" Ya Allah... Suara lembut itu membuatku tak kuasa untuk melangkahkan kakiku keluar dari rumah ini. Apakah suara lembut ini adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku tadi? Sungguh durhaka aku bila keluar dari rumah ini tanpa restu dari Ibu, apalagi bila sampai membuat hatinya terluka. Â "Endah mau pergi Bu." Serasa sangat berdosa diri ini ketika menjawab pertanyaan ibu seperti itu. "Endah sudah tidak tahan lagi dengan sikap Ibu yang selalu melihat dan memilih ketika ada pria yang dekat dengan Endah. Mau Ibu apa? Endah sudah tidak tahan lagi, endah mau pergi saja."Â
Tetap dengan kelembutan Ibu menjawab sambil mengelus rambutku, "tapi mau kemana kamu malam-malam begini? Tidak baik anak permpuan malam-malam begini tidur di rumah orang."Â
"Tidak Bu, Endah juga tidak tahu harus pergi ke mana, tapi Endah juga sudah dewasa, Endah pantas untuk menentukan jalan hidup Endah sendiri." sambil menarik tas yang ada dilenganku, aku menuruni tangga depan rumah dan bergegas melaju menuju pintu pagar. "Kalau begitu, Ibu ikut ya..." Aku tak menjawab, tapi Ibu mengikuti dari belakang, seolah-olah Ibu ingin mengantarkanku ke tempat di mana aku mau bermalam.
"Bu,, jangan mengikuti Endah Bu, Endah bukan anak kecil lagi yang masih harus Ibu atur-atur. Mau kemana, pergj sama siapa, tidur di mana, sudah makan atau belum. Kenapa sih, Ibu suka skali ngatur-nagtur Endah?" Suaraku semakin meninggi tanpa peduli setiap pejalan kaki yang lalu lalang di dekat kami. "Nanti Ibu jelaskan di rumah ya.... Tapi sekarang kita pulang dulu."Â
Tanpa sengaja aku melihat mata Ibu mulai berkaca-kaca, bahkan suaranya pun sedikit gemetaran saat mengajakku kembali ke rumah. Sebenarnya hati ini juga tidak tega melihat Ibu seperti itu. Aku merasa sangat berdosa, tapi aku juga tak kuasa untuk dapat bertahan hidup dalam kecaman perangai Ibu yang kian mengkanak-kanakkanku seperti ini.
Aku sudah tak peduli dengan Ibu. Langkah kakiku sengaja kupercepat, agar ibu tak sanggup mengejarku. Dan ternyata betul, kutorehkan sedikit pandangan ke belakang, ibu sudah tidak mengejarku lagi. Mungkin Ibu kelelahan.Â
Suara apa itu, seperti suara tangisan. Ku hentikan langkah kaki, mencoba untuk mendengar dengan saksama.Â
Itu adalah suara tangisan Ibu. "Ibu..... Ibu....." Â Aku tak sanggup mendengar suara tangisan ibu. Sungguh aku sangat durhaka membuat ibu sampai mengeluarkan air mata. Aku berbalik dan berlari memeluk ibu yang bertekuk lutut di atas trotoar.
"Ibu..... Jangan menangis Bu,, Endah tahu Endah salah. Endah minta maaf Bu, asal Ibu jangan menangis. Maafkan Endah Bu." aku terus memeluk Ibu dengan sekuat tenaga. Sungguh aku anak yang durhaka, sampai hati membuat Ibu bisa mengeluarkan airmata karena kebodohan dan keegoisanku sendiri. "Kita pulang ya Nak, kamu anak Ibu, ibu tidak mungkin membiarkan kamu pergi dalam kegelapan malam seperti ini. Ayuuk nak, kita pulang" sambil membelai wajahku, ibu merayuku untuk pulang.