Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ujian Kemantapan Demokrasi: Penghapusan Presidential Threshold di Bawah Mikroskop

5 Januari 2025   14:27 Diperbarui: 5 Januari 2025   14:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - MK menghapus presidential threshold atau ambang batas capres. | Image by Canva.com via Kompas.com

Penghapusan presidential threshold menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang meniadakan ambang batas pencalonan presiden ini membuka babak baru dalam persaingan politik nasional.

Namun, di balik euforia pembukaan ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas, terdapat sejumlah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, apakah penghapusan ini benar-benar menjadi katalisator penguatan demokrasi, ataukah justru membuka pintu bagi dinamika politik yang lebih kompleks dan penuh tantangan?

Latar Belakang dan Alasan Penghapusan

Presidential threshold, sebagai ambang batas persentase suara yang harus diperoleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu legislatif agar dapat mengusung pasangan calon presiden, selama ini menjadi isu yang kontroversial.

Pembatasan ini seringkali dikritik karena dianggap menghambat partisipasi politik, memperkuat oligarki partai, dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan hak. 

Argumen utama para pendukung penghapusan presidential threshold adalah bahwa aturan ini menciptakan ketidaksetaraan dalam kontestasi politik, di mana partai-partai besar memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan partai-partai kecil.

Di samping itu, presidential threshold juga dinilai sebagai salah satu faktor penyebab tingginya tingkat abstain pemilih, karena banyak pemilih yang merasa tidak memiliki pilihan yang representatif.

Penghapusan presidential threshold didorong oleh sejumlah faktor, baik dari perspektif konstitusional maupun politik. Secara konstitusional, aturan ini dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih.

Dari perspektif politik, penghapusan presidential threshold diharapkan dapat membuka ruang bagi munculnya pemimpin-pemimpin baru yang lebih representatif dan mengakomodasi aspirasi masyarakat yang lebih luas. 

Lalu, penghapusan ambang batas ini juga diharapkan dapat meningkatkan kompetisi politik yang sehat, sehingga partai-partai politik terdorong untuk memperbaiki kinerja dan program-programnya.

Implikasi dan Potensi Dampak

Penghapusan presidential threshold membuka ruang bagi dinamika politik yang lebih kompleks. Salah satu dampak yang paling kentara adalah meningkatnya jumlah calon presiden. 

Hal ini tentu saja memberikan lebih banyak pilihan bagi pemilih, namun di sisi lain juga berpotensi menimbulkan kebingungan dan mempersulit proses konsolidasi dukungan. 

Dengan banyaknya calon yang bersaing, kampanye pemilu diperkirakan akan berlangsung lebih sengit dan membutuhkan biaya yang lebih besar.

Koalisi antar partai juga diprediksi akan menjadi lebih cair dan mudah berubah. Tanpa adanya ambang batas yang tinggi, partai-partai politik akan lebih fleksibel dalam membentuk koalisi. 

Hal ini dapat berdampak positif dalam hal mengakomodasi kepentingan yang lebih beragam, namun di sisi lain juga berpotensi memicu ketidakstabilan politik. Koalisi yang rapuh dapat menghambat pengambilan keputusan yang efektif dan berujung pada pemerintahan yang lemah.

Munculnya tokoh-tokoh independen juga menjadi salah satu fenomena menarik pasca penghapusan presidential threshold. Tokoh-tokoh populer di luar partai politik, seperti artis, pengusaha, atau tokoh masyarakat, memiliki peluang yang lebih besar untuk maju sebagai calon presiden. 

Hal ini dapat memberikan warna baru dalam persaingan politik, namun juga memunculkan pertanyaan mengenai kapasitas dan pengalaman mereka dalam memimpin negara.

Di sisi lain, penghapusan presidential threshold juga berpotensi memperkuat peran partai politik dalam sistem politik. Dengan tidak adanya ambang batas, partai politik memiliki insentif yang lebih besar untuk memperkuat organisasi dan basis massa mereka. 

Partai-partai politik yang kuat dan solid akan memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam membentuk koalisi dan merumuskan kebijakan publik. Namun, di tengah optimisme akan semakin kuatnya peran partai politik, ada kekhawatiran bahwa penghapusan presidential threshold justru akan memperlemah partai-partai politik. 

Tanpa adanya ambang batas yang tinggi, partai-partai politik kecil berpotensi semakin banyak dan terfragmentasi. Hal ini dapat menghambat terbentuknya partai politik yang besar dan kuat, serta mempersulit proses konsolidasi dukungan.

Potensi Tantangan dan Risiko

Penghapusan presidential threshold, kendati membuka peluang bagi partisipasi politik yang lebih luas, juga membawa sejumlah tantangan dan risiko yang patut diwaspadai. Salah satu risiko utama adalah potensi fragmentasi partai politik. Tanpa adanya ambang batas yang cukup tinggi, partai-partai politik kecil berpotensi menjamur dan sulit untuk membangun koalisi yang solid.

Hal ini dapat menghambat proses pengambilan keputusan di tingkat nasional dan memperlemah stabilitas pemerintahan. Lalu, proliferasi partai politik kecil juga dapat memunculkan dinamika politik yang lebih fluktuatif dan sulit diprediksi.

Risiko lainnya adalah munculnya calon presiden yang tidak kredibel. Dengan persyaratan yang lebih rendah untuk mencalonkan diri, potensi munculnya calon presiden yang tidak memiliki kapasitas, integritas, atau visi yang jelas semakin besar. Hal ini dapat menurunkan kualitas kepemimpinan nasional dan menghambat upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan.

Persaingan yang semakin ketat akibat penghapusan presidential threshold juga berpotensi memicu polarisasi dan konflik horizontal di masyarakat. Kampanye yang bersifat negatif dan saling menjatuhkan dapat mengasah sentimen kebencian dan memecah belah masyarakat. Selain itu, meningkatnya biaya kampanye juga dapat mendorong praktik politik uang yang merajalela, sehingga merusak integritas proses demokrasi.

Ujian Kemantapan Demokrasi

Penghapusan presidential threshold telah membuka babak baru dalam dinamika politik Indonesia. Jika sebelumnya ambang batas ini menjadi semacam filter yang menyaring calon-calon presiden, kini pintu telah terbuka lebar bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden. Namun, di balik peluang yang terbuka lebar ini, terdapat sejumlah tantangan kompleks yang perlu diantisipasi.

Salah satu tantangan terbesar adalah potensi munculnya fragmentasi partai politik. Tanpa adanya ambang batas, partai-partai politik kecil memiliki insentif yang lebih besar untuk berdiri sendiri, sehingga memunculkan banyak partai politik dengan basis dukungan yang sempit. 

Fragmentasi ini dapat menghambat proses pembentukan koalisi yang stabil dan efektif, serta mempersulit pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Di samping itu, penghapusan presidential threshold juga berpotensi meningkatkan biaya politik. Persaingan yang semakin ketat di antara banyak calon presiden dapat mendorong partai politik dan calon independen untuk mengeluarkan biaya kampanye yang semakin besar. 

Hal ini dapat membuka peluang bagi praktik politik uang dan korupsi, serta menghambat partisipasi politik dari kalangan masyarakat yang kurang mampu.

Di sisi lain, penghapusan presidential threshold juga dapat memunculkan fenomena populisme. Dalam upaya menarik simpati publik, calon-calon presiden cenderung menyederhanakan isu-isu kompleks dan menawarkan solusi yang populis namun tidak realistis. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi politik dan menghambat pembangunan nasional.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan sejumlah langkah strategis.

Pertama, perlu dilakukan reformasi sistem pemilu yang lebih komprehensif. Reformasi ini mencakup penyederhanaan sistem proporsional terbuka, penguatan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu, serta peningkatan transparansi dalam pendanaan kampanye.

Kedua, partai politik perlu melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kapasitas kadernya. Partai politik yang solid dan memiliki program yang jelas akan lebih mampu bersaing dalam kontestasi politik yang semakin kompetitif.

Ketiga, masyarakat sipil perlu berperan aktif dalam mengawal jalannya demokrasi. Masyarakat sipil dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, serta mengkampanyekan pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas.

Kesimpulan

Penghapusan presidential threshold merupakan langkah berani yang berpotensi membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik Indonesia. Namun, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada kesiapan seluruh komponen bangsa untuk menghadapi tantangan dan risiko yang menyertainya. 

Dengan pengelolaan yang baik, penghapusan presidential threshold dapat menjadi tonggak sejarah bagi penguatan demokrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun