Penghapusan presidential threshold, kendati membuka peluang bagi partisipasi politik yang lebih luas, juga membawa sejumlah tantangan dan risiko yang patut diwaspadai. Salah satu risiko utama adalah potensi fragmentasi partai politik. Tanpa adanya ambang batas yang cukup tinggi, partai-partai politik kecil berpotensi menjamur dan sulit untuk membangun koalisi yang solid.
Hal ini dapat menghambat proses pengambilan keputusan di tingkat nasional dan memperlemah stabilitas pemerintahan. Lalu, proliferasi partai politik kecil juga dapat memunculkan dinamika politik yang lebih fluktuatif dan sulit diprediksi.
Risiko lainnya adalah munculnya calon presiden yang tidak kredibel. Dengan persyaratan yang lebih rendah untuk mencalonkan diri, potensi munculnya calon presiden yang tidak memiliki kapasitas, integritas, atau visi yang jelas semakin besar. Hal ini dapat menurunkan kualitas kepemimpinan nasional dan menghambat upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan.
Persaingan yang semakin ketat akibat penghapusan presidential threshold juga berpotensi memicu polarisasi dan konflik horizontal di masyarakat. Kampanye yang bersifat negatif dan saling menjatuhkan dapat mengasah sentimen kebencian dan memecah belah masyarakat. Selain itu, meningkatnya biaya kampanye juga dapat mendorong praktik politik uang yang merajalela, sehingga merusak integritas proses demokrasi.
Ujian Kemantapan Demokrasi
Penghapusan presidential threshold telah membuka babak baru dalam dinamika politik Indonesia. Jika sebelumnya ambang batas ini menjadi semacam filter yang menyaring calon-calon presiden, kini pintu telah terbuka lebar bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden. Namun, di balik peluang yang terbuka lebar ini, terdapat sejumlah tantangan kompleks yang perlu diantisipasi.
Salah satu tantangan terbesar adalah potensi munculnya fragmentasi partai politik. Tanpa adanya ambang batas, partai-partai politik kecil memiliki insentif yang lebih besar untuk berdiri sendiri, sehingga memunculkan banyak partai politik dengan basis dukungan yang sempit.Â
Fragmentasi ini dapat menghambat proses pembentukan koalisi yang stabil dan efektif, serta mempersulit pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Di samping itu, penghapusan presidential threshold juga berpotensi meningkatkan biaya politik. Persaingan yang semakin ketat di antara banyak calon presiden dapat mendorong partai politik dan calon independen untuk mengeluarkan biaya kampanye yang semakin besar.Â
Hal ini dapat membuka peluang bagi praktik politik uang dan korupsi, serta menghambat partisipasi politik dari kalangan masyarakat yang kurang mampu.
Di sisi lain, penghapusan presidential threshold juga dapat memunculkan fenomena populisme. Dalam upaya menarik simpati publik, calon-calon presiden cenderung menyederhanakan isu-isu kompleks dan menawarkan solusi yang populis namun tidak realistis. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi politik dan menghambat pembangunan nasional.