Tahun baru, harapan baru. Namun, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tahun baru 2025 hadir dengan kejutan yang kurang menyenangkan yakni rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.Â
Kenaikan ini, meski terkesan kecil, namun memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan sehari-hari. Ibarat pepatah, "sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit", kenaikan PPN ini akan terus menumpuk dan berdampak pada daya beli masyarakat.
"Selamat tinggal, uang receh," mungkin menjadi ungkapan yang sering kita dengar di tengah isu kenaikan PPN ini. Uang receh, yang selama ini kita anggap remeh, ternyata memiliki peran penting dalam transaksi sehari-hari.Â
Dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa akan ikut naik, dan otomatis uang receh yang kita terima sebagai kembalian akan semakin sedikit, bahkan mungkin tidak ada sama sekali.
Hilangnya uang receh ini bukan hanya sekadar masalah praktis dalam mengelola keuangan, namun juga membawa konsekuensi psikologis. Uang receh, sekecil apapun nilainya, memberikan rasa kepuasan tersendiri ketika kita menerimanya.Â
Hilangnya kepuasan kecil ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi mood dan persepsi kita terhadap kondisi ekonomi.
Uang Receh: Simbol Kecil, Dampak Besar
Uang receh, simbol kecil namun bermakna dalam transaksi sehari-hari, kini semakin jarang ditemui di saku kita. Kenaikan PPN 12% telah mengubah lanskap ekonomi, memaksa kita untuk beradaptasi dengan era digital dan transaksi non-tunai.Â
Dulu, uang receh menjadi semacam penyeimbang dalam transaksi, memberikan fleksibilitas bagi pembeli dan penjual. Namun, dengan semakin tingginya harga barang dan jasa, uang receh seolah menjadi korban pertama.
Hilangnya uang receh bukan hanya sekadar masalah praktis dalam mengelola keuangan, namun juga membawa konsekuensi psikologis.Â