Bagi sebagian orang, uang receh memiliki nilai sentimental, mengingatkan kita pada masa kecil ketika kita mengumpulkan uang receh untuk membeli jajanan. Hilangnya uang receh ini seakan menjadi tanda berakhirnya suatu era.
Di sisi lain, hilangnya uang receh juga dapat mendorong masyarakat untuk beralih ke transaksi non-tunai. Penggunaan kartu debit, kartu kredit, dan dompet digital semakin populer.Â
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan dan mengurangi penggunaan uang tunai. Namun, tidak semua lapisan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap layanan keuangan digital.
Kenaikan PPN 12% juga berdampak pada sektor informal. Pedagang kaki lima dan warung-warung kecil yang masih banyak menggunakan sistem pembayaran tunai akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan ini.Â
Mereka mungkin perlu berinvestasi dalam alat pembayaran elektronik atau mencari cara lain untuk menarik pelanggan.
Di tengah perubahan ini, penting bagi kita untuk tetap optimis. Hilangnya uang receh dapat menjadi peluang bagi kita untuk mengembangkan kebiasaan menabung yang lebih baik.Â
Dengan mengurangi penggunaan uang tunai, kita dapat lebih mudah melacak pengeluaran dan menghindari pengeluaran yang tidak perlu.
Namun, kita juga perlu memperhatikan dampak sosial dari hilangnya uang receh. Bagi sebagian orang, terutama generasi tua yang kurang familiar dengan teknologi digital, perubahan ini bisa menjadi tantangan.Â
Pemerintah perlu menyediakan fasilitas dan edukasi yang memadai untuk membantu mereka beradaptasi.
Dalam jangka panjang, hilangnya uang receh akan mendorong kita untuk membangun ekonomi yang lebih efisien dan transparan. Transaksi non-tunai dapat mengurangi risiko pencurian dan memudahkan pemerintah dalam melacak aliran uang.Â
Namun, kita juga perlu memastikan bahwa sistem keuangan digital yang kita bangun tetap inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.