Generasi milenial dan generasi Z, yang tumbuh dalam era individualisme dan kebebasan memilih, cenderung menunda pernikahan untuk mengejar tujuan pribadi terlebih dahulu. Karir yang mapan, finansial yang stabil, dan pengalaman hidup yang lebih luas menjadi prioritas utama. Dalam konteks ini, pernikahan dianggap sebagai sebuah pencapaian akhir, bukan titik awal seperti yang diyakini oleh generasi sebelumnya.
Selain itu, tekanan ekonomi juga menjadi faktor signifikan. Biaya hidup yang semakin tinggi, tuntutan untuk memiliki rumah dan mobil sendiri, serta utang pendidikan membuat banyak pasangan muda merasa belum siap secara finansial untuk menikah. Mereka khawatir tidak dapat memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga kecilnya.
Perubahan peran gender juga turut mempengaruhi keputusan untuk menikah. Perempuan semakin mandiri dan memiliki karier yang sukses. Mereka tidak lagi bergantung pada pria untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini membuat perempuan lebih selektif dalam memilih pasangan hidup dan tidak terburu-buru untuk menikah.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah ketakutan akan kegagalan. Tingginya angka perceraian membuat banyak orang merasa khawatir untuk berkomitmen dalam sebuah hubungan pernikahan. Mereka takut akan mengalami hal yang sama dan tidak ingin mengambil risiko.
Fenomena kartu nikah yang seakan menjadi barang koleksi adalah cerminan dari perubahan zaman. Nilai-nilai tradisional tentang pernikahan mulai terkikis, dan generasi muda memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta, komitmen, dan keluarga.
Meskipun demikian, pernikahan tetap menjadi institusi yang penting bagi banyak orang. Tantangannya adalah bagaimana kita dapat menciptakan kondisi yang lebih kondusif bagi pasangan muda untuk menikah dan membangun keluarga yang bahagia.
Apa yang Menyebabkan Fenomena Ini?
Perubahan signifikan dalam lanskap sosial, ekonomi, dan budaya telah secara drastis mengubah persepsi masyarakat terhadap pernikahan. Dulu, pernikahan dianggap sebagai tujuan akhir dari sebuah hubungan, namun kini pandangan tersebut semakin terkikis.
Generasi muda, yang tumbuh dalam era informasi dan globalisasi, memiliki akses yang lebih luas terhadap berbagai pilihan hidup. Mereka melihat bahwa kebahagiaan tidak selalu identik dengan pernikahan. Keinginan untuk mengejar karier, meraih kemandirian finansial, dan mengeksplorasi diri sendiri menjadi prioritas utama.
Faktor ekonomi juga berperan besar dalam fenomena ini. Tingginya biaya hidup, mulai dari biaya pernikahan itu sendiri hingga biaya untuk menunjang kehidupan rumah tangga, membuat banyak orang merasa terbebani. Ketidakstabilan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan yang layak semakin memperparah situasi.Â
Selain itu, tuntutan untuk memiliki gaya hidup tertentu, seperti memiliki rumah sendiri dan mobil, juga menjadi hambatan bagi sebagian orang untuk menikah.