Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Saatnya Ortu Tinggalkan Gaya Otoriter pada Anak, Beralih ke Otoritatif, Mengapa?

19 Oktober 2024   08:57 Diperbarui: 19 Oktober 2024   08:59 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Saatnya tinggalkan gaya otoriter anda pada anak, beralih ke otoritatif. | Thinkstockphotos via KOMPAS.com

Bayangkan seorang pelukis yang selalu dipaksa untuk melukis dengan satu warna dan satu gaya saja. Kreativitasnya akan terkekang dan ia tidak akan pernah bisa menciptakan karya seni yang unik dan orisinal.

Begitu pula dengan anak yang tumbuh dalam lingkungan yang terlalu otoriter. Mereka akan kesulitan untuk berpikir di luar kotak dan menemukan solusi yang inovatif untuk masalah.

Pola asuh otoriter juga dapat membuat anak takut untuk membuat kesalahan. Ketika anak takut membuat kesalahan, mereka akan cenderung menghindari aktivitas yang menantang dan memilih untuk melakukan hal-hal yang sudah pasti aman.

Padahal, kesalahan adalah bagian penting dari proses belajar. Melalui kesalahan, anak-anak dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan menjadi lebih tangguh.

Selain itu, pola asuh otoriter juga dapat menghambat perkembangan imajinasi anak. Anak-anak yang selalu diberikan jawaban yang siap pakai akan kesulitan untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas mereka. Mereka akan cenderung pasif dan tidak aktif mencari tahu hal-hal baru.

Dalam jangka panjang, kurangnya kreativitas dapat membatasi peluang anak untuk sukses. Di dunia yang semakin kompetitif, kreativitas adalah salah satu kunci keberhasilan. Orang-orang yang kreatif lebih mudah beradaptasi dengan perubahan, menemukan solusi inovatif untuk masalah, dan menciptakan peluang baru.

Ketiga, memiliki masalah emosional. Anak yang selalu ditekan dan dihukum cenderung mengalami masalah emosional seperti kecemasan, depresi, atau kemarahan.

Bayangkan hidup dalam sebuah penjara kecil di mana setiap gerakan Anda diawasi dan dibatasi. Rasa takut dan ketidakpastian akan terus menghantui Anda. Begitu pula dengan anak yang tumbuh dalam lingkungan yang terlalu otoriter. Mereka akan merasa terjebak dan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri.

Pola asuh otoriter juga dapat menyebabkan anak kesulitan dalam mengatur emosi. Ketika anak tidak diizinkan untuk mengungkapkan perasaan mereka, baik itu kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan, emosi-emosi tersebut akan terpendam dan dapat meledak kapan saja. Emosi yang terpendam dapat memicu berbagai masalah psikologis di kemudian hari.

Selain itu, pola asuh otoriter juga dapat merusak harga diri anak. Ketika anak terus-menerus dikritik dan dihukum, mereka akan merasa tidak berharga dan tidak mampu. Rasa rendah diri ini dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional anak.

Dalam jangka panjang, masalah emosional yang dialami anak dapat berdampak pada kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Mereka mungkin kesulitan untuk menjalin hubungan yang sehat, mencapai kesuksesan dalam karier, dan merasakan kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun