Lahan gambut, seringkali dianggap sebagai lahan marginal yang tidak produktif, menyimpan rahasia besar yang dapat menentukan nasib planet kita.
Sebagai endapan organik yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk dalam kondisi basah selama ribuan tahun, lahan gambut menjadi gudang karbon terbesar di dunia.
Namun, keseimbangan alam ini rentan terhadap gangguan manusia. Pencemaran udara, air, dan tanah akibat aktivitas industri dan domestik telah merusak ekosistem dan mengancam keberlangsungan hidup banyak spesies.
Selain itu, penggundulan hutan secara besar-besaran untuk kepentingan pertanian, perkebunan, dan pembangunan telah menyebabkan hilangnya habitat bagi flora dan fauna.
Dampak dari kerusakam lahan gambut telah menyebabkan pemanasan global, yang berdampak pada perubahan iklim ekstrem dan naiknya permukaan air laut.
Di sisi lain, lahan gambut sehat sangat berperan sebagai karbon sink, menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dalam jumlah yang sangat besar.
Proses pembentukan gambut yang lambat membuat karbon tersimpan dalam jangka waktu yang lama, jauh lebih lama dibandingkan hutan tropis di lahan mineral.
Dengan demikian, lahan gambut menjadi benteng pertahanan alami melawan perubahan iklim.
Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, lahan gambut di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengalami degradasi yang signifikan.
Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan, atau pemukiman, serta kebakaran hutan yang sering terjadi, menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem gambut.
Ketika lahan gambut dikeringkan dan teroksidasi, karbon yang tersimpan di dalamnya akan terlepas ke atmosfer sebagai CO2, mengubah lahan gambut dari karbon sink menjadi sumber emisi karbon terbesar.