Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 sebentar lagi akan bergulir. Pilkada serentak kali ini akan berlangsung di 270 daerah yang terdiri dari 9 propinsi 224 kabupaten dan 37 kota termasuk di Nusa Tenggara Timur.
Konstelasi politik tahun ini tak kalah seru dengan suhu dan tensi politik pada pilkada tahun-tahun sebelumnya. Tim telah secara masif melakukan konsolidasi massa di berbagai tempat, mulai dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa.
Komunikasi dengan mesin partai politik sebagai kendaraan dalam bertarung telah berjalan secara mulus. Pertempuran kembali menghangat, meski belum secara resmi daftar di pihak penyelenggara pemilu (Komisis Pemilihan Umum) namun geliat kapanye kerap kali memenuhi ruang jagat maya melalui media sosial seperti facebook, instagram, twiter, youtube dan lain sebagainya.
Warganet beramai-ramai memposting jagoan mereka dengan berbagai jargon menarik  demi menaruh simpati masyarakat terhadap calon dukungan mereka. Tak hanya melalui media sosial namun pemasangan baliho sudah mulai terpajang di berbagai tempat umum, mulai dari kota hingga ke desa-desa.
Rakyat Kembali Disembah
Pilkada sebagai ajang kontestasi politik telah menjadi ruang pertarungan dalam merebut kekuasaan. Undang-undang dasar 1945 pasal 1 ayat 2 mengamanatkan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat.
Di pemilu kali ini rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kini kembali di sembah, blusukan tim sukses dan para kandidat calon sering kali diwarnai dengan penokohan total tehadap sosok calon pemimpin yang seakan peduli dan melayani terhadap kaum papa.
Tak hanya hadir sebagai sosok yang melayani, para kandidat calon juga turut membawa janji politik dengan iming-iming memberikan bantuan bagi warga yang kurang mampu, mempercepat akses pelayanan umum disegala bidang, dan janji-janji manis lainnya. Â Hal tersebut mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapat dukungan dari masyarakat.
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, masyarakat hanya berharap kepada calon pemimpin agar tidak berpura-pura baik pada saat dibutuhkan namun dilupakan ketika berkuasa. Selain dari pada itu masyarakat juga berharap agar calon pemimpin tidak hanya memberikan janji semata namun yang diharapkan hanyalah kerja nyata dari apa yang telah dijanjikan.
Mengabdi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat adalah hal yang diinginkan oleh setiap warga negara. Oleh karena itu penulis berharap agar masyarakat yang memiliki hak suara  mampu menilai calon pemimpin, kira-kira mana calon pemimpin yang bertanggung jawab dan berintegritas dan mana yang tidak.
Seperti yang pernah di katakan oleh rohaniwan katolik Frans Magnis Suseno bahwa pemilu adalah bukan memilih yang terbaik tetapi mencegah yang terburuk memimpin.
Pentingnya Pendidikan PolitikÂ
Hampir memasuki dua dekake bangsa Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Usia ini kalau dalam fase perkembangan dan pertumbuhan manusia telah memasuki usia yang cukup dewasa. Namun dalam rentangan waktu tersebut potret demokrasi masih saja diwarnai dengan berbagai persoalan yang cukup rumit.
Berkaca pada pilkada 27 Juni 2018 lalu, tidak ada perubahan yang cukup signifikan dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang subtansial.
Indonesian Coruption Watch (ICW)  mencatat sepuluh kasus yang terjadi pada pergelaran pilkada pada tahun 2018 lalu, kasus tersebut  sangat bervariasi. Pertama  jual beli pencalonan (Candidacy buying) antara kandidat dan partai politik.
Kedua, munculnya nama-nama calon bermasalah (mantan Narapidana atau tersangka korupsi). Ketiga, munculnya calon tunggal. KPU pada 10 Januari 2018 mengumumkan terdapat 19 daerah dengan calon tunggal.
Tiga dari empat kabupaten atau kota yang akan menggelar Pilkada di Banten bahkan mempunyai calon tunggal. Keempat, kampanye berbiaya tinggi akibat dinaikannya batasan sumbangan dana kampanye dan diizinkannya calon memberikan barang seharga maksimal Rp 25 ribu kepada pemilih.
Kelima, pengumpulan model ilegal (jual beli izin usaha, jual beli jabatan, suap proyek) dan politisasi program pemerintah (dana hibah, bantuan sosial, dana desa dan anggaran rawan lainnya) untuk kampanye. Keenam, politisasi birokrasi dan pejabat negara, mulai dari birokrat, guru hingga institusi TNI dan Polri.
Ketujuh, politik uang (jual beli suara pemilih). Kedelapan, manipulasi laporan dana kampanye. Kesembilan, suap kepada penyelenggara pemilu dan kesepuluh, korupsi untuk pengumpulan modal, jual beli perizinan, jual beli jabatan, hingga korupsi anggaran.
Kasus-kasus tersebut di atas telah mencederai asas pemilu yang sejatinya harus mengedepankan roh dan nilai luhur pemilu itu sendiri yaitu Langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) serta jujur dan adil (JURDIL).
Rekam jejak buruk yang terjadi di pilkada 2018 lalu diharapkan tak  akan terulang lagi pada pemilihan umum kepala daerah pada tahun ini dan di masa mendatang. Selain itu pemuda sebagai agen of changes dan agent of control  mampu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Kerena jika kaum muda tidak peduli (apatis) maka demokrasi bangsa ini akan terus dilacuri oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok dan golongan tertentu; juga tidak akan muncul calon pemimpin yang bersih jika proses dan pelaksanaan pemilu tidak sesuai dengan asas pemilu itu sendiri.
Karenanya penulis berharap teman-teman  muda unutuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum, baik sebagai penyelanggara pemilu, pengawas maupun sebagai tim dari calon dukungan masing-masing dengan harapan mampu memberikan  warna politik yang berbeda melalui cara yang inovatif dan kreatif dengan mengedepankan asas pemilu itu sendiri sebagai roh demokrasi.Â
Pada akhir tulisan ini penulis berharap agar pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 berjalan dengan baik sesuai tahapan dan prosedur. Selain itu mampu menghadirkan kontestasi pemilu damai tanpa ada persoalan dan kekacauan yang berarti.
Pemilu dikatakan berintegritas jika seluruh elemen masyarakat yang terlibat mampu menjaga sikap dan etika dalam berdemokrasi, baik itu pihak penyelenggara, pengawas, keamanan, partai politik maupun masyarakat yang menjadi kedaulatan tertinnggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI