Semiotika
Semiotika dapat didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs) atau studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes, 1982: ix; Budiman, 2011: 3). Dalam kata lain, semiotika adalah ilmu tentang tanda.Â
Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, yaitu cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh para penggunanya (Zoest, 1992: 5). Semiotika bukan hanya berhubungan dengan isyarat bahasa, melainkan juga berhubungan dengan isyarat-isyarat nonbahasa dalam komunikasi antar manusia (Parera, 2004: 41). Dalam semiotika, ada istilah tanda, penanda, dan petanda. Tanda (sign)merupakan satuan dasar bahasa yang terbentuk dari adanya relasi antara penanda (signifier)dan petanda (signifier).Penanda merujuk kepada aspek material tanda yang bersifat sensoris atau dapat diindrai. Sedangkan petanda merujuk kepada konsep mental atau representasi mental dari penanda (Budiman, 2011: 30).
Dalam semiotik Roland Barthes, pendekatannya secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan yang disebutnya sebagai mitos. Bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos. Â Mitos tidak hanya merujuk kepada tuturan berupa tulisan, verbal, visual, melainkan juga fotografi, film, pertunjukan, bahkan olahraga dan makanan (Budiman, 2011: 41).Â
Secara semiotis, hal ini dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua dimana penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian rupa sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda-tanda pada tahapan pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi pendanda-penanda yang berhubungan dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah posisi dimana mitos berada. Proses ini disebut sebagai signifikasi berlapis ganda (Budiman, 2011: 38-39).
Signifikasi berlapis ganda ini kemudian disebut sebagai denotasi dan konotasi. Denotasi merujuk kepada tingkatan makna tanda yang penanda-penandanya dapat diidentifikasi ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin. Semua konsep tersebut kemudian membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama. Selanjutnya pada tataran konotasi atau mitos, citra menyodorkan makna. Pada tataran ini, penanda-penandanya menunjuk kepada seperangkat petanda (Budiman, 2011: 41). Citra itu sendiri ternyata memiliki dua tataran yang terkandung di dalamnya (Barthes, 1984: 16-27, 33-46; Budiman, 2011: 43). Dua tataran tersebut adalah sebagai berikut.
- Pesan harfiah atau pesan ikonik tak berkode merupakan tataran denotasi citra.
- Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode merupakan tataran konotasi citra yang keberadaannya didasarkan atas kode kebudayaan tertentu. Â
Di samping itu, sebuah citra juga berkomunikasi melalui struktur lain yang disebut teks, yaitu susunan kata-kata, perkataan-perkataan, atau kalimat-kalimat yang membantu mengkonotasikan citra. Teks ini disebut sebagai pesan lingual yang dapat diwujudkan dalam bentuk judul, caption,dialog, dan sebagainya (Budiman, 2011: 44). Pesan lingual juga memiliki tataran denotasi dan konotasi. Terkait dengan hal tersebut, pesan lingual memiliki fungsi penambat (anchoring)dan pemancar (relay)sebagai berikut (Barthes, 1984: 38-41; Budiman, 1999: 91- 93; Budiman, 2011: 44).
- Fungsi penambat: pesan lingual yang hadir bersamaan dengan citra berfungsi untuk mengarahkan interpretasi, mengarahkan pembaca kepada petanda atau makna-makna tertentu.
- Fungsi pemancar: pesan lingual hadir sebagai pelengkap. Pada tataran ini, makna-makna yang ada di dalam teks tidak dapat ditemukan di dalam citra dan sebaliknya. Jadi, teks dan citra lebih kepada hubungan yang saling melengkapi. Peran teks disini hanya sebatas mengarahkan alur citra.
Â
BAB III
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Objek