Mohon tunggu...
Judika B.M.
Judika B.M. Mohon Tunggu... -

Pemilik nama Judika B.M. saat ini bekerja di media Aplaus the Lifestyle (www.aplausthelifestyle.com) sebagai jurnalis. Sering kali email, telepon, atau sms yang masuk, menyapa dengan sebutan 'mas, abang, pak'. \r\n\r\nI am a big fan of Maliq & D'Essentials. Saya itu orangnya nggak ribet. Suka bertemu dengan banyak orang. Punya banyak impian. Selalu punya topik obrolan kalau udah ketemu dengan orang. Bawaannya selalu ngoceh.\r\n\r\nSaya suka menghitung: hari, tanggal, juga uang! :D Memiliki ketergantungan terhadap: cokelat, susu, teh, kopi, jalan-jalan, kuliner, dan tentunya novel. \r\n\r\nFave quotes saat ini: \r\n- Every thing happen for a reason. \r\n- If we believe on something and just keep on trying, we will survive (Beautiful Life, Maliq & D’Essentials)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dulu, Sekarang dan Sampai Selamanya: Saya Tetap Batak

8 November 2011   02:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Sudah pernah diposting di dinding Facebook pada hari Jumat, 4 December 4, 2009, pukul 12:35am

Ada sebuah perasaan bangga dan haru saat membaca blog seorang penyanyi terkenal di ibu kota ini. Sulit pula bagi saya untuk menjelaskan entah kenapa perasaan yang sebenarnya tak menentu ini masih terus bergejolak di dalam dada.

Bukan karena kata-katanya yang dijalin dengan indah. Apalagi oleh isinya yang lumayan panjang. Yang pasti bukan karena kedua hal tersebut. Oh ya, bukan juga karena dia adalah seorang penyanyi terkenal yang menyukai dunia tulis menulis. Tapi karena judul singkat nan padat yang dia tempatkan sebagai awal dari tubuh tulisannya. Judulnya, 'Aku Batak'.
***

"Kau orang Chinese ya?" sambil menyusuri lorong gedung kampus yang berwarna hitam putih yang baru itu, pemilik nama Dessy ini tiba-tiba mempertanyakan kesukuan saya. Padahal sepanjang perjalanan menuju ruang Pembantu Dekan I, kami hanya berceloteh soal film-film yang sedang in di bioskop.

"Bukan. Kenapa?" sebenarnya bagi saya pertanyaan seperti yang dilontarkan Dessy tadi bukan pertanyaan yang baru. Dulu, waktu masih kelas 3 SMP dan mengikuti bimbingan bahasa Inggris yang berada di persimpangan jalan besar rumah tempat saya tinggal, juga pernah ada seorang guru bimbingan yang mempertanyakan soal etnis saya.

Selain itu, pernah pula saat pertama kali saya mendaftar untuk mengikuti ujian saringan masuk Perguruan Tinggi Negeri, seorang wanita muda yang menjaga tempat pendaftaran itu entah kenapa menyapa saya dengan sebutan 'ci'.

Tapi saya sendiri nggak merasa aneh kok dengan sebutan itu. Malahan sudah biasa. Pasalnya, toh selama ini kalau saya pergi ke gereja dan bertemu dengan teman-teman seiman yang lain di sana, maka sebagian dari mereka yang berusia lebih muda, akan memanggil saya dengan sebutan 'Ci'. Ya, mereka memanggil 'Ci Jud'.

"Soalnya bahasa Indonesiamu aneh. Dan sori ya, matamu agak sipit. Kulitmu juga nggak jauh beda dengan orang Chinese kebanyakan." Oh, rupanya alasan ini yang membuat dia melayangkan pertanyaan tadi.

Kontan saya langsung menepuk bahunya dan berujar, "Nggak! Aku orang Batak. Apa nggak lihat wajahku Batak? Dan kalau kau bilang aku putih, kau salah Des! Di rumah, akulah yang sudah menghitam," saya berujar sekenanya.

"Oh ya? Berarti dulu kau seputih kapur ya?" Tentu dia sedang bercanda.

"Lebih tepatnya seperti tembok putih gedung kita itu Des!" Seketika tawa pecah kami pun memenuhi ujung lorong gedung Fisip itu.
***

Saya tidak pernah merasa menyesal dilahirkan sebagai anak perempuan Batak. Kami menyebutnya sebagai boru Batak. Semasa sekolah, saya akui memang berada di lingkungan etnis Chinese. Mungkin ini pula yang membuat saya merasa satu dan merupakan bagian dari diri mereka (baca: sampai saat ini), tanpa melupakan identitas darah yang mengalir di dalam tubuh saya.

Papa jelas merupakan orang Batak. Karena kakek (ompung doli) dan nenek (ompung boru) saya jelas-jelas berdarah Batak. Tapi uniknya, begitu turun ke generasi saya dan para sepupu, nggak sedikit orang yang berpikir kalau saya dan para sepupu ini adalah keturunan campuran.

Entahlah. Mungkin karena pengaruh kulit putih kemerahan yang diturunkan oleh adik perempuan papa (kami menyebutnya namboru, namun lebih akrab dipanggil dengan sebutan bou) kepada sepupu-sepupu saya itu. Bahkan, anak laki-laki bou saya yang bungsu itu malahan begitu miripnya dengan orang Korea.

Pasalnya, pernah saat dia (masih berumur kurang dari 4 tahun) dibawa oleh mamanya berbelanja di pasar tradisional di Siantar (Pajak Horas), hampir semua orang yang mengenal bou saya itu bertanya apakah ayah dari sepupu saya itu orang Korea. Saya hampir terbahak-bahak waktu bou menceritakan ini. Karena memang suami dari bou saya ini (dipanggil dengan sebutan amangboru) sungguh-sungguh berwajah amuba alias asli muka Batak.

Sekarang dia sudah kelas 4 SD. Dari cerita bou, saya juga menegetahui kalau guru-gurunya pun sering bertanya pada sang ibu soal ayah si anak. Pertanyaan mereka semua seragam. "Blasteran ya bu?" Saya rasa, kalau mau dihitung, entah sudah berapa banyak orang yang menanyakan hal demikian terhadap bou saya ini selama bertahun-tahun, sejak si bungsu Jeremia itu lahir. Dan kalau dipikir-pikir, masuk akal memang pertanyaan mereka. Sebab mata sipit anak SD yang sudah memakai lensa ini tidak seperti etnis Chinese kebanyakan. Dia seperti anak-anak di Korea. Ahh, mungkin mereka kebanyakan melihat drama Korea, pikir saya.

Lain Jeremia, lain pula Jesaya dan adik-adiknya. Sepupu saya yang ini merupakan anak dari adik laki-laki papa saya (Uda) yang saat ini tinggal di Rantau Parapat. Memang, mata Uda saya itu cukup sipit. Bahkan dengan warna kulitnya yang kuning langsat, orang-orang mungkin juga akan percaya kalau dia mengaku sebagai etnis Chinese. Uniknya dia menikahi seorang wanita Batak yang bermata sipit namun berkulit sawo matang. Oh ya, bermata sipit yang saya maksud bukan sekedar mata sipit biasa. Namun lebih mengarah pada sipit mata etnis Tionghoa. Jadi nggak heran kalau putra putri mereka sulit dipercayai sebagai anak-anak Batak. Hanya si bungsu mereka yang tidak seperti orang Chinese. Mungkin menurun dari garis keturunan ompung boru dari pihak ibunya, si bungsu Frederick ini lebih pas dikatakan sebagai anak Sunda. Saya sendiri bingung dari segi mana Frederick dikatakan mirip Sunda, tapi begitulah testimonial orang-orang.

Nggak jauh pula bedanya dengan seorang sepupu saya lagi yang tinggal di Tangerang sana. Kulit putih kenyal dan mata sipitnya itu seolah-olah mencerminkan garis keturunan Tionghoa dalam dirinya. Setali tiga uang, nama yang diberikan padanya sekilas terdengar seperti nama orang Jepang pula. Hotasi, begitu kami memanggilnya. Padahal nama Hotasi ini sebenarnya merupakan penggabungan dua kata dalam bahasa Batak. Yakni hot dan asi yang berarti penuh cinta kasih.

Oh ya, mungkin karena papa dari awal sudah bekerja di lingkungan Chinese, maka kami anak-anaknya pun lebih punya banyak teman bersukukan Tionghoa ketimbang suku lainnya. Dan berhubung saya sudah lama berada dalam lingkungan etnis Tionghoa, secara perlahan seolah-olah identitas saya pun sama dengan mereka. Kebetulan bahasa yang saya pergunakan sehari-hari dengan mereka juga bahasa Tionghoa. Jadi, saya juga nggak akan tersinggung kalau ada yang mempertanyakan kesukuan saya.

Ini wajar. Lingkungan pendidikan saya semuanya etnis Chinese. Bahkan saya berkomunikasi pun menggunakan bahasa mereka. Maka tak jarang, secara tak disengaja intonasi bahasa Indonesia saya pun kadang-kadang bernadakan bahasa Hokien. Oh la la!

Jujur, sampai saat ini, teman saya kebanyakan pun adalah etnis Tionghoa. Hanya setelah duduk di kursi perkuliahan, maka saya pun mulai berbaur di suku-suku lain selain Chinese. Saya juga merasa bersyukur saat papa tidak mengharuskan saya untuk mencari pria berdarah Batak sebagai pacar. Karena dia tahu kalau pergaulan saya berada dalam lingkaran etnis Tionghoa. Pun dia sendiri berada dalam lingkaran yang sama seperti saya.

Namun pernah sekali tanpa sengaja saya mendengar obrolannya dengan mama, bahwa dari lubuk hatinya, ia juga berharap kalau pacar saya adalah orang Batak. Ya ya ya. Namanya juga orang tua. Tapi kemudian saya lega mendengar kalimat berikutnya yang dia ucapkan. Katanya, nggak harus orang Batak, asal pacarnya seiman dan bertanggung jawab, itu yang terpenting. Senyum simpul pun terulas di bibir saya saat itu. Karena bagaimana mungkin saya bisa berkenalan dan menjalin pertemanan dengan baik dengan pria berdarah Batak, sementara saya berada di lingkungan etnis Chinese.

Dulu, sewaktu saya SD, semua teman saya tidak ada yang beretnis Tionghoa. Dan sempat pula saat itu saya merasa menyukai (alias cinta monyet) seorang teman yang berdarah Batak dan Sunda. Rumahnya sampai sekarang masih berada di dekat rumah saya. Anak itu manis. Kulitnya sawo matang. Perawakannya juga begitu kental seperti orang Sunda kebanyakan. Tak ketinggalan, tutur katanya pun begitu lembut seturut masyarakat Pasundan.

Kembali bicara soal etnis Tionghoa, saya merasa begitu beryukur berada dalam lingkaran etnis ini. Bahkan nggak jarang (sekali lagi) saya merasa adalah bagian dari mereka, tanpa menanggalkan darah Batak saya. Itu sebabnya sampai detik ini, jika ada teman atau bahkan tenaga pendidik yang mencemooh etnis Chinese, saya tak akan segan untuk mengambil sikap keberatan di hadapan orang yang bersangkutan seketika itu juga.

Maaf, bahkan saya tidak pernah setuju terhadap sebutan orang-orang yang memanggil mereka dengan sebutan 'Cina'. Bagi saya ini rasisme. Bukan karena saya merasa sok kecinaan. Sama halnya ketika ada teman yang menyebut 'keling' pada suku Tamil, maka hal senada (keberatan) akan saya utarakan saat itu juga. Bukan dengan emosi memang. Saya hanya langsung mengingatkan si orang yang bersangkutan agar lain kali tidak memakai sebutan itu lagi, karena panggilan itu jelas-jelas merupakan tindakan rasisme.

Dan oh ya, saya sendiri termasuk orang yang suka dengan kultur bahasa. Jadi kalau suatu waktu saya tinggal di lingkungan orang Padang sekalipun, maka saya akan berusaha menguasai bahasa Padang itu.

Namun, biarpun saya hidup dan berada pada lingkungan suku Tionghoa, saya bangga sebagai orang Batak. Papa selalu mengajarkan kalau orang Batak itu memiliki karakter yang hampir mirip dengan orang Chinese. Yakni kerja kerasnya. Orang Batak juga sangat menjunjung adat istiadatnya. Dan saya (kembali) bangga akan warisan budaya yang satu ini. Sebab lewat warisan adat ini, saya belajar begitu banyak hal.

Kendati demikian, papa juga selalu mengajarkan untuk tetap belajar dari suku Tionghoa. Pelajari disiplin dan pola kerja keras mereka. Papa memang orang Batak. Tapi pemikirannya tidaklah seperti kebanyakan orang Batak. Namun bukan berarti ia orang yang tidak menjunjung adat Batak. Dia begitu keras menjunjung budaya nenek moyang tersebut.

Saya tahu waktu papa kecil pasti Ompung Manurung mendidik dia dengan (cukup atau mungkin lumayan) keras. Namun pola didikan itu tidak diteruskannya pada kami. Dia cukup demokrasi dalam setiap hal. Tapi juga selalu disiplin dan penuh konsekuen dalam segala hal pula. Ini yang saya sangat suka dari papa. Didikannya yang tegas dan tidak membuat kami anak-anaknya takut, melainkan begitu dekat dengannya.

Saya orang Batak, meskipun sehari-hari saya malah menggunakan bahasa suku Tionghoa. Namun saya tidak akan melupakan budaya nenek moyang saya. Kalau orang pikir saya malah menguasai bahasa etnis lain ketimbang bahasa Batak, dengan tegas saya katakan tidak. Saya bisa berbahasa Batak dengan fasih. Namun, karena dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan pertemanan saya didominasi suku Tionghoa, maka saya harus menghormati dan menghargai mereka dengan turut memakai bahasa mereka.

Sebab papa juga mengajarkan bahwa orang Batak adalah orang yang sangat menghargai lingkungannya. Jadi, dimana dia berpijak, selayaknya ke situ pulalah dia harus menyesuaikan diri. Papa juga mengajarkan, bahwa sebagai orang Batak jangan (lagi) menganggarkan kekuatan (sosok) sendiri seperti orang Batak (yang lain). Karena orang Batak itu juga punya kelemahan.

Selanjutnya, papa sering pula mengajarkan untuk menjadi orang Batak panutan. Artinya, ada beberapa hal yang khas dari etnis Batak yang tidak perlu diikuti. Seperti berbicara dengan suara keras-keras dan lantang. Bagaimanapun ciri ini sudah melekat sebagai atribut orang Batak. Untuk itu papa nggak pernah juga lupa untuk mengajarkan kami agar bertutur seperti orang Jawa atau Sunda yang terdengar begitu lembut di telinga.

Ya, seperti tulisan Marcell Siahaan di blognya, bahwa menjadi orang Batak bukan dengan harus menganggarkan (menunjukkan) kebatakannya. Saya pun setuju dengan Marcell (lagi), bahwa cukup dengan menunjukkan atitud yang berkenan, maka orang-orang juga akan menilai kamu sebagai orang Batak yang berkualitas. Senada seperti yang dilontarkan papa saya, bahwa dengan demikian maka kamu akan menjadi orang Batak panutan pula.

Horas...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun