Mohon tunggu...
Judika B.M.
Judika B.M. Mohon Tunggu... -

Pemilik nama Judika B.M. saat ini bekerja di media Aplaus the Lifestyle (www.aplausthelifestyle.com) sebagai jurnalis. Sering kali email, telepon, atau sms yang masuk, menyapa dengan sebutan 'mas, abang, pak'. \r\n\r\nI am a big fan of Maliq & D'Essentials. Saya itu orangnya nggak ribet. Suka bertemu dengan banyak orang. Punya banyak impian. Selalu punya topik obrolan kalau udah ketemu dengan orang. Bawaannya selalu ngoceh.\r\n\r\nSaya suka menghitung: hari, tanggal, juga uang! :D Memiliki ketergantungan terhadap: cokelat, susu, teh, kopi, jalan-jalan, kuliner, dan tentunya novel. \r\n\r\nFave quotes saat ini: \r\n- Every thing happen for a reason. \r\n- If we believe on something and just keep on trying, we will survive (Beautiful Life, Maliq & D’Essentials)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dulu, Sekarang dan Sampai Selamanya: Saya Tetap Batak

8 November 2011   02:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, sewaktu saya SD, semua teman saya tidak ada yang beretnis Tionghoa. Dan sempat pula saat itu saya merasa menyukai (alias cinta monyet) seorang teman yang berdarah Batak dan Sunda. Rumahnya sampai sekarang masih berada di dekat rumah saya. Anak itu manis. Kulitnya sawo matang. Perawakannya juga begitu kental seperti orang Sunda kebanyakan. Tak ketinggalan, tutur katanya pun begitu lembut seturut masyarakat Pasundan.

Kembali bicara soal etnis Tionghoa, saya merasa begitu beryukur berada dalam lingkaran etnis ini. Bahkan nggak jarang (sekali lagi) saya merasa adalah bagian dari mereka, tanpa menanggalkan darah Batak saya. Itu sebabnya sampai detik ini, jika ada teman atau bahkan tenaga pendidik yang mencemooh etnis Chinese, saya tak akan segan untuk mengambil sikap keberatan di hadapan orang yang bersangkutan seketika itu juga.

Maaf, bahkan saya tidak pernah setuju terhadap sebutan orang-orang yang memanggil mereka dengan sebutan 'Cina'. Bagi saya ini rasisme. Bukan karena saya merasa sok kecinaan. Sama halnya ketika ada teman yang menyebut 'keling' pada suku Tamil, maka hal senada (keberatan) akan saya utarakan saat itu juga. Bukan dengan emosi memang. Saya hanya langsung mengingatkan si orang yang bersangkutan agar lain kali tidak memakai sebutan itu lagi, karena panggilan itu jelas-jelas merupakan tindakan rasisme.

Dan oh ya, saya sendiri termasuk orang yang suka dengan kultur bahasa. Jadi kalau suatu waktu saya tinggal di lingkungan orang Padang sekalipun, maka saya akan berusaha menguasai bahasa Padang itu.

Namun, biarpun saya hidup dan berada pada lingkungan suku Tionghoa, saya bangga sebagai orang Batak. Papa selalu mengajarkan kalau orang Batak itu memiliki karakter yang hampir mirip dengan orang Chinese. Yakni kerja kerasnya. Orang Batak juga sangat menjunjung adat istiadatnya. Dan saya (kembali) bangga akan warisan budaya yang satu ini. Sebab lewat warisan adat ini, saya belajar begitu banyak hal.

Kendati demikian, papa juga selalu mengajarkan untuk tetap belajar dari suku Tionghoa. Pelajari disiplin dan pola kerja keras mereka. Papa memang orang Batak. Tapi pemikirannya tidaklah seperti kebanyakan orang Batak. Namun bukan berarti ia orang yang tidak menjunjung adat Batak. Dia begitu keras menjunjung budaya nenek moyang tersebut.

Saya tahu waktu papa kecil pasti Ompung Manurung mendidik dia dengan (cukup atau mungkin lumayan) keras. Namun pola didikan itu tidak diteruskannya pada kami. Dia cukup demokrasi dalam setiap hal. Tapi juga selalu disiplin dan penuh konsekuen dalam segala hal pula. Ini yang saya sangat suka dari papa. Didikannya yang tegas dan tidak membuat kami anak-anaknya takut, melainkan begitu dekat dengannya.

Saya orang Batak, meskipun sehari-hari saya malah menggunakan bahasa suku Tionghoa. Namun saya tidak akan melupakan budaya nenek moyang saya. Kalau orang pikir saya malah menguasai bahasa etnis lain ketimbang bahasa Batak, dengan tegas saya katakan tidak. Saya bisa berbahasa Batak dengan fasih. Namun, karena dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan pertemanan saya didominasi suku Tionghoa, maka saya harus menghormati dan menghargai mereka dengan turut memakai bahasa mereka.

Sebab papa juga mengajarkan bahwa orang Batak adalah orang yang sangat menghargai lingkungannya. Jadi, dimana dia berpijak, selayaknya ke situ pulalah dia harus menyesuaikan diri. Papa juga mengajarkan, bahwa sebagai orang Batak jangan (lagi) menganggarkan kekuatan (sosok) sendiri seperti orang Batak (yang lain). Karena orang Batak itu juga punya kelemahan.

Selanjutnya, papa sering pula mengajarkan untuk menjadi orang Batak panutan. Artinya, ada beberapa hal yang khas dari etnis Batak yang tidak perlu diikuti. Seperti berbicara dengan suara keras-keras dan lantang. Bagaimanapun ciri ini sudah melekat sebagai atribut orang Batak. Untuk itu papa nggak pernah juga lupa untuk mengajarkan kami agar bertutur seperti orang Jawa atau Sunda yang terdengar begitu lembut di telinga.

Ya, seperti tulisan Marcell Siahaan di blognya, bahwa menjadi orang Batak bukan dengan harus menganggarkan (menunjukkan) kebatakannya. Saya pun setuju dengan Marcell (lagi), bahwa cukup dengan menunjukkan atitud yang berkenan, maka orang-orang juga akan menilai kamu sebagai orang Batak yang berkualitas. Senada seperti yang dilontarkan papa saya, bahwa dengan demikian maka kamu akan menjadi orang Batak panutan pula.

Horas...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun