Saya tidak pernah merasa menyesal dilahirkan sebagai anak perempuan Batak. Kami menyebutnya sebagai boru Batak. Semasa sekolah, saya akui memang berada di lingkungan etnis Chinese. Mungkin ini pula yang membuat saya merasa satu dan merupakan bagian dari diri mereka (baca: sampai saat ini), tanpa melupakan identitas darah yang mengalir di dalam tubuh saya.
Papa jelas merupakan orang Batak. Karena kakek (ompung doli) dan nenek (ompung boru) saya jelas-jelas berdarah Batak. Tapi uniknya, begitu turun ke generasi saya dan para sepupu, nggak sedikit orang yang berpikir kalau saya dan para sepupu ini adalah keturunan campuran.
Entahlah. Mungkin karena pengaruh kulit putih kemerahan yang diturunkan oleh adik perempuan papa (kami menyebutnya namboru, namun lebih akrab dipanggil dengan sebutan bou) kepada sepupu-sepupu saya itu. Bahkan, anak laki-laki bou saya yang bungsu itu malahan begitu miripnya dengan orang Korea.
Pasalnya, pernah saat dia (masih berumur kurang dari 4 tahun) dibawa oleh mamanya berbelanja di pasar tradisional di Siantar (Pajak Horas), hampir semua orang yang mengenal bou saya itu bertanya apakah ayah dari sepupu saya itu orang Korea. Saya hampir terbahak-bahak waktu bou menceritakan ini. Karena memang suami dari bou saya ini (dipanggil dengan sebutan amangboru) sungguh-sungguh berwajah amuba alias asli muka Batak.
Sekarang dia sudah kelas 4 SD. Dari cerita bou, saya juga menegetahui kalau guru-gurunya pun sering bertanya pada sang ibu soal ayah si anak. Pertanyaan mereka semua seragam. "Blasteran ya bu?" Saya rasa, kalau mau dihitung, entah sudah berapa banyak orang yang menanyakan hal demikian terhadap bou saya ini selama bertahun-tahun, sejak si bungsu Jeremia itu lahir. Dan kalau dipikir-pikir, masuk akal memang pertanyaan mereka. Sebab mata sipit anak SD yang sudah memakai lensa ini tidak seperti etnis Chinese kebanyakan. Dia seperti anak-anak di Korea. Ahh, mungkin mereka kebanyakan melihat drama Korea, pikir saya.
Lain Jeremia, lain pula Jesaya dan adik-adiknya. Sepupu saya yang ini merupakan anak dari adik laki-laki papa saya (Uda) yang saat ini tinggal di Rantau Parapat. Memang, mata Uda saya itu cukup sipit. Bahkan dengan warna kulitnya yang kuning langsat, orang-orang mungkin juga akan percaya kalau dia mengaku sebagai etnis Chinese. Uniknya dia menikahi seorang wanita Batak yang bermata sipit namun berkulit sawo matang. Oh ya, bermata sipit yang saya maksud bukan sekedar mata sipit biasa. Namun lebih mengarah pada sipit mata etnis Tionghoa. Jadi nggak heran kalau putra putri mereka sulit dipercayai sebagai anak-anak Batak. Hanya si bungsu mereka yang tidak seperti orang Chinese. Mungkin menurun dari garis keturunan ompung boru dari pihak ibunya, si bungsu Frederick ini lebih pas dikatakan sebagai anak Sunda. Saya sendiri bingung dari segi mana Frederick dikatakan mirip Sunda, tapi begitulah testimonial orang-orang.
Nggak jauh pula bedanya dengan seorang sepupu saya lagi yang tinggal di Tangerang sana. Kulit putih kenyal dan mata sipitnya itu seolah-olah mencerminkan garis keturunan Tionghoa dalam dirinya. Setali tiga uang, nama yang diberikan padanya sekilas terdengar seperti nama orang Jepang pula. Hotasi, begitu kami memanggilnya. Padahal nama Hotasi ini sebenarnya merupakan penggabungan dua kata dalam bahasa Batak. Yakni hot dan asi yang berarti penuh cinta kasih.
Oh ya, mungkin karena papa dari awal sudah bekerja di lingkungan Chinese, maka kami anak-anaknya pun lebih punya banyak teman bersukukan Tionghoa ketimbang suku lainnya. Dan berhubung saya sudah lama berada dalam lingkungan etnis Tionghoa, secara perlahan seolah-olah identitas saya pun sama dengan mereka. Kebetulan bahasa yang saya pergunakan sehari-hari dengan mereka juga bahasa Tionghoa. Jadi, saya juga nggak akan tersinggung kalau ada yang mempertanyakan kesukuan saya.
Ini wajar. Lingkungan pendidikan saya semuanya etnis Chinese. Bahkan saya berkomunikasi pun menggunakan bahasa mereka. Maka tak jarang, secara tak disengaja intonasi bahasa Indonesia saya pun kadang-kadang bernadakan bahasa Hokien. Oh la la!
Jujur, sampai saat ini, teman saya kebanyakan pun adalah etnis Tionghoa. Hanya setelah duduk di kursi perkuliahan, maka saya pun mulai berbaur di suku-suku lain selain Chinese. Saya juga merasa bersyukur saat papa tidak mengharuskan saya untuk mencari pria berdarah Batak sebagai pacar. Karena dia tahu kalau pergaulan saya berada dalam lingkaran etnis Tionghoa. Pun dia sendiri berada dalam lingkaran yang sama seperti saya.
Namun pernah sekali tanpa sengaja saya mendengar obrolannya dengan mama, bahwa dari lubuk hatinya, ia juga berharap kalau pacar saya adalah orang Batak. Ya ya ya. Namanya juga orang tua. Tapi kemudian saya lega mendengar kalimat berikutnya yang dia ucapkan. Katanya, nggak harus orang Batak, asal pacarnya seiman dan bertanggung jawab, itu yang terpenting. Senyum simpul pun terulas di bibir saya saat itu. Karena bagaimana mungkin saya bisa berkenalan dan menjalin pertemanan dengan baik dengan pria berdarah Batak, sementara saya berada di lingkungan etnis Chinese.