Di keremangan, kami perlahan melangkah. Ia berjalan tepat disampingku. Ingin rasanya tangan ini menggandengnya. Memilihkan jalan, di bagian mana tidak ada batu, yang bisa saja membuat kakinya terluka. Tetapi, aku bukan pria kurang ajar, yang belum apa-apa sudah berprilaku berlebihan. Padahal, ini bukan bukan hasil pikiran macam-macam. Murni perhatian. Tetapi aku yakin Alina tidak dapat membaca pikiranku. Atau seandainya dia bisa, justru sudah melangkah menjauhi aku terlebih dahulu. Maka jalan moderat aku ambil, tetap tenang dan menikmati laju langkah kaki disampingnya. Hanya sebatas itu.
"Nanti kita makan di kosan aja. Tidak jauh kok."
"Mbok Galak ya?"
"Hafal tempat makan sini ya?"
"Dulu aku pernah ngekos  di gang rambutan, depan situ."
Semuanya melebur begitu saja. Alamiah. Ketegangan, kekuatiran, kegelisahan, perlahan menghilang. Kini, aku hanya menikmati senyuman. Tawa. Canda. Kuakui, Alina luwes dalam bergaul. Ia mampu menenggelamkan aku dalam suasana yang menyenangkan. Kosannya warung makan Mbok Galak, dan sebaliknya, terasa begitu sangat menyenangkan. Pembuka yang manis. Meski aku tahu harus berjuang untuk menjadi akhir yang membahagiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H