Sepertinya berat, aku mulai membangun prasangka.
Tetapi beratnya tidak seberapa dibanding berusaha cuek membiarkan dua orang mengantri di belakangku. Padahal recehanku cukup untuk berlama-lama. Tadi sengaja kutukarkan pada kenek angkot yang kutumpangi sepulang dari kampus. Tetapi tatapan para pengantri telpon umum ini sudah mulai tidak bersahabat. Apalagi melihat setiap kali aku tertawa. Mereka menyeringai.
Kusudahi, meski aku ingin lebih lama. Tetapi mungkin ini yang diharapkan Alina. Aku belum memulai, tetapi kegundahan sudah buru-buru membuncah. Mang Sat, dalam banyak teori psikologinya benar. Karena memang dia mendalami itu. Calon guru BP.
Berkali-kali dia mengingatkanku, kamu itu jangan berlagak tahu segalanya. Itu yang membuat kamu seringkali berhenti, padahal belum memulai. Pemimpi ! Meski bujang lapuk, teori-teori cintanya seabrek. Tetapi lumayan juga, Mang Sat selalu bisa menjadi sahabat dikala aku merasa sepi. Seandainya dia punya pacar, pasti sibuk dengan gebetan-nya.
Berkali kali aku mengusap mataku. Kantuk tidak juga menyerang. Malam ini, aku sengaja mengambil waktu untuk tidak ikut diskusi teman-teman di markas. Tempat kami biasa kumpul selain kantor senat. Bergabung dengan lebih banyak aktifis pro demokrasi yang bergerak di luar organisasi resmi kampus. Teman-teman yang ogah dengan keribetan birokrasi, termasuk birokrasi kampus.
Malam ini, aku ingin mengurusi hati. Memberinya gizi. Tetapi aku tidak menyangka, dampaknya rumit. Meski hanya mendengar suaranya, ternyata mengganggu fungsi hormon melatonin dalam tubuhku. Mungkin gejalanya mirip dengan meminum secangkir kopi pahit. Â Apa jadinya, jika aku ada di hadapannya. Melihat senyumnya. Bisa kejang.
-----
Sosok yang semalaman mengganggu tidur itu, kini ada dihadapanku. Mengenakan baju tidur orange, bando hitam polkadot di kepalanya. Tanpa riasan, Alina begitu alami.
"Mas, sekalian kita cari makan yuk."
Tidak ada kata, selain mengangguk.
Seperti janjiku. Sepulang kuliah, aku ke kosannya. Aku tidak mau kebahagianku diselingi oleh ancaman sesama pengguna telpon umum koin di kompleks kos ku. Kuberanikan diri, mengabaikan prasangka yang membuat aku mengakhiri segalanya sebelum memulai. Entah kenapa, kali ini, Alina membuatku lebih memilki keberanian ketimbang gadis-gadis sebelumnya. Yang hanya membuat aku berhenti di batas suka, tidak berani melangkah. Mang Sat benar, ia memiliki pesona.