Krecek, bleg. Â Koin seratus perak gambar wayang jatuhnya mantap. Diantara koin-koin lainnya, tidak menggerincing ringan dan kembali ke pemiliknya. Artinya, tombol-tombol ini sudah bisa berfungsi, menuju ke nomer yang akan segera membuat hatiku berbunga.
"Alina...! Telpon !" terdengar di seberang sana suara kencang memanggil.
"Hi..., belum tidur ?" sapaan standar cenderung basi. Tapi tidak ada kata-kata lain yang lebih mengesankan ketimbang perhatian basa basi ini.
Tidak ada jawaban.
Oh, ternyata mungkin aku ke-pede-an jika gagang telpon sudah ada di ditelinganya. Padahal bisa saja itu masih ada tangannya, atau belum dia ambil, atau jangan-jangan bukan Alina yang memegangnya. Teman kos, ibu kos, atau siapa saja. Lantas Cuma mau kasih jawaban, "Alina tidak ada."
"Hi, siapa ya?"
Akhirnya, suara itu. Ada jawaban juga dari seberang sana. Di sela suara motor yang baru saja lewat tepat di sampingku.
"Jojo."
"Hi, mas. Tumben?"
"Pengin ngobrol aja, boleh?"
"Boleh," suaranya melambat.
Sepertinya berat, aku mulai membangun prasangka.
Tetapi beratnya tidak seberapa dibanding berusaha cuek membiarkan dua orang mengantri di belakangku. Padahal recehanku cukup untuk berlama-lama. Tadi sengaja kutukarkan pada kenek angkot yang kutumpangi sepulang dari kampus. Tetapi tatapan para pengantri telpon umum ini sudah mulai tidak bersahabat. Apalagi melihat setiap kali aku tertawa. Mereka menyeringai.
Kusudahi, meski aku ingin lebih lama. Tetapi mungkin ini yang diharapkan Alina. Aku belum memulai, tetapi kegundahan sudah buru-buru membuncah. Mang Sat, dalam banyak teori psikologinya benar. Karena memang dia mendalami itu. Calon guru BP.
Berkali-kali dia mengingatkanku, kamu itu jangan berlagak tahu segalanya. Itu yang membuat kamu seringkali berhenti, padahal belum memulai. Pemimpi ! Meski bujang lapuk, teori-teori cintanya seabrek. Tetapi lumayan juga, Mang Sat selalu bisa menjadi sahabat dikala aku merasa sepi. Seandainya dia punya pacar, pasti sibuk dengan gebetan-nya.
Berkali kali aku mengusap mataku. Kantuk tidak juga menyerang. Malam ini, aku sengaja mengambil waktu untuk tidak ikut diskusi teman-teman di markas. Tempat kami biasa kumpul selain kantor senat. Bergabung dengan lebih banyak aktifis pro demokrasi yang bergerak di luar organisasi resmi kampus. Teman-teman yang ogah dengan keribetan birokrasi, termasuk birokrasi kampus.
Malam ini, aku ingin mengurusi hati. Memberinya gizi. Tetapi aku tidak menyangka, dampaknya rumit. Meski hanya mendengar suaranya, ternyata mengganggu fungsi hormon melatonin dalam tubuhku. Mungkin gejalanya mirip dengan meminum secangkir kopi pahit. Â Apa jadinya, jika aku ada di hadapannya. Melihat senyumnya. Bisa kejang.
-----
Sosok yang semalaman mengganggu tidur itu, kini ada dihadapanku. Mengenakan baju tidur orange, bando hitam polkadot di kepalanya. Tanpa riasan, Alina begitu alami.
"Mas, sekalian kita cari makan yuk."
Tidak ada kata, selain mengangguk.
Seperti janjiku. Sepulang kuliah, aku ke kosannya. Aku tidak mau kebahagianku diselingi oleh ancaman sesama pengguna telpon umum koin di kompleks kos ku. Kuberanikan diri, mengabaikan prasangka yang membuat aku mengakhiri segalanya sebelum memulai. Entah kenapa, kali ini, Alina membuatku lebih memilki keberanian ketimbang gadis-gadis sebelumnya. Yang hanya membuat aku berhenti di batas suka, tidak berani melangkah. Mang Sat benar, ia memiliki pesona.
Di keremangan, kami perlahan melangkah. Ia berjalan tepat disampingku. Ingin rasanya tangan ini menggandengnya. Memilihkan jalan, di bagian mana tidak ada batu, yang bisa saja membuat kakinya terluka. Tetapi, aku bukan pria kurang ajar, yang belum apa-apa sudah berprilaku berlebihan. Padahal, ini bukan bukan hasil pikiran macam-macam. Murni perhatian. Tetapi aku yakin Alina tidak dapat membaca pikiranku. Atau seandainya dia bisa, justru sudah melangkah menjauhi aku terlebih dahulu. Maka jalan moderat aku ambil, tetap tenang dan menikmati laju langkah kaki disampingnya. Hanya sebatas itu.
"Nanti kita makan di kosan aja. Tidak jauh kok."
"Mbok Galak ya?"
"Hafal tempat makan sini ya?"
"Dulu aku pernah ngekos  di gang rambutan, depan situ."
Semuanya melebur begitu saja. Alamiah. Ketegangan, kekuatiran, kegelisahan, perlahan menghilang. Kini, aku hanya menikmati senyuman. Tawa. Canda. Kuakui, Alina luwes dalam bergaul. Ia mampu menenggelamkan aku dalam suasana yang menyenangkan. Kosannya warung makan Mbok Galak, dan sebaliknya, terasa begitu sangat menyenangkan. Pembuka yang manis. Meski aku tahu harus berjuang untuk menjadi akhir yang membahagiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H