Kemarahan pada Suharto, menjelma menjadi kebencian pada etnis Tionghoa. Benar masih sulit aku pahami. Demonstrasi mahasiswa ramai dibahas ada yang menunggangi. Aku demonstran, tetapi aku mencintai gadis Tionghoa bernama Alina. Aku hanya berteriak untuk membuat rezim Suharto berhenti sampai di sini. Tetapi tidak untuk menyakiti sesama anak kandung negeri ini. Suasananya benar-benar rumit.
“Terus kita mau ngapain lagi sekarang?”
Kulihat Chris, orator andalanku, masih berdiri di pintu kantor senat. Letih. Marah. Sepertinya menjadi satu bagian yang kini ada di wajahnya. Ia kecewa.
“Mulai hari ini. Kita tidak akan turun ke jalan. Terlalu berbahaya. Mudah dimanfaatkan bagi yang akan membakar kota.”
“Aku setuju, nanti aku konsolidasikan dengan teman-teman.” Chris menimpali penegasan dan sikapku.
“Sudah saatnya kita focus urus teman-teman yang ketakutan. Kita ungsikan saja mereka ke kampus.” Yani, teman karibku, mahasiswa Tionghoa yang selalu berteriak lantang turunkan Suharto saat demonstrasi memberi usulan.
Aku setuju. Banyak diantara teman-teman mahasiswa yang tidak berani pulang ke kosnya. Mereka takut kerusuhan juga melanda kota ini. Apalagi sebagian dari mereka berasal dari kota-kota yang kini sedang membara. Hari ini aku berhenti meneriaki rezim korup ini, entah besok, entah nanti.
….
Catatan dan ingatan kelam, 12 – 13 Mei 1998.
Kisah kedua, dari kisah sebelumnya Sang Penindas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H