Miranti membalas senyum itu. Entahlah, tapi dia begitu yakin, lelaki inilah yang telah menolongnya. “Gak apa-apa, justru saya yang terima kasih, karena akhirnya bisa naik bis ini.”
“Tadi kita sama-sama menunggu di halteu, dan beberapa kali tidak terangkut, jadi di bis terakhir saya berusaha agar bisa masuk. Tapi saya lihat Mbak seperti bingung, dan tanpa pikir panjang, saya langsung tarik tangan Mbak. Sekali lagi maaf, mungkin terasa sakit.” Lelaki itu menjelaskan detil kejadiannya, masih dengan senyumnya yang ramah.
Miranti mengangguk dan kembali membalas senyum itu, “Gak apa-apa, sekali lagi, saya yang terima kasih.”
Sejak itulah, Miranti tahu bahwa lelaki itu bernama Han, tinggal di bilangan Ahmad Yani dan sudah menjadi karyawan tetap di Birha Corp. Sebuah perusahaan manufaktur yang sedang berkembang, yang lokasinya di dekat Murni Anggajaya, tempatnya bekerja.
“Kita sering satu bis lho, kalau berangkat atau pulang, saya sering liat Mbak di bis ini,” kata Han, setelah mereka mendapatkan kursi kosong untuk duduk. Nada bicaranya sudah sedikit mencair.
“Oh, ya?” Miranti terlihat kaget, lalu berusaha mengingat-ingat, pernahkah melihat Han sebelumnya? Tapi ingatan yang dicarinya tidak pernah muncul.
Han mengangguk, “Iya.”
“Kok naik bis, Mas? Memangnya tidak ada angkutan karyawan?” tanya Miranti setelah memutuskan berhenti mengingat-ingat. Dia sadar, kalau selama ini tidak pernah memedulikan penumpang lain. Jadi, bayangan tentang Han tak akan bisa ditemukannya.
“Belum. Makanya setia sama bis ini juga, lumayan bisa tiduran, hehe. Untuk biaya transport sih diganti sama perusahaan.”
“Ooh...” Miranti manggut-manggut.
“Eh, sorry ya, saya duluan, sudah hampir sampai,” Han pamit, lalu mendekati pintu belakang untuk memudahkan turun dari bis.