Dengan wajah berseri, Miranti menatap bayangan dirinya di cermin, sambil sesekali menambahkan bedak di bagian wajah yang dirasa kurang, atau memoleskan lipstik di bibir yang sudah tampak merona. Hatinya berbunga-bunga. Betapa tidak? Karena hari ini adalah hari Jum’at, dan itu berarti, hari ini adalah jadwal Mas Han untuk mengunjunginya. Mudah-mudahan Mas Han benar-benar datang menemuiku, dia berharap. Meski jauh di lubuk hatinya terbersit rasa khawatir, kalau-kalau Mas Han akan meninggalkannya, mengingat sudah lebih dari satu bulan ini, Mas Han tidak lagi menepati jadwal kencan yang sudah disepakati, dengan alasan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan.
Mungkin Miranti percaya, tapi mungkin juga tidak, karena belum melihat sendiri kenyataannya. Bisa saja Mas Han hanya berbohong untuk menghindar, atau bisa juga dia memang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Dua-duanya masih belum pasti, dan tentu saja Miranti hanya bisa menduga-duga dengan perasaan tak menentu. Bagaimana jika Mas Han benar-benar meninggalkanku? Sanggupkah aku menerima?Ah! Tapi, Miranti selalu menunggu Mas Han dengan setia, dan mempersiapkan semuanya --termasuk penampilan-- agar terlihat istimewa di depan Mas Han. Karena bagi Miranti, Mas Han adalah sosok yang sangat istimewa.
Dalam seminggu, Miranti hanya memiliki kesempatan dua kali bertemu dengan Mas Han, yaitu Senin dan Jumat. Karena setiap hari tersebut, Mas Han akan memiliki alasan yang tepat kalau harus terlambat pulang ke rumah. Ya, meeting. Kantornya selalu mengadakan pembahasan atau evaluasi terhadap program yang akan, sedang atau telah dilaksanakan. Namun, itu pun jika kondisinya memungkinkan, jika tidak, Miranti harus merelakan jadwal kencannya berlalu begitu saja.
Bagi Miranti, sebagai seorang ... hm, apa ya? Istri? Bukan, kekasih pun bukan, karena sampai saat ini Mas Han belum pernah menyatakan cintanya dengan tegas. Mungkin hanya sebatas teman, tapi mesra. Miranti tahu betul kalau dia tidak bisa memiliki Mas Han seutuhnya. Ini adalah resiko yang harus dihadapi. Walau kadang merasa kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memendamnya dalam hati, karena mau tidak mau harus memahami bahwa semua itu dilakukan Mas Han untuk menjaga kelangsungan hubungan mereka, agar tidak tercium oleh Mbak Wida, istrinya yang sah. Miranti pun harus menyadari, bahwa ini adalah bagian dari jalan hidup yang telah dipilihnya.
Sebenarnya dia tak pernah berpikir sedikitpun untuk menjadi TTM atau apalah, dan menjalani kehidupan seperti sekarang ini; berhubungan dengan lelaki yang sudah beristri. Ketika masih remaja dulu, pikirannya tidak jauh beda dengan teman-temannya, ingin menjalani hidup dengan normal, menikah dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya sepenuh hati, tanpa harus berbagi dengan siapapun, apalagi dengan sembunyi-sembunyi seperti ini.
Tapi semua angan-angannya hilang ditelan kebohongan dan kekecewaan yang dia dapatkan dari semua laki-laki yang pernah menjalin hubungan dengannya. Mas Doni, Bang Zul, Kak Setya, semuanya tidak dapat dipercaya. Janji yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kenyataan, hingga Miranti harus merasakan berkali-kali terhempas dalam jurang kepahitan yang dalam.
Dan, Mas Hanlah yang telah berhasil menariknya kembali ke permukaan. Senyumnya yang ramah, mampu menenangkan hatinya yang gundah. Belaiannya yang lembut mampu menyeka air matanya yang basah. Dan sedikit perhatiannya mampu membuat bibir tipisnya kembali tersenyum.
Miranti pun teringat ketika pertama kali bertemu dengan Mas Han. Waktu itu, dia sedang menunggu bis di sebuah halteu. Dia baru pulang kerja dan sepertinya Mas Han pun begitu. Tapi, hujan yang turun deras, bis yang datang terlambat, penumpang yang berjubel dan saling berebut, membuat Miranti berkali-kali tidak dapat terangkut. Kesal. Sementara hari kian beranjak sore, yang tentunya sebentar lagi malam akan menjelang.
Di saat itulah, ketika Miranti hampir saja menyerah, dan sudah memutuskan untuk ganti angkutan, memilih untuk naik angkot atau taksi, tiba-tiba tangannya ada yang menarik dengan keras, hingga dia bisa masuk ke dalam bis terakhir. Huuh...! Sakit sih, tapi dia bersyukur, bisa bebas dari tiga kali ganti angkot --karena tidak ada trayek yang langsung menuju ke rumahnya-- dan juga dari ongkos taksi yang mahal, bisa untuk lima hari naik bis.
Huh! Miranti membuang nafas sekali lagi, sambil terus memegangi tangannya yang masih terasa sakit. Sementara matanya dibiarkan berkeliling, mencari jawaban atas pertanyaan yang bergelayut di hatinya, siapakah gerangan yang sudah menarik tangannya tadi? Sayang, kejadian yang begitu cepat, dan juga banyaknya penumpang yang berdiri di pintu, membuatnya tak begitu jelas melihat orang itu.
“Maaf ya, sudah lancang narik tangan Mbak tadi,” kata seseorang yang berdiri di belakangnya. Miranti menoleh, dan terlihat seraut wajah simpatik dihiasi senyum ramah terkembang.
Miranti membalas senyum itu. Entahlah, tapi dia begitu yakin, lelaki inilah yang telah menolongnya. “Gak apa-apa, justru saya yang terima kasih, karena akhirnya bisa naik bis ini.”
“Tadi kita sama-sama menunggu di halteu, dan beberapa kali tidak terangkut, jadi di bis terakhir saya berusaha agar bisa masuk. Tapi saya lihat Mbak seperti bingung, dan tanpa pikir panjang, saya langsung tarik tangan Mbak. Sekali lagi maaf, mungkin terasa sakit.” Lelaki itu menjelaskan detil kejadiannya, masih dengan senyumnya yang ramah.
Miranti mengangguk dan kembali membalas senyum itu, “Gak apa-apa, sekali lagi, saya yang terima kasih.”
Sejak itulah, Miranti tahu bahwa lelaki itu bernama Han, tinggal di bilangan Ahmad Yani dan sudah menjadi karyawan tetap di Birha Corp. Sebuah perusahaan manufaktur yang sedang berkembang, yang lokasinya di dekat Murni Anggajaya, tempatnya bekerja.
“Kita sering satu bis lho, kalau berangkat atau pulang, saya sering liat Mbak di bis ini,” kata Han, setelah mereka mendapatkan kursi kosong untuk duduk. Nada bicaranya sudah sedikit mencair.
“Oh, ya?” Miranti terlihat kaget, lalu berusaha mengingat-ingat, pernahkah melihat Han sebelumnya? Tapi ingatan yang dicarinya tidak pernah muncul.
Han mengangguk, “Iya.”
“Kok naik bis, Mas? Memangnya tidak ada angkutan karyawan?” tanya Miranti setelah memutuskan berhenti mengingat-ingat. Dia sadar, kalau selama ini tidak pernah memedulikan penumpang lain. Jadi, bayangan tentang Han tak akan bisa ditemukannya.
“Belum. Makanya setia sama bis ini juga, lumayan bisa tiduran, hehe. Untuk biaya transport sih diganti sama perusahaan.”
“Ooh...” Miranti manggut-manggut.
“Eh, sorry ya, saya duluan, sudah hampir sampai,” Han pamit, lalu mendekati pintu belakang untuk memudahkan turun dari bis.
“Iya, iya, sekali lagi makasih ya, Mas,” jawab Miranti.
***
Hari berikutnya mereka bertemu lagi, kadang saat berangkat atau saat pulang kerja. Tentu mereka jadi sering saling menyapa, bercerita, bercanda atau tertawa. Mereka pun menjadi semakin akrab. Dan, Miranti memanggil Han dengan panggilan Mas, karena usianya lebih tua.
“Ran, kalau gak salah, dulu Kamu sering diantar jemput sama lelaki yang tinggi-tinggi itu, agak item, rambutnya sedikit gondrong, sekarang kemana dia? Kok jarang keliatan bareng lagi?” tanya Mas Han suatu waktu saat mereka sedang menunggu bis.
Miranti terdiam sejenak, “Ohh itu, gak tahu, dicaplok buaya kali, Mas!” Miranti menjawab ketus, dia sudah cuek berbicara di depan Mas Han.
“Kok gitu sih, Ran?”
“Lha wong dianya juga buaya, pantes banget kalau akhirnya dia sendiri yang dicaplok buaya!” ketus Miranti lagi, jelas sekali ada rasa kesal di sana, mungkin kesal pada lelaki buaya yang tengah dibicarakan. “Lho, kok Mas bisa tahu sih? Jangan-jangan Mas udah mata-matain aku dari dulu? Atau jangan-jangan, Mas naksir aku, ya?” tuding Miranti bercanda, tapi Mas Han terlihat sedikit salah tingkah.
“Idiihh! Siapa yang naksir, enak aza!” sewot Mas Han. Miranti hanya tersenyum, puas.
“Eh, tuh bis nya udah dateng, yuk siap-siap, kayanya kosong,” tunjuk Mas Han, sambil beranjak ke tepi halteu, menunggu bis yang sebentar lagi akan berhenti. Miranti mengikuti. Masih ada senyum tersisa di bibir mereka.
***
“Mas, besok ada waktu gak? Aku mau pindahan, aku mau ngontrak rumah aza, bantuin ya?” pinta Miranti suatu waktu, saat mereka kembali sama-sama menunggu bis, sepulang kerja.
“Pindahan? Kemana? Kenapa? Udah dapet rumahnya?” Mas Han memberondong dengan berbagai pertanyaan.
“Satu-satu dong nanyanya, jangan rombongan gitu!” protes Miranti, mungkin merasa diinterogasi. Mas Han tersenyum.
“Iya, aku mau pindahan, Mas. Pengennya sih ke daerah atas, Sarijadi atau Gegerkalong gitu, ya biar deket aza ke tempat kerja, terus juga biar belajar mandiri. Selama ini aku kan numpang di rumah sodara, lama-lama gak enak juga. Tapi, rumahnya belum dapet, makanya besok mau nyari dulu, Mas bisa nemenin, kan?” jelas Miranti. Dia memang bukan asli Bandung, tapi pendatang dari Purworejo, Jawa Tengah.
“Besok ya?” tanya Mas Han lirih sambil garuk-garuk kepala. Terlihat ada kerutan di keningnya.
“Iya, besok libur, kan?” Miranti menegaskan. “Atau, Mas sudah ada acara sama Istri Mas?” Miranti menyelidik, “Kalau gak bisa juga gak apa-apa kok. Mungkin aku sendiri aza,” Miranti memutuskan. Namun raut kecewa tergambar jelas di wajahnya.
“Oh, enggak, enggak, Mas bisa kok!” Mas Han menyatakan kesiapannya. Seulas senyum terpampang di bibirnya. Meski tampak kaku.
“Yang bener, Mas?” Miranti berseru riang.
“Iya, Mas bisa kok.” Mas Han memastikan.
“Yeah, makasih ya, Mas!”
Dan, seperti yang sudah direncanakan, besoknya mereka menyusuri jalan-jalan dan gang-gang untuk mencari rumah kontrakan buat Miranti. Ternyata mencari rumah kontrakan itu gampang-gampang susah, ada yang cocok tapi sudah diisi orang lain, ada yang kosong tapi tempatnya kurang suka. Mungkin hampir mirip dengan mencari jodoh, ditunggu tidak datang-datang, dikejar dia lari. Ada yang kosong, tapi kurang srek, ada yang srek, tapi sudah ada yang punya. Huh!
“Jadi mau yang mana, Ran? Udah nentuin pilihan?” tanya Mas Han, saat mereka berhenti di warung nasi, sambil rehat.
Miranti tampak berpikir, mungkin sedang membanding-bandingkan, namun akhirnya menggeleng, “Terserah Mas aza, deh.”
“Lho kok Mas, sih? Yang mau nempatin kan, Kamu,” kelit Mas Han.
“Aku terserah Mas deh, aku males mikir, Mas,” tukas Miranti pasrah.
“Kamu ini, gimana sih? Ya wes, kalau yang deket warnet itu, yang masuk ke dalem dikit, yang catnya warna biru muda, Kamu suka gak? Kayanya yang itu enak, gak terlalu besar, ada dapur dan kamar mandi di dalem, trus kelihatannya bersih, dan suasananya juga tenang,” tawar Mas Han.
“Mmm, iya Mas, aku juga suka yang itu,” jawab Miranti setuju.
“Kalau gitu, sekarang kita balik lagi ke situ, bilang sama yang punya, kita jadi ambil rumahnya, takut keburu disamber orang, mumpung masih siang juga,” ajak Mas Han. “Kamu mau langsung pindahan sekarang, kan? Biar nanti mas hubungi temen mas yang punya mobil, untuk angkut barang-barang Kamu,” tegasnya mengatur rencana. Miranti mengangguk.
Hari itu juga, dengan dibantu Mas Han dan temannya, Ahmad, Miranti pindah rumah.
“Makasih banyak ya Mas, kalau gak ada Mas, mungkin aku belum bisa pindahan sekarang.”
“Nyantei aza, Ran. Hehe. Kamu berani kan tidur sendiri di sini? Nanti ada yang nyolek, lho...” goda Mas Han.
“Ah, Mas, jangan gitu ah!” Miranti ketakutan. Mas Han tertawa, puas.
“Ya udah, Mas pulang dulu ya, sudah malam. Kamu hati-hati,” pamit Mas Han.
“Iya Mas, Mas juga hati-hati ya, sekali lagi, makasih,” jawab Miranti. Mas Han mengangguk, lalu beranjak meninggalkan Miranti sendirian di rumah kontrakannya. Miranti menatap kepergian Mas Han sampai tidak terlihat lagi.
Di atas sana, bintang-bintang bersinar terang, menepis gelap dengan cahayanya yang ceria. Ah, Mas Han, engkaulah bintang itu, bintang yang selalu bersinar terang, menyinari hatiku, bisik Miranti lirih, lalu tersenyum riang, sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
***
“Mas,” sambut Miranti begitu membuka pintu rumahnya. Ternyata Mas Han yang mengetuk pintu, orang yang sudah ditunggu sedari tadi.
“Kamu kenapa? Sakit apa?” Mas Han bertanya sambil megang kening Miranti. Dia terlihat sangat khawatir. Tadi Mas Han mendapat pesan singkat dari Miranti, yang mengabarkan kalau hari ini tidak masuk kerja, karena sakit.
“Aku demam Mas, mungkin masuk angin, kemarin keujanan, nih suaraku juga bindeng, tenggorokanku sakit.” Miranti menjelaskan keadaan dirinya. “Masuk yu,” ajaknya kemudian, suranya terdengar berbeda.
“Udah makan? Nih, mas bawain sate Padang kesukaanmu, makan ya,” kata Mas Han setelah duduk di kursi tamu.
Miranti mengangguk, lalu membuka bungkusan dari Mas Han, “Makannya bareng ya, Mas?” pintanya. Kini Mas Han yang mengangguk, lalu menyantap hidangan itu bersama.
“Mas, kita kan udah gak searah pulangnya, jadi jarang satu bis lagi, Mas harus sering datang kesini ya, nengokin aku.” Miranti merajuk, disela-sela makannya.
“Mas usahain ya, mudah-mudahan ada waktu.”
“Ah, Mas, pokonya harus bisa, ya!” tukas Miranti dengan memaksa.
Mas Han akhirnya mengangguk. Miranti pun tersenyum, ada bahagia bersemayam di hatinya. Mas, kau begitu baik dan perhatian, aku ingin melabuhkan cintaku padamu. Mungkinkah?
“Ayo makan lagi, jangan ngelamun aza,” sentak Mas Han, Miranti terhenyak, sejenak dipandanginya Mas Han dengan lekat. Mas, mungkinkah hari-hari indah ini akan selalu jadi milikku?
Ya, Miranti mulai merasakan kembali kebahagiaan yang selama ini sudah pergi jauh dari hidupnya. Dia mulai merasakan lagi gairah dalam menjalani hari-harinya. Semua disadari karena perkenalannya dengan Mas Han. Mas Han yang pengertian, Mas Han yang perhatian, Mas Han yang sabar, Mas Han yang ngemong, Mas Han yang ceria dan penuh canda, Mas Han yang selalu tersenyum ramah, Mas Han yang selalu hangat dan bersahabat.
Miranti pun mulai merasakan hatinya kembali terbuka, untuk membangun istana cintanya yang sudah porak-poranda, menghias kembali singgasana cintanya yang telah hancur berkeping-keping, dan mempersiapkan kembali mahkota cintanya yang akan dipersembahkan bagi calon penghuni kerajaan hatinya. Siapa lagi kalau bukan Mas Han. Miranti pun mulai berani lagi berharap, bahwa hidupnya akan bahagia. Dia mulai berani lagi berkhayal, bahwa benih-benih cintanya akan bersemi kembali, dan tumbuh dengan subur, hingga berbunga indah dan berbuah manis.
“Mas, pintu rumah ini selalu terbuka untuk Mas. Mas bisa datang ke sini kapan saja.”
Mas Han tidak segera menjawab, dia hanya memandang Miranti dengan tatapan nanar. Entah apa yang ada dipikirannya. “Kalau lihat jadwal sih, mungkin Mas bisa mampir ke sini setiap Senin sore atau Jumat sore, bagaimanapun, Mas sudah punya tanggung jawab yang lain.”
“Gak apa-apa Mas, aku ngerti kok, aku juga gak mau mengganggu keluarga Mas, aku hanya minta disisa-sisa waktu Mas, jangan tinggalin aku ya?”
Mas Han mengangguk, dan itu cukup melegakan. Miranti menyambut dengan senyuman.
“Ayo, dihabiskan makannya. Mas mau balik ke kantor.” Mas Han pamit, “Kamu cepet sembuh ya...”
Seketika Miranti merasa sudah sembuh. Kedatangan Mas Han dan perhatiannya cukup menjadi obat yang mujarab bagi sakitnya.
Sejak itulah, setiap Senin dan Jumat sore, Miranti selalu menunggu Mas Han yang tidak pernah absen mengunjunginya. Terkadang mereka bisa janjian di luar, atau jalan-jalan kemana saja mereka mau, layaknya dua sejoli yang sedang kasmaran.
Namun, sejak sebulan yang lalu, Mas Han tidak pernah lagi datang mengunjunginya. Hanya sms saja yang mengabarkan kalau dia sedang sibuk di kantor, karena sekarang Mas Han dipercaya memegang jabatan baru sebagai kepala bagian produksi. Tentu saja tanggung jawabnya semakin bertambah, dia dituntut untuk bisa mengerjakan seluruh rangkaian produksi dengan baik. Dan jelas, berdampak pada pengaturan waktunya yang menjadi tidak stabil. Termasuk jadwal ketemunya dengan Miranti.
Sejujurnya Miranti merasa senang dengan keberhasilan Mas Han, karena secara tidak langsung, dirinya ikut mensupport agar Mas Han bersedia menerima promosi jabatan itu. Namun, jika dampaknya menjadi seperti ini, Miranti tidak merasa senang sepenuhnya. Ada satu sisi dalam hatinya yang merasa haknya telah dirampas.
Dan, hari ini adalah Jumat sore, seharusnya Mas Han sudah datang, namun setelah lama ditunggu, belum ada tanda-tanda dia akan muncul.
“Dia tidak datang lagi!” bisiknya kesal. Matanya tidak lepas dari bayangan dirinya di cermin, “Huuhh...!” Miranti menghela nafas, pikirannya mulai kacau. “Apakah dia sudah tidak suka lagi sama aku?!” rungutnya, “Atau si Wida sudah tahu hubungan ini, makanya dia dijaga ketat!” tuduhnya kesal, “Ternyata semua lelaki itu sama saja, tidak ada yang bisa dipercaya!”
“Mas, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Mas gak mau menemuiku lagi? Aku benar-benar gak kuat, Mas. Aku kangen banget sama Kamu!” teriaknya dengan suara keras, matanya tak lepas dari cermin. Hatinya mulai meronta-ronta, kerinduannya pada Mas Han telah membutakan pikirannya. Ok, deh, aku telpon aza ke hp-nya, pikirnya. Tapi, kalau yang ngangkat si Wida sialan itu gimana? Huh! Kesalnya dalam hati. Biarin! Bilang saja salah sambung!
Miranti pun benar-benar menelepon Mas Han, namun beberapa kali dihubungi tak pernah diangkat. Tuuhh kan? Dia emang mau ninggalin aku! Mas, kok Kamu tega sih! Ya sudah, aku sms aza!
Miranti segera mengirim sms :
Mas...
Tanpa diduga, ada jawaban dari Mas Han.
Ya... ada apa?
Hah... dia ngebales, lonjak hatinya girang. Lalu dengan segera, Miranti pun mengirim sms lagi :
Kangen. Bisa ketemu gak?
Lagi sibuk, uji coba mesin baru,
Mungkin sampai malem.
Huh! Selalu begitu. Sibuk, sibuk, sibuk, dan sibuk terus! Senin kemarin sibuk, Jumat kemarin juga, Senin kemarinnya lagi, Jumat kemarinnya juga! Perasaan sekarang jadi sok sibuk banget sih! Rungut Miranti kesal, begitu selesai membaca sms balasan dari Mas Han. Apa dia mau menghindariku pelan-pelan? Miranti berprasangka. Pikirannya semakin kalut. Marah dan cemburu menguasai diri.
Aku tidak percaya. Aku mau cek aza ke kantornya! Pikir Miranti nekat. Lalu segera melesat menuju kantor Mas Han.
Sesampainya di sana, dia malah bingung, bagaimana caranya masuk ke dalam? Di pintu gerbang ada satpam yang menjaga dengan sigap. Apakah harus menunggu sampai Mas Han keluar? Yang dia pun tidak tahu pasti, apakah Mas Han benar-benar ada di dalam atau tidak? atau kalaupun Mas Han memang ada di dalam, sampai kapan kan selesai?
Mas, aku di dpn kantor mu, dkt pintu gerbang. Kalau kamu benar di dalam, keluar bentar aza, temui aku
Akhirnya dia mengirim sms. Dan tak lama ada balasan dari Mas Han,
Ngapain kamu disitu? tunggu bentar, Mas kesitu ya...
Dan benar, beberapa menit kemudian, Mas Han datang menghampiri.
“Ran, ngapain Kamu kesini segala? Ini sudah malem, Mas masih belum selesai. Abis ini pulang ya? Mas mungkin tidur di kantor, kayanya gak bakal selesai malam ini,” jelas Mas Han. Miranti tertunduk, malu.
“Iya Mas, aku pulang, aku hanya ingin melihat wajahmu, Mas hati-hati, ya,” kata Miranti, lalu kembali pulang ke rumah.
Di sepanjang jalan, dia terus berpikir, ternyata Mas Han tidak berbohong, mungkin sebelum-sebelumnya juga tidak berbohong. Ini hanyalah ketakutannya saja yang tidak mau kehilangan Mas Han. Ketakutan yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia merasa malu pada dirinya sendiri, terlebih pada Mas Han. Bodoh, sejauh itukah cinta membutakan pikirannya?
Mas, sekarang Kamu semakin sibuk, hingga waktu untukku semakin berkurang, sementara perasaanku padamu semakin bertambah terus, semakin besar, dan semakin besar lagi. Aku ingin selalu dekat denganmu, tapi tanggung jawabmu pun semakin besar, pada perusahaanmu, pada keluargamu, pada istri dan anak-anakmu. Aku ingin memilikimu, tapi perusahaan dan keluargamu lebih berhak memilikimu. Aku ingin selalu diperhatikan olehmu, tapi perhatianmu semakin tercurah pada keluarga dan perusahaanmu, yang menuntut perhatian lebih demi kelangsungan hidup orang banyak.
Mas, selama ini aku bahagia dengan kebersamaan kita, meskipun hanya di sisa-sisa waktu yang Mas punya. Tapi sekarang, Mas hampir tak punya lagi sisa waktu untukku. Kesibukan Mas di kantor sudah merampas segalanya. Apakah ini berarti aku akan kehilanganmu? Kehilangan perhatian dan pengertianmu? Kehilangan canda dan tawamu? Juga kehilangan harapan untuk bisa selalu denganmu?
Mas, aku tak bisa membayangkan itu. Terlalu sulit untuk aku terima. Lantas, haruskah aku melupakanmu? Melupakan semua kenangan indah yang pernah kulalui denganmu? Ah, aku tak sanggup, Mas. Kenapa jadi begini? Siapakah yang patut disalahkan?
Dengan langkah gontai, Miranti terus berjalan menuju rumah kontrakannya. Kenyataan ini terlalu pahit untuk dia terima. Ternyata Mas Han, tidak seperti yang ditudingnya. Dia tidak berbohong, tidak menghindar dan tidak dengan sengaja akan meninggalkannya. Keadaanlah yang membuat semuanya berubah.
Miranti terus saja berjalan dengan muram, kesedihan bergantung di matanya. Dia kesal, tapi tidak tahu harus kesal pada siapa? Dia ingin marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa? Pada Mas Han? Pada kantor Mas Han? Pada Mbak Wida istri Mas Han? Atau pada dirinya sendiri?
Ah, dia sudah tidak bisa memikirkan lagi. Bayang-bayang kepahitan sudah semakin jelas di depan. Sementara malam semakin kelam, ditingkahi sinar bulan yang semakin temaram. Mungkinkah esok bintang kembali bersinar terang di hatinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H