Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[HORORKOPLAK] Empat Lelaki Penakut yang Bersembunyi di Dapur

10 Januari 2017   18:17 Diperbarui: 10 Januari 2017   18:18 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan yang tinggal separuh membuat malam itu terasa syahdu. Terlebih dengan sepoi angin berhembus pelan, cukup sukses menggenapi kesejukkannya. Rumah yang sejak tadi ramai karena kedatangan adik-adik sepupu yang tiba-tiba, kini berubah hening. Hanya suara musik dangdut mengalun sendu dari layar kaca, ditingkahi suara tang-ting-tong pemberitahuan pesan masuk melalu berbagai aplikasi sosial media di telepon seluler masing-masing. Kami, menjadi seperti autis yang asyik dengan dunianya. Terkadang malah senyum-senyum sendiri. Sementara si Umi, istri saya, dan Aka, anak saya, sudah terlelap sedari tadi.

“Maen kartu yu, ah!” Obi mengajak. Suaranya berhasil memutus konsentrasi yang lain. Mungkin sudah mulai bosan bermain gadgetdan ingin kembali ke dunia nyata.

“Hayu!”1) Ari menyahut, “Siap A, Ka?” lanjutnya bertanya pada saya dan juga pada Icep, yang sering dipanggil Kaka.

“Ok, siapa takut!” Saya menyambut tantangan.

“Siaaapp...!” Kaka menimpali.

Mereka adalah sepupu-sepupu dari pihak istri saya, tapi bagi saya tidak ada yang beda, semuanya juga adik-adik saya. Karena itulah mungkin kami menjadi begitu akrab. Oiya, mereka ke sini dalam rangka merayakan hari kebebasan, karena baru selesai menempuh ujian nasional.

“Tuh, kartunya di atas lemari TV, ambil aza!” Saya menunjuk tempat penyimpanan kartu, lalu beranjak untuk menyiapkan kertas dan ballpoint bakal mencatat skor nantinya.

Permainan kartu yang kami maksud adalah remi atau cekihan. Mungkin sudah banyak yang tahu, karena permainan ini cukup merakyat dan banyak disukai. Selain itu, karena memang permainan ini cukup seru dan asyik. Bukan hanya ada unsur kompetisi dan strategi, tapi juga hiburan. Apalagi dengan saling sepet-sepetan dan mengunci permainan lawan agar skor kita tidak dilampaui, membuat adrenalin sedikit terpacu. Harga diri, dong! Hehe.

Kami duduk melingkar. Kaka yang mengocok dan membagi kartu pertama kali, yang berarti bahwa permainan telah dimulai. Aneka umpatan dan celetukan asal bunyi mengalir deras dari mulut kami. Saling nyinyir, saling meledek tapi tidak lepas dari konteks bercanda. Ga boleh ada yang baper.

“Yeuh... Ente hayang as? Cokooottt...!”2)ledek Ari pada Kaka yang diketahui sedang menunggu kartu as agar menjadi seri yang lengkap. Tapi sayang, as yang Ari buang jaraknya sudah jauh dari as yang dibuang Obi lebih dulu. Jadi, Kaka tidak bisa mengambil kartu itu dari bawah. Kasiaann....! Untuk bisa mengambil kartu dari bawah, kami membatasi tidak lebih dari lima kartu.

“Ah, Manehmahlicik euy!Teu fungsi atuh uing boga as sadua-dua,”3) rutuk Kaka yang akhirnya terpaksa mengambil dari tumpukan kartu yang belum dibuka. Tak lama muncul kerutan di keningnya, mungkin sedang memikirkan strategi lain. “Ahh, sugan we meunang joker engke...”4) lanjutnya sambil mengecek ulang tumpukan kartu yang belum dibuka. “Loba keneh ieuh lah, kalem we kalem,”5) lanjutnya lagi jadi heboh sendiri.

“Hahaha...!” Kami menyambutnya dengan tawa.

“Geuwatkeun atuh Sateh! Meni lila-lila teung, siga nu keur mikiran nagara wae!”6) ledek Obi sewot, karena setelah Kaka adalah gilirannya.

“Kalem Bi, kalem... Duh, kalah bingung aing!”7) Kaka berkelit, matanya tak lepas dari kartu yang berjejer di tangan kirinya, sementara tangan kanan sibuk mengatur posisi kartu-kartu itu guna mencari setelan yang paling pas dan menguntungkan. Kerutan di kening belum juga hilang, malah muncul monyongan di bibir. “Lah ieu be lah, sok tah...!”8) Akhirnya Kaka memutuskan membuang queen kriting.

“Nyaan nu eta?! Nya nutup aing! Yess!”9)Obi tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengambil kartu buangan Kaka dan mengakhiri permainan di putaran ini dengan menutup, karena memang kartu itu kartu yang sejak tadi ditunggunya. “Seratus!” serunya riang, karena ia berhasil menutup dengan kartu raja.

“Lah licik maneh mah euy, teu ngomong cekih!”10) protes Kaka yang merasa menyesal membuang kartu itu. “Pan aing jadi kadenda!”11) sesalnya lagi karena ia jadi mendapat denda dikurangi 100, akibat memberi Obi kartu yang pas dipakai nutup.

“Hahaha, bet titadi ge ngomong! Maneh we nu pohoan, nya A, nya?”12) Obi membela diri, sambil melihat ke arah saya, seolah meminta pembenaran. Saya mengangguk.

“Enya, urang ge ngadenge tadi si Obi ngomong cekih.”13) Ari menegaskan. “Geus lah, kocok we deui! Nepi subuh, hahaha...”14)

Setelah proses perhitungan perolehan poin masing-masing yang juga diselingi dengan becandaan dan ledekan atau pengawasan ketat agar tidak ada yang curang, Kaka kembali mengocok kartu itu, karena skornya paling kecil, bahkan minus.

“Eh, mending motornya dimasukkin dulu, melang, geus malem.”15) Saya mengingatkan, karena motor mereka masih teronggok di luar rumah.

Mereka pun menurut, Kaka dan Ari segera melesat ke luar melalui pintu ruang bale yang memang difungsikan sebagai tempat penyimpanan motor, sementara Obi memilih ke kamar mandi dulu, dan saya ke dapur untuk menyeduh kopi, biar begadangnya lebih mantap. Haha.

Namun, tiba-tiba, “Aaaaaa....!” Terdengar teriakan Ari dan Kaka. Kaget, saya pun segera menghambur ke arah mereka. Obi menyusul.

Tapi, di pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang bale, saya berpapasan dengan mereka, yang berlari masuk dengan tergesa. Tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat. Tidak sempat bertanya, saya dan Obi pun balik kanan dan ikut berlari. Jadi ikut deg-degan dan panik.

Dapur adalah tempat yang kami pilih untuk ‘bersembunyi’. Kami merapat ke dinding, berjejer menghadap tembok. Namun, sesekali saya menengok, karena sebenarnya penasaran juga, ada apakah gerangan? Tapi, sekian lama kami berdiri, tidak ada sesuatu yang terjadi, selain napas Ari dan Kaka yang masih balapan.

“Aya naon, sih?!”16) Saya bertanya ketus.

“Aya nini-nini, bodas A. Iihh!”17) Ari menjelaskan disela hembusan napasnya yang masih tak beraturan. Gugup dan bergidik.

Apa? Nenek-nenek? Jangan-jangan... Seketika bulu kuduk saya meremang. Ini memang sudah sangat larut, malam sudah lama melewati puncaknya, dan gonggongan anjing terdengar pilu dari kejauhan, semakin menambah aura horor. Tapi, saya tetap penasaran. Saya pun menguatkan mental sembari merapal doa-doa yang saya ingat.

Saya putuskan untuk melihat ke TKP. Perlahan saya beranjak. Rupanya mereka juga penasaran, atau mungkin takut, dan gak mau ditinggal? Kami berjalan beriringan, saya di depan, mereka mengikuti sambil memegangi kaos bagian belakang saya. Kami berjalan seperti maling, mengendap-endap, dan tak ada yang berani bersuara. Detak jantung terdengar berdegup kencang.

Melewati pintu yang tadi kami berpapasan, artinya kami sudah tiba di ruang bale. Pintu masih sedikit terbuka, sekilas kulihat motor masih tetap di tempatnya. Tidak kulihat ada orang di luar. Saya benapas lega. Tubuh saya buat sedikit rileks, dan berbagai pikiran tak jelas saya enyahkan. Hmmmhhh....

“Gak ada apa-apa.” Saya berbisik, menenangkan. Mereka hanya menjawab dengan anggukan. Rupanya rasa takut belum sepenuhnya hilang, meski saya lihat tidak segemetar tadi.

Saya beranikan untuk membuka pintu dan keluar, “Aaa...!” Refleks saya balik kanan dan melesat masuk ke ruang keluarga. Sontak, mereka pun ikut-ikutan.

Saya melihat sesosok mahluk (saya belum yakin kalau itu manusia) berdiri membelakangi, di balik pintu yang masih tertutup. Dan sekilas, sepertinya menyerupai nenek-nenek. Rambut putih tergerai, mengenakan kebaya jadul yang sudah lusuh, bawahan kain batik yang juga belel, dan membawa gembolan.

Otak jernih saya kembali bekerja, mempertanyakan, benarkah dia hantu? Eh, dia napak tanah atau melayang, ya? Tapi dia tidak mengejar ke dalam, atau jangan-jangan... tidak kasat mata? Entahlah. Tapi, rasanya saya tidak begitu yakin, kalau sosok itu beneran hantu.

Saya kembali bangkit dan melangkah ke luar. Hanya Obi yang mengikuti. Ari dan Kaka tetap duduk di ruang keluarga. Saya kembali merapal doa, kekuatan mental saya tambah berkali-kali lipat. Saya menggandeng Obi, pelan-pelan sekali kami menjulurkan kepala melihat ke tempat tadi. Dia masih ada di sana. Saya pastikan, kakinya menyentuh tanah.

“Dia orang, Bi.” Saya berbisik pelan di telinga Obi. Obi mengangguk dan tersenyum kecut. Lalu kami benar-benar keluar melewati pintu. Dia masih membelakangi.

Saya menarik napas dalam, untuk sekadar menenangkan diri. Hingga akhirnya saya beranikan untuk mendehem dan menyapa.

“Ehm, Nek?”

Dia menengok, wajahnya keriput dan sayu. Matanya menatap tajam ke arah kami. Cukup lama. Hingga akhirnya berkata, “wghajklshkayge jkahalhhnak....”

Saya dan Obi saling pandang, kami tidak mengerti bahasa yang diucapkan.

“Ngomong naon, Bi?”18)

“Duka.”19)

Dia masih saja nyerocos tak keruan, namun rasanya saya menangkap ada kata-kata minum dalam perkataannya.

“Nenek mau minum?” Saya memastikan. Dia mengangguk.

“Ambil air, Bi.” Saya meminta Obi mengambil air ke dalam. Obi menurut, tak lama sudah kembali dengan empat gelas air mineral. Ari dan Kaka udah ikut bergabung.

Saya menyerahkan air mineral itu kepada si Nenek yang langsung menerimanya. Salah satu gelas saya bantu membukanya (Obi lupa bawa sedotannya).

“Ka, canda kue-kue di toples.”20)

Tak lama, Kaka menyerahkan kue itu pada saya. “Yeuh, A.”21) Saya langsung menyerahkan pada si Nenek. Tapi dia tidak langsung memakannya.

Beberapa jenak kemudian, si Nenek kembali berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak kami pahami. Lalu pergi ke arah timur, menembus pekatnya malam. Kami memandangi kepergiannya sampai benar-benar hilang.

“Sugan teh naon? Meni reuwas! Ah, dasar si Ari jeung si Kaka borangan!”22) ledek saya pada Ari dan Kaka.

“Aa oge, naha tadi milu lumpat, trus ngajerit, sok...?!”23) Ari ngeles dan menyerang balik.

“Da reuwas, ningal Ari jeung Kaka meni pias, bari ngedegdeg! Hahaha....”24)

Kami pun kembali masuk, diiringi tawa yang masih berderai, dan saling meledek akan ketakutan kami yang berlebihan. Tak lupa motor pun dimasukkan.

Ah, rupanya empat laki-laki dewasa takut dengan seorang nenek yang tiba-tiba muncul di tengah malam. Koplak pan? Hahaha. Kalau ingat kejadian itu, kami selalu tertawa dan tetap saling meledek. Hingga kini kami tidak tahu, apakah nenek itu waras atau tidak? Dan, kami tidak pernah melihatnya lagi.

***

Keterangan:

  1. Ayo!
  2. Nih... Kamu mau kartu as? Ambiiill...!
  3. Ah, Kamu curang! Tak berguna dong saya punya dua kartu as,
  4. Siapa tahu dapet joker nanti,
  5. Masih banyak, kan? Tenang sajaa...
  6. Cepetan, Kamu! Lama banget, kaya lagi mikirin negara aza!
  7. Tenang, Bi, Tenang. Duh, jadi bingung saya!
  8. Ini sajalah! Silahkan...
  9. Bener yang itu?! Nutup dong saya! Yess!
  10. Kamu curang! Gak ngomong cekih!
  11. Kan, saya jadi kena denda!
  12. Dari tadi juga udah ngomong! Kamu aza yang lupa! Ya kan, A?
  13. Iya, saya mendengar tadi, si Obi bilang cekih!
  14. Udahlah, ngocok aza terus! Sampai subuh, hahaha...
  15. Eh, mending masukin motor dulu, khawatir, sudah malam
  16. Ada apa, sih?!
  17. Ada nenek-nenek, putih A. Iihh!
  18. Ngomong apa sih, Bi?
  19. Entah
  20. Ka, ambil kue-kue di toples
  21. Ini, A
  22. Kirain ada apa? Bikin kaget aza! Dasar si Ari sama Kaka, penakut!
  23. Aa juga, kenapa tadi ikut lari dan teriak, sok...?!
  24. Abis kaget! Liat Ari sama Kaka pucat pasi sambil gemetar! Hahaha...

Happy Birthday Koplak Yo Band.

---Riepe---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun