Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nada Cinta Zein

6 Januari 2017   11:11 Diperbarui: 6 Januari 2017   11:13 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi panggung kecil bergaya klasik dan elegan yang terletak di bagian ujung tengah ruangan, ia sudah siap dengan sebuah biola yang sedari tadi tak pernah lepas dari genggaman. Menunggu namanya disebut untuk mulai memainkan dan membawakan lagu-lagu pilihan. Nada, demikian nama gadis itu. Setiap malam minggu, ia dan biolanya menjadi pengisi tetap di Harmony Cafe.

Tamu-tamu mulai berdatangan, biasanya mereka adalah yang sengaja ingin mendapatkan previllage dengan suasana mewah dan romantis. Kebanyakan dari mereka  sudah sangat mengenal alunan musik yang dimainkan Nada. Begitu meliuk, menyayat dan menghanyutkan perasaan. Mereka sangat puas dan terkesan.

Dan, setelah namanya dipanggil, mengalunlah sebuah lagu bertajuk Rivers Flow In You milik Yiruma. Pencahayaan panggung segera disesuaikan. Redup. Seakan membawa seluruh pengunjung hanyut dalam melodi indah yang menyayat hati. Ia pun terlihat begitu larut dalam penghayatan. Sesekali wajahnya tertunduk, gerakan tubuhnya melambat dan matanya terpejam.

***

Malam ini adalah minggu kedua di Bulan Mei. Langit tampak suram, tak ada gemintang yang berkelip genit, mungkin karena purnama sudah tenggelam. Sudah sejak tadi ia menggesek biolanya. Dan Èlégiekarya Faure dijadikannya sebagai lagu pamungkas. Lagu yang berkisah tentang kematian Jules Loeb ini cukup mewakili perasaan. Benarkah dia sudah meninggal?

Sudah sekian lama bayangannya tak pernah bisa lepas dari ingatan. Betapa pun ia mencoba menerima, hatinya selalu saja menepis, seakan menyangkal fakta bahwa dari jutaan hari yang telah dilewati tak ada satu pun yang bisa membawanya kembali, atau sekedar membisikkan keberadaannya. Tidak ada. Dia seolah hilang ditelan bumi, tapi entah bagian bumi yang mana. Sejujurnya, ia sudah lelah dengan penantian yang dirasa hanya akan menjadi sia-sia. Namun lagi-lagi hatinya tak bisa berpaling. Ia hanya ingin sebuah jawaban.

Serupa Faure, ia merasa sangat kehilangan. Seseorang yang dulu pernah merajut hari bersama, mengukir mimpi indah berdua dan mengucap janji untuk tak pernah saling meninggalkan, bahkan tak pernah lagi terdengar kabarnya. Kematian adalah sebuah simpulan yang ia paksakan agar hatinya tak lagi mengharap. Tapi tak pernah berhasil. Karena jauh di relung kalbunya, dia tetap hidup dan akan kembali. Zein.

Sebuah gesekan panjang busur biola diambilnya sebagai tanda permainannya di lagu tersebut selesai, yang berarti juga menutup seluruh penampilannya malam ini. Tepuk tangan pengunjung pun bergemuruh, tak sedikit dari mereka yang memberikan standing ovation.

“Permainan yang bagus, Nada.” Mr. Fritz, Sang Manager Cafe memuji. “Penghayatan yang sangat mendalam dan begitu menyentuh.”

Nada hanya menanggapi dengan senyuman, tangannya masih sibuk mengemas biola ke dalam kotak.

“Sepertinya pengunjung semakin suka dengan penampilanmu, dan itu sangat membantu cafe ini, terima kasih.”

“Ah, saya yang seharusnya terima kasih, Sir. Karena sudah diizinkan tampil di cafe semewah ini.”

“Terus asah kemampuanmu, saya yakin, suatu saat Kamu akan menjadi orang besar.”

Nada mengangguk, tak lupa kembali menyelipkan sebuah senyum. “Aamiin.” Baginya, Mr. Fritz bukan hanya seorang klien, tapi sewaktu-waktu bisa menjadi sahabat atau bahkan seorang kakak.

“Saya pamit, Sir. Good night.

“Ok, Nada. Hati-hati. See you next week.

***

Melancholic Masterpieceia pilih untuk membuka penampilannya kali ini, pada suatu malam yang basah di akhir Bulan Desember. Melalui lagu ini ia merasa seperti tengah berbicara pada diri sendiri. Benar-benar menyedihkan. Tapi dengan menghayati, perlahan-lahan akan kembali mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Seolah menemukan inspirasi yang bisa meringankan beban. Ia benar-benar berharap, bisa kembali meraih bahagianya dan terlepas dari beban harapan yang sangat menyiksa.

Zein, kenapa Kau tega meninggalkanku? Mengingkari janji yang Kau ucap, akan selalu menjagaku? Dimanakah Kau kini? Tak lihatkah aku yang selalu menanti?

Tangan kanannya terus saja memainkan busur biola dengan lincah sementara tangan kiri sibuk menekan senar sesuai kunci yang tepat. Melodi indah terus saja mengalun, begitu menyesak, syahdu.

Zein, apakah aku sudah tidak ada untukmu? Dan Kau sudah tidak peduli lagi padaku? Tak berartikah segala yang sudah kita lalui? Bahkan Kau tak datang di hari yang kita janjikan akan bertemu?

Ia mempercepat tempo. Tubuhnya ikut begetar mengikuti beat yang kian menghentak. Ritme pun mengalir dengan ketukan lebih cepat. Emosi tampak menguasai.

Zein, Kenapa Kau lakukan semua ini? Kenapa Kau pergi? Enyah sajalah Kau dari pikiranku!

Tanpa jeda ia terus saja menggesek biolanya, beralih pada Violin Concerto in D Major, lalu Melodie from Orpheus and Erudice, lagu-lagu yang benar-benar melukiskan kesedihan.

Zein, bahkan aku tak sanggup lagi menahan beban ini! Biarkan aku mati! Biarkan aku mengakhiri semuanya!

***

“Sir, mohon maaf, saya tidak bisa tampil malam ini, saya kurang enak badan,” kata Nada di suatu sore melalui saluran telepon.

“Tidak apa-apa, istirahatlah. Kamu terlihat lelah akhir-akhir ini. Apakah perlu saya kirim orang untuk mengantarmu ke Rumah Sakit?” jawab Mr. Frits dari seberang.

“Tidak usah, Sir. Saya hanya butuh istirahat. Terima kasih.”

***

Malam terus merangkak, ia masih belum menyudahi penampilannya. Kondisinya masih terlihat lemah. Wajah pucat. Bibir membiru.

Zein. Nama itu masih terpatri kuat di pikirannya. Meski berkali-kali mencoba untuk menghempas, tapi hatinya terus saja terpaut. Ada rindu yang tak bisa lagi dibendung. Ada luka yang tak bisa lagi terobati. Ada cinta yang mencari-cari tempatnya bermuara.

Zein. Cinta pertama dan terakhirnya sejak mereka masih bersama-sama di Panti. Dulu. Ketika ia merasa perpisahan pun tak akan mampu merobek hatinya.

“Aku suka hujan. Ia seperti cinta yang tak pernah habis,” katanya suatu malam ketika mereka sengaja menghabiskan waktu, sesaat sebelum Zein dibawa oleh keluarga Handoyo.

“Tapi hujan akan membuat tubuhmu dingin, dan sakit.” Zein menjawab.

“Aku tidak takut, karena ada Kamu yang selalu menghangatkan.”

Zein tersenyum.

“Besok Kamu akan pergi. Aku takut Kamu akan melupakanku.” Suaranya berubah sendu.

“Itu tak akan terjadi. Kamu akan selalu di hatiku.” Zein meyakinkan.

“Aku takut tak bisa melihatmu lagi.”

“Aku akan datang ke sini untuk menjengukmu.”

“Aku gak mau berpisah denganmu.”

“Kita akan bersama lagi, selamanya.”

“Aku sayang Kamu.”

Zein mengangguk. “Sudahlah, istirahat, ini sudah sangat larut. Aku akan selalu menjagamu.”

Semakin diingat, semakin hatinya merasa perih. Karena pada kenyataannya, Zein tak pernah sekalipun hadir untuk menjenguk. Padahal setiap waktu, hanya dia yang dinanti. Kenapa Kamu tega menyakitiku, Zein?

Kiss The Rain milik Yiruma mengalun lembut dari dawai biolanya. Berkisah tentang cinta yang telah retak, dan hanya kenangan yang menemani. Tapi, tak ada yang bisa menggantikan. Kamu tetap di hatiku, Zein. Bahkan, aku tak bisa sedetikpun melupakanmu. Aku mencintaimu dan akan tetap menunggumu.

Ia membiarkan saja perasaannya yang kian larut bersama melodi yang semakin menyayat. Kepasrahan akan cinta yang tak mungkin direngkuh akan menjadi kenangan terindah sepanjang hidupnya. Ia rela, meski selamanya harus mencintai bayang-bayang. Cintanya terlampau dalam. Perlahan ia tersenyum, seolah mendapat kekuatan untuk terus bertahan memeluk cintanya.

Dan, sesaat sebelum coda, ia biarkan matanya berkeliling, menyapa setiap pengunjung yang terlihat begitu antusias melihat penampilanya. Tak dinyana, di sebuah meja di dekat tiang penyangga, ia membentur sesosok lelaki yang juga tengah menatap ke arahnya. Pandangannya begitu dalam, begitu kuat merasuk ke jiwa.

“Zein?” desisnya pelan.

Hatinya terlonjak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun