Zein, Kenapa Kau lakukan semua ini? Kenapa Kau pergi? Enyah sajalah Kau dari pikiranku!
Tanpa jeda ia terus saja menggesek biolanya, beralih pada Violin Concerto in D Major, lalu Melodie from Orpheus and Erudice, lagu-lagu yang benar-benar melukiskan kesedihan.
Zein, bahkan aku tak sanggup lagi menahan beban ini! Biarkan aku mati! Biarkan aku mengakhiri semuanya!
***
“Sir, mohon maaf, saya tidak bisa tampil malam ini, saya kurang enak badan,” kata Nada di suatu sore melalui saluran telepon.
“Tidak apa-apa, istirahatlah. Kamu terlihat lelah akhir-akhir ini. Apakah perlu saya kirim orang untuk mengantarmu ke Rumah Sakit?” jawab Mr. Frits dari seberang.
“Tidak usah, Sir. Saya hanya butuh istirahat. Terima kasih.”
***
Malam terus merangkak, ia masih belum menyudahi penampilannya. Kondisinya masih terlihat lemah. Wajah pucat. Bibir membiru.
Zein. Nama itu masih terpatri kuat di pikirannya. Meski berkali-kali mencoba untuk menghempas, tapi hatinya terus saja terpaut. Ada rindu yang tak bisa lagi dibendung. Ada luka yang tak bisa lagi terobati. Ada cinta yang mencari-cari tempatnya bermuara.
Zein. Cinta pertama dan terakhirnya sejak mereka masih bersama-sama di Panti. Dulu. Ketika ia merasa perpisahan pun tak akan mampu merobek hatinya.