“Eh, Neng sudah bangun,” Bi Sumi mendekat, disentuhnya kening Naya. Hangat. “Neng demam, semalam tidak makan ya?”
Naya menggeleng.
“Sekarang makan ya? Bibi sudah masak nasi goreng telor mata sapi, trus abis itu minum obat ya... bentar bibi ambilin dulu.”
Naya menggeleng lagi, “tidak usah, Bi.”
Bi Sumi menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Naya. Khawatir bercampur kecewa memancar dari raut tuanya. Jelas terlihat.
“Naya gak apa-apa kok Bi, nanti juga baikan.” Naya mencoba meyakinkan. Di bibirnya menyembul sebuah senyum, dipaksakan.
“Dari kemarin Neng belum makan, bibi suapin ya.” Suara Bi Sumi terdengar getir.
“Gak usah Bi, nanti Naya makan sendiri,” tolak Naya, masih dengan senyum, hambar. Naya tahu, dan merasakan, betapa tulus kasih yang dicurahkan pengasuhnya itu kepadanya. Sejak dulu, sejak ia sudah bisa mengingat, begitu besar perhatiannya, tak jauh beda seperti kepada anak kandungnya sendiri. Hingga kini, tak pernah berubah.
“Ayah sudah pulang, Bi?” tanya Naya, suaranya berat bergetar, seolah menahan beban besar.
Bi Sumi menggeleng, “belum.”
Naya tidak segera menyahut, melainkan hanya menghela nafas dalam. Entah sudah berapa lama ayah tidak pulang ke rumah, Naya tidak tahu pasti. Yang jelas, pada pengambilan raport akhir semester kemarin pun, ayah tidak datang. Padahal anak-anak yang lain begitu ceria, karena diantar oleh orang tua mereka masing-masing. “Pasti dengan perempuan itu!” sulit baginya untuk tidak melontarkan nada sinis pada pernyataannya.