Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Balik Jendela

22 Desember 2016   23:16 Diperbarui: 25 Desember 2016   07:05 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bibi masak sayur asem kesukaan Neng Naya, jagungnya besar-besar dan manis lho, atau mau bibi bawakan ke kamar?”

Naya tidak menyahut. Ia malah membuka jendelanya lebar-lebar, mengundang lebih banyak lagi laron untuk datang, agar kemeriahannya semakin bertambah. Dan, dengan senyum tersungging, Naya memosisikan sebagai tuan rumah yang baik,   menyambut tamu-tamunya bak sahabat lama. Hangat dan cair. Menyilahkan mereka menikmati setiap detik waktu yang bergulir dengan gembira.

“Neng, jendelanya ditutup saja ya, angin malam kurang baik untuk kesehatan, itu juga, laron-laronnya nanti mengotori kamar Neng Naya.”

Lagi-lagi Naya tidak menggubris. Namun, ketika Bi Sumi beranjak hendak menutup kembali jendela kamarnya, ia mencegah dengan sigap. Urung, Bi Sumi pun kembali ke tempat, dan membiarkan saja apa yang dikehendaki anak majikannya semata wayang, yang kini sudah meleburkan diri dalam pesta cahaya, menyatu dalam pusaran rasa, larut dalam suasana. Ikut menari, berjingkrak dan berdansa. Bi Sumi hanya bisa menatap putri tuannya dengan pandangan nanar. 

Sungguh, hatinya merasa miris, jantungnya seperti teriris. Bagaimanapun, Naya, yang diasuhnya sejak kecil,  sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Meski tak sedarah sedaging, bukan penghalang untuk berkasih sayang. Tak ayal, ia pun turut berduka, berkubang dalam lara, ketika didapati, Naya memendam luka yang menganga. Namun, ia hanya bisa memilin doa, berharap, semoga yang dilakukan Naya bisa sedikit mengurangi deritanya, atau setidaknya melupakan sejenak. Dan, tanpa berkata, ia pun memilih kembali ke dapur, menyiapkan makan malam untuk Naya. Gulana membuncah di dada.

Naya sangat menikmati pestanya. Sesekali tawa terdengar berderai, membahana. Baginya, bercengkrama dengan mahluk kecil, coklat, dan bersayap tipis transparan itu memang bisa sedikit melarutkan nestapa. Melihat mereka berkerik-kerik sambil berkecipak-kecipuk, mengepak-kepakan sayapnya, saling berebut cahaya, tak lebih seperti menonton sebuah pertunjukan drama. Ada lucu, ceria, tapi sarat dengan perjuangan dan pengorbanan. Saling mengerti. Saling berbagi. Ia meresapi setiap detik yang dilewatinya, adalah detak bahagia. Bahkan Naya sempat berharap, agar waktu berhenti saja, tak lagi bergulir. Supaya tetap bisa memeluk bahagianya.

Namun, tak ada pesta yang tidak selesai, dan berakhir adalah sebuah keharusan. Semuanya terhenti, seiring lelah yang mulai mendera. Sayap-sayap jatuh berhamburan, lepas dari kaitannya. Laron-laron menjadi telanjang, berjalan beriringan. Berputar. Berkeliling. Mencari jalan kematian. Naya tak bisa berbuat apa-apa, hanya menatap mereka dengan hampa. 

Menyaksikan episode terakhir dari kisah hidup mereka. Dan mau tidak mau harus merelakan, ketika laron-laron itu, satu per satu, berpamitan, dan mengucapkan salam perpisahan. Mereka telah sampai di batas akhir perjalanannya. Senyum pun tersungging di mulut kecil mereka. Seolah menyiratkan bahwa mereka telah siap menyongsong takdir yang sudah sejak tadi mengintainya. Takdir, yang hendak membawa mereka meninggalkan dunia fana, mengeluarkannya dari bayang-bayang fatamorgana.

***

Jendela jiwa Naya membuka ketika telinganya menangkap suara berderak di lantai kamarnya. Dari bibir matanya yang memicing, Naya tahu, rupanya Bi Sumi, yang tengah sibuk membersihkan sayap-sayap patah dari laron-laron yang berserakan dimana-mana. Sisa semalam. Ia begitu cekatan, meski terkadang sayap-sayap patah itu jadi beterbangan saat Bi Sumi mengayunkan sapunya. Tentu saja, Bi Sumi tak mau menyerah, ia terus berupaya menyingkirkan serpihan-serpihan sayap itu hingga tak bersisa.

“Bi....” panggil Naya lirih. Kepalanya sedikit pening, mungkin efek tidur terlalu larut. Bi Sumi terperanjak, lalu menoleh ke arah Naya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun