Naya membiarkan sepasang teropong jiwanya melompat ke luar jendela kamar, mengitari pemandangan sejauh jangkauan, menyeruak diantara semak-semak dan belukar, dan juga pepohonan yang tumbuh liar, berkerumun, berdesakan. Manik matanya begitu lincah, melayang, berputar, berpindah dari satu titik ke titik lainnya, seperti gerak sledet yang sering dijumpai pada setiap tarian Bali. Sangat cepat, berirama, menangkap begitu banyak detil yang tersuguh sebagai sebuah opera. Detil yang meski tampak tercerai-berai, tersekat-sekat, tidak saling terkait, namun sejatinya merupakan sketsa alam yang utuh. Saling melengkapi.
Salah satu framemembingkai keluarga bunga pukul empat yang sudah mekar sedari tadi, begitu semarak dengan warna-warni yang ceria, bersanding dengan bunga lily yang juga tak mau kalah, memancarkan pesonanya yang anggun. Menyematkan damai hingga ke relung hati. Mengundang bahagia hingga ke dasar sukma. Namun justru terlihat kontras dengan frame lainnya yang menampilkan serumpun bunga sepatu yang malah menguncup layu, selaras dengan deretan pohon petai cina yang juga mengatupkan daun-daunnya. Tampak letih. Tertunduk lesu. Tak ada lagi gairah meski untuk seulas senyum.
Di atas sana, sekawanan kelelawar bersorak-sorai, begitu riuh, petantang-petenteng, merentang sayap, membelah angkasa, melayang, menukik, bermanuver, seolah ingin semakin menancapkan eksistensinya dengan menunjukkan seringainya yang angkuh, jumawa. Naya melihat, betapa sebuah saat dapat disikapi berbeda oleh setiap jiwa. Termasuk dirinya, yang hanya terpekur dalam gilasan masa. Adanya keinginan, hasrat dan kepentinganlah yang menjadi tonggak terciptanya perbedaan itu.
Saat ini, pada dimensi lain, mungkin tengah terpampang sebuah frame yang begitu haru, lucu, atau sama sekali tak pernah terpikir. Mungkin saja. Dan lamat-lamat alunan musik mulai terdengar, gemerisik, dari sekelompok fauna seniman yang tak pernah merasa bosan melantunkan nyanyiannya, tentang cinta, rindu dan juga harapan. Selalu riang, gaduh, bagai gelaran sebuah konser. Ya, petang mulai meremang, malam pun telah menjelang.
***
Naya masih bergeming, belum mau beranjak dari dekat jendela kamarnya. Bola beningnya masih dibiarkan mengembara menangkap lebih banyak lagi detil yang tercipta saat terjadinya pergantian masa. Lembayung yang terdesak, mentari yang terusir, atau rembulan, sang putri malam yang selalu menyimpul senyum, pun tak luput dari bidikan lensa hatinya. Tentu akan ada banyak makna di sana, jika mau menggali. Namun, Naya tidak tertarik untuk mencari atau menggali apapun. Ia hanya membiarkan saja pandangannya menerawang, membentur apa saja sesukanya. Tak peduli dengan makna atau apalah namanya itu. Bagi Naya semua itu tak lebih dari rol film dengan cerita yang sama yang selalu diputar setiap hari. Tak ada yang menarik.
Naya justru semakin membenamkan dirinya pada pilu yang merasuk hingga kedalaman kalbu. Pilu yang teramat pedih, yang selalu saja bergelayut di pelupuk mata, setia membungkus hari-harinya. Pilu yang telah merenggut seluruh asa dan semangatnya, menggerogoti energinya hingga limit, nyaris tak bersisa. Semenjak ibu dipanggil Sang Maha Hidup, Pemilik Seluruh Hidup, Naya merasa lentera hatinya meredup. Apalagi, dengan kenyataan lain yang kini harus dihadapi, Naya benar-benar tak sanggup.
Gelap sudah hampir merata, merayap ke seluruh penjuru buana. Lampu-lampu mulai menyala. Sepasukan laron dan beberapa jenis serangga kecil lainnya segera mengerubung, melingkar, berpesta, menikmati cahaya. Konon laron-laron itu sengaja di lepas oleh ratu mereka untuk menghisap cahaya purnama. Cahaya keabadian. Namun mereka justru terjebak oleh cahaya lampu dan menemui ajal, meregang nyawa. Terkecoh, tanpa pernah meraih tujuannya. Naya tak peduli soal itu, justru ia merasa, dirinya kini tak jauh berbeda dengan mereka. Terjebak dalam dunia asing, yang begitu pengap, dimana setiap helai udara, hanya mengalirkan luka. Mungkin, ia pun tak akan pernah meraih tujuannya.
“Neng Naya....” Suara seseorang memecah sunyi, dari balik pintu kamar. Sepertinya Bi Sumi.
“Iya Bi, masuk.” Naya menjawab dengan malas. Tak lama pintu pun terbuka. Ternyata benar Bi Sumi. Siapa lagi? Di rumah itu kan hanya ada mereka berdua. Sebenarnya sih bertiga dengan ayah, tapi...
“Neng makan dulu ya, sejak pulang sekolah tadi, Neng belum makan,” bujuk Bi Sumi lembut, lalu menekan saklar yang terpasang di dinding kamar. Seketika terang menguasai ruangan. Satu per satu laron beringsut, masuk melalui ventilasi udara, mendekati cahaya. Melayang, melingkar, berpesta. Naya membiarkan laron-laron itu memenuhi kamarnya, hilir-mudik, menari, berdansa, bersuka cita.
“Bibi masak sayur asem kesukaan Neng Naya, jagungnya besar-besar dan manis lho, atau mau bibi bawakan ke kamar?”
Naya tidak menyahut. Ia malah membuka jendelanya lebar-lebar, mengundang lebih banyak lagi laron untuk datang, agar kemeriahannya semakin bertambah. Dan, dengan senyum tersungging, Naya memosisikan sebagai tuan rumah yang baik, menyambut tamu-tamunya bak sahabat lama. Hangat dan cair. Menyilahkan mereka menikmati setiap detik waktu yang bergulir dengan gembira.
“Neng, jendelanya ditutup saja ya, angin malam kurang baik untuk kesehatan, itu juga, laron-laronnya nanti mengotori kamar Neng Naya.”
Lagi-lagi Naya tidak menggubris. Namun, ketika Bi Sumi beranjak hendak menutup kembali jendela kamarnya, ia mencegah dengan sigap. Urung, Bi Sumi pun kembali ke tempat, dan membiarkan saja apa yang dikehendaki anak majikannya semata wayang, yang kini sudah meleburkan diri dalam pesta cahaya, menyatu dalam pusaran rasa, larut dalam suasana. Ikut menari, berjingkrak dan berdansa. Bi Sumi hanya bisa menatap putri tuannya dengan pandangan nanar.
Sungguh, hatinya merasa miris, jantungnya seperti teriris. Bagaimanapun, Naya, yang diasuhnya sejak kecil, sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Meski tak sedarah sedaging, bukan penghalang untuk berkasih sayang. Tak ayal, ia pun turut berduka, berkubang dalam lara, ketika didapati, Naya memendam luka yang menganga. Namun, ia hanya bisa memilin doa, berharap, semoga yang dilakukan Naya bisa sedikit mengurangi deritanya, atau setidaknya melupakan sejenak. Dan, tanpa berkata, ia pun memilih kembali ke dapur, menyiapkan makan malam untuk Naya. Gulana membuncah di dada.
Naya sangat menikmati pestanya. Sesekali tawa terdengar berderai, membahana. Baginya, bercengkrama dengan mahluk kecil, coklat, dan bersayap tipis transparan itu memang bisa sedikit melarutkan nestapa. Melihat mereka berkerik-kerik sambil berkecipak-kecipuk, mengepak-kepakan sayapnya, saling berebut cahaya, tak lebih seperti menonton sebuah pertunjukan drama. Ada lucu, ceria, tapi sarat dengan perjuangan dan pengorbanan. Saling mengerti. Saling berbagi. Ia meresapi setiap detik yang dilewatinya, adalah detak bahagia. Bahkan Naya sempat berharap, agar waktu berhenti saja, tak lagi bergulir. Supaya tetap bisa memeluk bahagianya.
Namun, tak ada pesta yang tidak selesai, dan berakhir adalah sebuah keharusan. Semuanya terhenti, seiring lelah yang mulai mendera. Sayap-sayap jatuh berhamburan, lepas dari kaitannya. Laron-laron menjadi telanjang, berjalan beriringan. Berputar. Berkeliling. Mencari jalan kematian. Naya tak bisa berbuat apa-apa, hanya menatap mereka dengan hampa.
Menyaksikan episode terakhir dari kisah hidup mereka. Dan mau tidak mau harus merelakan, ketika laron-laron itu, satu per satu, berpamitan, dan mengucapkan salam perpisahan. Mereka telah sampai di batas akhir perjalanannya. Senyum pun tersungging di mulut kecil mereka. Seolah menyiratkan bahwa mereka telah siap menyongsong takdir yang sudah sejak tadi mengintainya. Takdir, yang hendak membawa mereka meninggalkan dunia fana, mengeluarkannya dari bayang-bayang fatamorgana.
***
Jendela jiwa Naya membuka ketika telinganya menangkap suara berderak di lantai kamarnya. Dari bibir matanya yang memicing, Naya tahu, rupanya Bi Sumi, yang tengah sibuk membersihkan sayap-sayap patah dari laron-laron yang berserakan dimana-mana. Sisa semalam. Ia begitu cekatan, meski terkadang sayap-sayap patah itu jadi beterbangan saat Bi Sumi mengayunkan sapunya. Tentu saja, Bi Sumi tak mau menyerah, ia terus berupaya menyingkirkan serpihan-serpihan sayap itu hingga tak bersisa.
“Bi....” panggil Naya lirih. Kepalanya sedikit pening, mungkin efek tidur terlalu larut. Bi Sumi terperanjak, lalu menoleh ke arah Naya.
“Eh, Neng sudah bangun,” Bi Sumi mendekat, disentuhnya kening Naya. Hangat. “Neng demam, semalam tidak makan ya?”
Naya menggeleng.
“Sekarang makan ya? Bibi sudah masak nasi goreng telor mata sapi, trus abis itu minum obat ya... bentar bibi ambilin dulu.”
Naya menggeleng lagi, “tidak usah, Bi.”
Bi Sumi menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Naya. Khawatir bercampur kecewa memancar dari raut tuanya. Jelas terlihat.
“Naya gak apa-apa kok Bi, nanti juga baikan.” Naya mencoba meyakinkan. Di bibirnya menyembul sebuah senyum, dipaksakan.
“Dari kemarin Neng belum makan, bibi suapin ya.” Suara Bi Sumi terdengar getir.
“Gak usah Bi, nanti Naya makan sendiri,” tolak Naya, masih dengan senyum, hambar. Naya tahu, dan merasakan, betapa tulus kasih yang dicurahkan pengasuhnya itu kepadanya. Sejak dulu, sejak ia sudah bisa mengingat, begitu besar perhatiannya, tak jauh beda seperti kepada anak kandungnya sendiri. Hingga kini, tak pernah berubah.
“Ayah sudah pulang, Bi?” tanya Naya, suaranya berat bergetar, seolah menahan beban besar.
Bi Sumi menggeleng, “belum.”
Naya tidak segera menyahut, melainkan hanya menghela nafas dalam. Entah sudah berapa lama ayah tidak pulang ke rumah, Naya tidak tahu pasti. Yang jelas, pada pengambilan raport akhir semester kemarin pun, ayah tidak datang. Padahal anak-anak yang lain begitu ceria, karena diantar oleh orang tua mereka masing-masing. “Pasti dengan perempuan itu!” sulit baginya untuk tidak melontarkan nada sinis pada pernyataannya.
Bi Sumi mengerti. Ia pun mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa.
“Bi, kenapa Tuhan menciptakan Naya sebagai manusia? Bukan sebagai laron? Naya ingin jadi laron saja, Bi.” Mendengar pertanyaan itu, Bi Sumi terhentak. Meski bukan pertama kali Naya berlaku demikian, namun Bi Sumi tetap merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan nyeleneh dari anak kecil seperti ini. Ternyata benar, ucapan mendiang nyonya dulu, kalau anak kecil itu kadang suka berpikiran aneh, bicara ngawur dan terlalu berimajinasi. Lantas ia pun teringat beberapa waktu ke belakang, sewaktu Naya masih berumur 4 atau 5 tahun, Naya pernah ingin menjadi boneka barbie, Dora the explorer, juga peri. Syukurlah, nyonya selalu punya akal untuk menjawab pertanyaan atau keinginan putrinya. Dan, pertanyaan itu kini ditujukan padanya. Bi Sumi tidak tahu, bagaimana harus menjawabnya.
“Lho, kok Neng nanya begitu sih? Kan enakan jadi manusia Neng? Bisa pakai baju bagus, jajan es krim, pergi ke sekolah, atau jalan-jalan.”
“Nggak! Jadi manusia itu pusing! Harus mikirin banyak hal, dan juga harus punya ibu tiri! Naya gak mau, Bi!” ungkapan jujur khas anak kecil keluar dari mulut Naya. Jelas terasa, ada emosi disana. Marah, kecewa, dan ingin berontak. Bi Sumi bisa merasakan sedalam apa sesak yang merasuk boneka barbie asuhannya itu. Sejak Tuan memperkenalkan Bu Monic sebagai calon nyonya baru di rumah itu, yang sekaligus akan menjadi ibu tiri bagi Naya, Naya terlihat down. Berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Selalu murung. Tak lagi bersemangat menjalani apapun. Tak peduli. Termasuk menjaga kesehatan dirinya. Meski berkali-kali Bi Sumi mencoba mengingatkan, namun Naya tetap memilih menjadi diri yang ia inginkan saat ini.
“Meski nantinya menjadi ibu tiri, Bu Monic kan baik, Neng.” Bi Sumi mencoba meredakan emosinya.
“Baik apanya?! Dia yang sudah ngambil ayah dari Naya, juga dari ibu! Pokoknya gak mau! Gak mau! Ayah tidak sayang Naya! Ayah tidak sayang ibu!” Naya berteriak keras. Wajahnya menegang, lalu ditutup dengan isak, tersengal. Air mata menganak sungai, menyusuri lengkung pipinya.
Bi Sumi segera memeluk anak asuhannya, lalu dibelainya dengan lembut. “Tenang sayang, jangan sedih ya... bibi yang akan terus menjaga Neng, bibi yang akan terus bersama Neng, menemani Neng, menyiapkan semua keperluan Neng... Neng harus kuat, demi ibu. Bibi yakin, ibu akan sedih disana, kalau melihat Neng seperti ini....” Bi Sumi berusaha menguatkan, meski ia sendiri pun tak kuasa membendung butiran bening yang melesak-lesak, ingin keluar dari sumbernya.
“Bi, Naya ingin menjadi laron saja....” dengan lirih, Naya kembali mengungkapkan keinginannya, disela isaknya yang masih mengganjal. Bi Sumi tidak menjawab, hanya mengangguk lemah, meski tidak tahu apa yang dimaksud anak kecil yang masih berseragam putih merah itu, yang penting asal anak itu senang, mudah-mudahan bisa sedikit menenangkannya. Lantas, dipeluknya sekali lagi anak asuhannya dengan erat, sepenuh perasaan.
***
Keesokan paginya, Bi Sumi tidak menemukan Naya di dalam kamarnya. Dengan panik, ia mencari ke seluruh penjuru ruangan, tapi Naya tak jua ditemukan. Dalam lelahnya, ia menerawang, pikirannya melayang, menebak-nebak berbagai kemungkinan. Tak terasa, air matapun meleleh, semakin deras, sesenggukan. Dari balik jendela, terlihat bayangan Naya sedang tersenyum, dengan dua sayap coklat transparan di punggungnya. Terbang, melayang, semakin jauh, semakin mengecil, dan akhirnya hilang.
~ Selesai ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H