Mohon tunggu...
Joshua Krisnawan
Joshua Krisnawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Journalist of Suara Baptis and Indonesia Travel Signature magazine

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Maaf, Saya Nggak Jualan Darah!

16 Agustus 2014   16:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:24 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengangkat telepon genggam sesaat setelah deringnya memecah keheningan malam di kamar tidur saya. Dari seberang, terdengar suara seorang pria dengan sedikit terbata-bata.

"Selamat malam, maaf mengganggu. Apa benar ini dengan Pak Joshua?" tuturnya membuka percakapan telepon kami.

Setelah saya mengiyakan, pria tersebut memperkenalkan diri, menerangkan asal-muasal mendapat nomer kontak saya, dan mengutarakan maksudnya menghubungi saya. Ia menceritakan bahwa isterinya mengalamihaemmorhagic post-partum atau bahasa awamnya adalah perdarahan pasca-melahirkan. Dari suara dan bahasa, saya menangkap pria tersebut sedang sangat panik.

Dengan berusaha sedikit menenangkannya, saya meminta pria itu untuk mengirimkan data kebutuhan darah untuk isterinya lengkap dengan golonganRhesusdan jumlah kantong yang diperlukan plus lokasi rawat. Tak lama berselang, saya menerima pesan singkat darinya.

Ya, beberapa tahun terakhir saya bergabung menjadi relawan untuk Blood for Life Indonesia, sebuah komunitas nirlaba daring yang bertujuan untuk menjadi jembatan penghubung antara pendonor dan penerima darah. Komunitas ini diprakarsai oleh Valencia Mieke Randa pada pertengahan Maret 2009 silam. Berawal dari aktivitasbloggingwanita yang populer di jagat maya dengan nama 'Silly', gerakan Blood For Life Indonesia memulai tugas mulia itu dari jalurmailing listyang awalnya hanya beranggotakan 44 alamat email.

Mendapat respon yang luar biasa dari rekan-rekan sesamablogger,Silly 'nekat' melanjutkan langkahnya melalui jalur media sosial Twitter dengan akun @Blood4LifeID. Dari jalur inilah saya mengenal kiprah komunitas pendonor darah tersebut, juga sosok Silly secara pribadi. Saya tergerak hati untuk berkenalan dengannya dan bersedia untuk menjadi relawan sebagai admin nasional akun Twitter Blood For Life Indonesia.

Sebagai salah satu admin, saya sering berkomunikasi dengan admin dan relawan lainnya. Tak hanya itu, saya pun juga berkenalan dengan banyakfollowers terutama pada saat menyebarkan informasi kebutuhan darah. Secara khusus, saya ditunjuk sebagai koordinator wilayah Yogyakarta. Mau tak mau, suka ataupun tidak, nomer telepon genggam pribadi saya tersebar luas di jagat maya. Tak apalah pikir saya,tohuntuk kegiatan sosial membantu sesama.

Sejak saat itu, bahkan hingga setelah saya cuti sebagai admin daring pun, telepon genggam saya sering dihubungi untuk urusan kebutuhan transfusi darah. Bukan hanya dari Jogja, bahkan dari Medan dan Makassar juga pernah saya beri bantuan. Sebuah aktivitas yang membuat sibuk dan panik, namun memberi kepuasan batin tersendiri.

Bukan hanya memberi perhatian soal kebutuhan darah yang sifatnya darurat, komunitas Blood For Life Indonesia juga memiliki jejaring di dunia nyata untuk melakukan aktivitas sosial, seperti bantuan kemanusiaan pada saat terjadi bencana, maupun juga bakti sosial kepada panti asuhan atau anak-anak yang mengalami derita sakit.

Dalam urusan darah, tak jarang saya menjumpai kesulitan-kesulitan yang pada akhirnya saya anggap sebagai keseruan yang harus dinikmati. Terkadang, saya harus menunggu kabar dari keluarga pasien dan bahkan saya menjadi lebih repot dari pada mereka. Tapi dengan demikian saya semakin memiliki empati bagi mereka. Terkadang, saya mendapat keluhan karena kurang cepat memberi respon. Saya semakin belajar sabar menghadapi 'orang panik' seperti mereka.

Beberapa kali, saya juga sempat bersitegang dengan 'relawan' lainnya yang pada akhirnya saya ketahui mereka adalah calo darah. Kok calo darah? Iya, mereka bekerja mencari pendonor darah, namun meminta imbalan nominal tertentu kepada pasien. Semakin langka darah yang dibutuhkan, semakin mereka memberi harga tinggi. Calo darah ini, sekalipun memang berjasa, namun saya pribadi menilai tindakan mereka kurang tepat meski mungkin ada yang memakluminya.

Bagi saya, urusan nyawa sesama adalah hal yang sangat jauh lebih penting dibandingkan dengan nilai nominal tertentu. Saya relawan yang tidak menerima imbalan. Bahkan untuk urusan 'amunisi' pulsa telepon, saya memang mengalokasikan anggaran dari kantong pribadi. Namanya juga relawan, sebisa mungkin memberi dengan maksimal baik dalam hal tenaga, pikiran, waktu, jika perlu juga soal dana. Tidak ada pamrih yang menjadi insentif bagi saya, selain daripada membagi kasih bagi sesama manusia. Saya teringat mba Silly dan banyak inspirator gerakan kemanusiaan lainnya, apa yang saya berikan tak sebanding dengan yang telah mereka kerjakan.

Saat saya menuangkan tulisan ini, saya sedang dalam perjalanan dari Jogja menuju Semarang. Berangkat pagi-pagi sekali dengan shuttle bus, dan turun di Java Mall beberapa menit selepas jam delapan. Seperti pada umumnya, mall baru beroperasi jam 9:00 atau malah jam 10:00. Saya menunggu sambil menikmati satu cangkir kopi di sebuah gerai makanan cepat saji. 120 kilometer jauhnya dari Jogja, saya diundang untuk menjadi perwakilan dari Blood For Life Indonesia dalam kegiatan donor darah serentak di 23 kota yang diselenggarakan oleh Tupperware Indonesia. 'A Drop for Hopes', itulah tajuk kegiatan tersebut. Kali ke-3 saya menghadiri undangan untuk acara yang sama di tahun-tahun lalu.

[caption id="attachment_319496" align="aligncenter" width="560" caption="Donor Darah, Selamatkan Hidup Sesama (Sumber: Dokumen Pribadi)"][/caption]

Sabtu, 16 Agustus 2014 ini memang sedikit berat bagi saya. Salah satu anggota dari keluarga besar saya berpulang sore kemarin, dan hari ini adalah pemakamannya. Sedih, karena tidak bisa berkumpul dengan keluarga dan saling menguatkan. Namun tugas ini tetap harus saya jalani dengan baik.

Mungkin belum banyak dari kita yang sadar, bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita darah yang selalu baru. Suatu cairan yang sangat mahal harganya, Ia berikan kepada umatNya dengan cuma-cuma. Namun, masih banyak di antara kita yang menolak untuk mendonorkan darah. Kecuali, memang kondisi kita tidak memungkinkan secara medis maupun sebab-musabab lainnya. Saya tidak berhak mempersalahkan atau menghakimi, tugas saya hanya melakukan yang bisa saya lakukan. Jika itu bermanfaat, saya akan mengajak orang lain untuk berjalan di langkah yang sama dengan saya.

Sedih rasanya, jika mendengar kabar pasien sulit mendapat donor darah. Dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia, mungkin ada sekitar separuhnya yang memenuhi syarat donor. usia dewasa di atas 17 tahun, dan memiliki syarat-syarat yang ditetapkan bagi seorang pendonor. Sementara, PMI hanya menargetkan 4 juta kantong darah per tahun. Jika seseorang aktif donor, maka ia bisa memberikan darahnya 3 bulan sekali. Artinya, setahun bisa memberikan 3 hingga 4 kantong darah. Indonesia hanya perlu 1,5 - 2 juta donor yang aktif untuk bisa memenuhi kebutuhan pasokan darah. Itu asumsi dari hitungan kotor di kepala saya. Namun, realisasinya PMI masih sering mengalami kekurangan stok darah.

Pemikiran dan perhitungan seperti itu, dengan hasil realisasi yang belum memenuhi kalkulasi, membuat saya, teman-teman Blood For Life Indonesia, dan juga ribuan relawan yang tergabung di komunitas lainnya sadar bahwa kita harus mengatasi persoalan seperti ini. Menggalakkan kegiatan donor darah, edukasi, mengajak untuk menjadi Donor Darah Sukarela (DDS), dan banyak cara lainnya telah dilakukan. Harapannya hanya satu, kebutuhan darah terpenuhi, pasien terselamatkan jiwanya.

Saya hanya bagian yang sangat kecil dari gerakan ini. Tanpa inspirasi dari mba Silly, tanpa bergandengan tangan dengan semua relawan, saya bukanlah siapa-siapa. Saya, saat ini jadi relawan. Mungkin suatu hari nanti, saya ataupun anggota keluarga saya mendapat giliran menjadi pasien yang memerlukan transfusi darah. Akankah saya hanya terdiam.

Telepon saya kembali berdering. Ya, pria itu lagi yang berbicara di seberang sana. Kali ini kata-katanya lebih bersemangat. Kabar gembira (bukan karena ada ekstrak kulit manggis) karena sang isteri kondisinya telah sehat kembali. Saya memeroleh kepuasan batin sekali lagi untuk kali ini.

"Terima kasih Pak Joshua. Jadi saya harus membayar berapa?" tanya pria itu.

"Maaf, saya nggak jualan darah, Pak! Dengan membantu sesama, saya sudah bersuka cita. Tuhan sendiri yang akan membalasnya," jawab saya kepada pria itu dengan lembut dan hati lega.

Java Mall, Semarang. Suatu akhir pekan yang riuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun