Saya mengangkat telepon genggam sesaat setelah deringnya memecah keheningan malam di kamar tidur saya. Dari seberang, terdengar suara seorang pria dengan sedikit terbata-bata.
"Selamat malam, maaf mengganggu. Apa benar ini dengan Pak Joshua?" tuturnya membuka percakapan telepon kami.
Setelah saya mengiyakan, pria tersebut memperkenalkan diri, menerangkan asal-muasal mendapat nomer kontak saya, dan mengutarakan maksudnya menghubungi saya. Ia menceritakan bahwa isterinya mengalamihaemmorhagic post-partum atau bahasa awamnya adalah perdarahan pasca-melahirkan. Dari suara dan bahasa, saya menangkap pria tersebut sedang sangat panik.
Dengan berusaha sedikit menenangkannya, saya meminta pria itu untuk mengirimkan data kebutuhan darah untuk isterinya lengkap dengan golonganRhesusdan jumlah kantong yang diperlukan plus lokasi rawat. Tak lama berselang, saya menerima pesan singkat darinya.
Ya, beberapa tahun terakhir saya bergabung menjadi relawan untuk Blood for Life Indonesia, sebuah komunitas nirlaba daring yang bertujuan untuk menjadi jembatan penghubung antara pendonor dan penerima darah. Komunitas ini diprakarsai oleh Valencia Mieke Randa pada pertengahan Maret 2009 silam. Berawal dari aktivitasbloggingwanita yang populer di jagat maya dengan nama 'Silly', gerakan Blood For Life Indonesia memulai tugas mulia itu dari jalurmailing listyang awalnya hanya beranggotakan 44 alamat email.
Mendapat respon yang luar biasa dari rekan-rekan sesamablogger,Silly 'nekat' melanjutkan langkahnya melalui jalur media sosial Twitter dengan akun @Blood4LifeID. Dari jalur inilah saya mengenal kiprah komunitas pendonor darah tersebut, juga sosok Silly secara pribadi. Saya tergerak hati untuk berkenalan dengannya dan bersedia untuk menjadi relawan sebagai admin nasional akun Twitter Blood For Life Indonesia.
Sebagai salah satu admin, saya sering berkomunikasi dengan admin dan relawan lainnya. Tak hanya itu, saya pun juga berkenalan dengan banyakfollowers terutama pada saat menyebarkan informasi kebutuhan darah. Secara khusus, saya ditunjuk sebagai koordinator wilayah Yogyakarta. Mau tak mau, suka ataupun tidak, nomer telepon genggam pribadi saya tersebar luas di jagat maya. Tak apalah pikir saya,tohuntuk kegiatan sosial membantu sesama.
Sejak saat itu, bahkan hingga setelah saya cuti sebagai admin daring pun, telepon genggam saya sering dihubungi untuk urusan kebutuhan transfusi darah. Bukan hanya dari Jogja, bahkan dari Medan dan Makassar juga pernah saya beri bantuan. Sebuah aktivitas yang membuat sibuk dan panik, namun memberi kepuasan batin tersendiri.
Bukan hanya memberi perhatian soal kebutuhan darah yang sifatnya darurat, komunitas Blood For Life Indonesia juga memiliki jejaring di dunia nyata untuk melakukan aktivitas sosial, seperti bantuan kemanusiaan pada saat terjadi bencana, maupun juga bakti sosial kepada panti asuhan atau anak-anak yang mengalami derita sakit.
Dalam urusan darah, tak jarang saya menjumpai kesulitan-kesulitan yang pada akhirnya saya anggap sebagai keseruan yang harus dinikmati. Terkadang, saya harus menunggu kabar dari keluarga pasien dan bahkan saya menjadi lebih repot dari pada mereka. Tapi dengan demikian saya semakin memiliki empati bagi mereka. Terkadang, saya mendapat keluhan karena kurang cepat memberi respon. Saya semakin belajar sabar menghadapi 'orang panik' seperti mereka.
Beberapa kali, saya juga sempat bersitegang dengan 'relawan' lainnya yang pada akhirnya saya ketahui mereka adalah calo darah. Kok calo darah? Iya, mereka bekerja mencari pendonor darah, namun meminta imbalan nominal tertentu kepada pasien. Semakin langka darah yang dibutuhkan, semakin mereka memberi harga tinggi. Calo darah ini, sekalipun memang berjasa, namun saya pribadi menilai tindakan mereka kurang tepat meski mungkin ada yang memakluminya.