Artikel kali ini akan membahas tentang salah satu bagian dari UU 5/1999, yaitu Perjanjian yang dilarang. Dalam bab III, diatur 10 jenis perjanjian yang dilarang, yang meliputi:
Oligopoli (pasal 4)
Secara umum, Oligopoli adalah struktur pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menguasai suatu komoditas tertentu dan yang memiliki banyak permintaan. Â Acap kali, dalam suatu perjanjian antara para pelaku usaha, dikondisikan suatu perjanjian dimana para pelaku usaha dapat melakukan penguasaan produksi hingga distribusi yang dilakukan agar keuntungan yang didapat hanya mengalir pada perusahaan mereka semata. Dari segi pengaturan undang-undang 5 tahun 1999, Pasal 4 ini memiliki 2 ayat, yang berbunyi:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Penetapan Harga (pasal 5 sampai dengan pasal 8)
Pada intinya, pasal 5 sampai dengan pasal 8 menargetkan para pelaku usaha, dimana pasti memiliki competitor dengan pelaku usaha lainnya, agar para pihak tersebut tidak membuat kerja sama untuk menetapkan harga atas mutu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar bersangkutan yang sama. Selain itu, para pelaku usaha juga dilarang:
- Membuat perjanjian yang mengakibatkan perbedaan harga pembelian terhadap para pembeli.
- Membuat perjanjian pembelian dengan harga lebih murah daripada yang telah diperjanjikan.
Pembagian wilayah (pasal 9)
Pasal 9 berbunyi:
"pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Pada bagian penjelasan pasal 9, ada berbunyi:
"Perjanjian dapat bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa, menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa."
Pemboikotan (pasal 10)
Pada intinya, pemboikotan bicara tentang perbuatan menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik dalam tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Menghalangi juga termasuk menolak menjual produk pelaku usaha lain yang pada muaranya merugikan pelaku usaha pesaing maupun membuat pelaku usaha tersebut membatasi transaksi baik, dalam menjual maupun membeli komoditas dari pasar bersangkutan.
Perlu ditambahkan, bahwa pasal ini berlaku hanya bagi para pelaku usaha. Artinya, bila dilakukan oleh orang yang secara formal adalah bukan pelaku usaha, melainkan organisasi atau aktivis, maka bukan pasal ini yang berlaku.
Kartel (pasal 11)
Berdasarkan KBBI, Kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu. Â Pasal 11 UU 5 ayat 1999 sendiri menegaskan bahwa kartel dilarang, dengan bunyi:
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Trust (pasal 12)
Pasal 12 ini berbunyi:
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Oligopsoni (pasal 13)
Oligopsoni pada intinya bicara tentang struktur pasar dengan sedikit pembeli. Dalam hal ini, perihal komoditas tersebut bersifat tertutup hingga barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada pembeli jarang memiliki informasi yang utuh. Hal ini menyebabkan banyak penjual membuat kesepakatan untuk mengendalikan harga komoditas tersebut. dan perbuatan tersebut dilarang.
Integrasi Vertikal (pasal 14)
Pasal 14 berbunyi:
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat."
Perjanjian tertutup (pasal 15)
Pada esensinya, perjanjian tertutup yang dimaksud disini merujuk pada bentuk perjanjian yang tidak seimbang dengan cara memuat persyaratan yang meliputi:
- Hanya memasok ke pihak partner saja;
- Harus membeli barang dari pihak partner;
- Kesepakatan harga tertentu
- Tidak membeli komoditas dari pihak pesaing.
Hal ini terlarang karena bertentangan dengan demokrasi ekonomi yang memiliki corak mirip dengan pasar bebas, walaupun tidak penuh karena TAP MPR dan UU 5/1999 mensyaratkan bahwa negara juga memiliki campur tangan tertentu dalam beberapa hal, terutama ketika negara berada di posisi sebagai pelaku usaha itu sendiri.
Perjanjian dengan pihak luar negeri (pasal 16).
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Secara teoretis, keseluruhan larangan perjanjian memiliki dua bentuk, yaitu per se illegal dan rule of reason, namun tidak penulis tuangkan karena bukan bagian penulis untuk menjelaskan teori-teori ataupun pendapat-pendapat orang yang juga penulis tidak kenal.
Demikianlah sedikit tentang Hukum Persaingan Usaha bagian 4, tentang Perjanjian yang Dilarang. Artikel ini tidak sempurna selain karena kekurangan penulis, juga karena menekankan kesederhanaan.
Karena, apabila diperdalam, pada prakteknya di kehidupan sehari-hari pelanggaran pasal seperti ini sangat mudah ditemukan. Misal warung kaki lima satu wilayah tiba-tiba menaikkan harga kepada seseorang hanya karena orang itu terlihat bodoh, atau mungkin perantau di tempat asing, atau mungkin tampak mewah, dan sebagainya. pertanyaannya, apa mereka melanggar pasal-pasal ini?
Selain pertanyaan tersebut, masih sangat banyak pertanyaan yang dapat diajukan terkait pasal-pasal perjanjian yang dilarang. misalnya saja, bila perjanjian bersifat perdata, dimana posisi negara dalam melakukan penegakan hukum? Atau, sejauh mana negara dapat mengintervensi perbuatan-perbuatan demikian? Atau, apabila ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar, namun tetap mencapai tujuan yaitu demokrasi ekonomi yang merata di masyarakat, apa pelaku usaha itu tetap dikenakan sanksi? Dan masih banyak lagi.
Namun kembali lagi, eksposisi daripada yang diluar dari undang-undang adalah pendapat, tidak kurang dan tidak lebih. Sementara, mengungkapkan pendapat bukan bagian penulis, setidaknya bukan di artikel di kompasiana. Akhir kata, ini bukan artikel sosial-budaya, semoga berkenan dan tetap semangat.
acuan:
UU 5/1999
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H