Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Baru: Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama Atau Kepercayaan

26 Juni 2024   11:03 Diperbarui: 26 Juni 2024   11:07 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini akan membahas Bab VII yaitu tindak pidana terhadap agama, kepercayaan, dan kehidupan beragama atau kepercayaan. Diatur dari pasal 300 sampai dengan pasal 305, Bab ini memiliki dua bagian. Sedikit latar belakang, tindak pidana ini merupakan tindak pidana yang cukup baru, dikarenakan pada KUHP lama, tindak pidana ini masih termasuk dalam tindak pidana ketertiban umum, lebih tepatnya pada pasal 156.

Pada lampiran naskah akademik, dituangkan alasan mengapa tindak pidana terhadap agama kemudian berdiri sendiri dan tidak menjadi bagian dari ketertiban umum. Secara sederhana, delik ini diadaptasi delik "blasphemy" di Inggris guna melindungi agama Kristen yang nilai-nilai kehidupannya menyerap dalam masyarakat umum pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, delik tersebut ditentang disana, sebaliknya berkembang di Indonesia di bawah terma 'Penistaan Agama' yang juga menimbulkan pro kontra dan tidak akan penulis bahas. with that said, berikut adalah bagian-bagian dari tindak pidana terhadap agama, kepercayaan, dan kehidupan beragama atau kepercayaan.

Bagian Kesatu: Tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan

Bagian ini diatur dari pasal 300 sampai dengan pasal 302. Pasal 300 merupakan pasal terutama pada delik ini, yang berbunyi:

"setiap orang di muka umum yang:

a. Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

b. Menyatakan kebencian atau permusuhan; atau

c. Menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi,

Terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Pada bagian penjelasan pasal 300, ada tertuang:

"setiap perbuatan atau pernyataan tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif, terbatas untuk kalangan sendiri, atau bersifat ilmiah mengenai sesuatu agama atau kepercayaan yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata atau susunan kalimat yang bersifat permusuhan, pernyataan kebencian atau permusuhan, atau hasutan untuk melakukan permusuhan, kekerasan, diskriminasi atau penodaan bukan merupakan Tindak Pidana menurut pasal ini."

Adapun pasal 302 ayat 1 sendiri berbunyi:

"setiap orang yang di muka umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

Dan ayat 2 berbunyi:

"Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Bagian Kedua: Tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan kepercayaan dan sarana ibadah

Diatur pada pasal 303 sampai dengan pasal 305, pasal 303 sendiri memiliki 3 ayat. Ayat pertama bicara tentang orang yang membuat gaduh dekat tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, yang lebih konkretnya berbunyi:

"Setiap Orang yang membuat gaduh di dekat tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I."

"Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

Dalam penjelasan pasal ini, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan "pertemuan keagamaan" adalah kegiatan yang berhubungan dengan agama atau kepercayaan.

"Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan orarng yang sedang melaksanakan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Dalam penjelasannya, ada tertuang bahwa yang dimaksud dengan "upacara keagamaan"adalah upacara yang berhubungan dengan agama atau kepercayaan.

Kemudian, pasal 304 secara sederhana bicara tentang orang yang melakukan penghinaan terhadap agama tertentu, dapat dipidana. Adapun rumusan lengkapnya berbunyi:

"Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

Penjelasan pasal 304 berbunyi:

"Seseorang atau umat yang sedang menjalankan atau memimpin ibadah atau seorang petugas agama atau kepercayaan yang sedang melakukan tugasnya harus dihormati. Karena itu, perbuatan mengejek atau mengolok-olok hal tersebut patut dipidana karena melanggar asas hidup bermasyarakat yang menghormati kebebasan memeluk agama atau kepercayaan dan kebebasan dalam menjalankan ibadah, di samping dapat menimbulkan benturan dalam dan di antara kelompok masyarakat."

Kemudian, pasal 305 pada intinya bicara tentang perlindungan terhadap tempat beribadah. Adapun rumusan pasal 305 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi:

"Setiap Orang yang menodai bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."

"Setiap Orang yang secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."

Adapun penjelasan pasal ini berbunyi:

"Dalam ketentuan ini, merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelaku patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan dengan melawan hukum."

Penulis sengaja menebalkan dua kalimat terakhir, karena hal ini menunjukkan suasana hati perumus KUHP baru, sehingga terjadi penekanan bahwa harus ada ketentuan didasarkan "dengan melawan hukum". Artinya, apabila perusakan dan pembakaran rumah ibadah tersebut diperbolehkan oleh dan berdasarkan hukum, baik hukum tertulis, hukum tidak tertulis, atau mungkin hukum adat, maka secara otomatis tindakan tersebut mendapat justifikasi untuk dilakukan.

Pertanyaannya adalah, apa rumusan ini dapat menghentikan isu yang dari dulu tidak pernah hilang di Indonesia ini, yaitu isu SARA atas nama agama? Penulis serahkan jawabannya pada pembaca. Terlebih, apabila judul dari delik ini dimaknai, dapat muncul pertanyaan krusial yang mungkin dihindari oleh banyak orang, seperti misalnya, mengapa agama atau kepercayaan harus dilindungi, sehingga rumusannya harus dipisahkan dari kehidupan beragama atau kepercayaan? hal ini menjadi menarik, karena jelas kehidupan beragama atau kehidupan kepercayaan yang dilindungi adalah Orangnya, sementara ada ambiguitas atas perlindungan terhadap agama atau kepercayaan, karena yang dilindungi pada hakikatnya bukan Orang, melainkan ajaran dogmatis.. atau bukan? Sekali lagi, penulis serahkan jawabannya pada pembaca.

Demikianlah sedikit tentang tindak pidana Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, Dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan. Artikel ini tidak sempurna, selain karena kekurangan penulis, juga untuk menekankan kesederhanaan. Ada banyak hal yang dapat dikaji berdasarkan tindak pidana terhadap agama, kepercayaan, serta kehidupan beragama atau kepercayaan, mengingat rumusannya sendiri menggunakan kata 'kepercayaan' yang memperluas makna adikodrati dan tidak serta merta merujuk pada 6 agama formal yang diakui di Indonesia.

Namun, setidaknya artikel ini sudah bisa memberikan gambaran bahwa secara formal dan perkataan dalam peraturan perundangan, semua orang di Indonesia terlindungi dalam menjalankan kehidupan beragama serta memeluk agama atau kepercayaan. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini bermuatan opini pribadi penulis dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Acuan:

KUHPB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun