Artikel ini akan mengulas tentang tindak pidana terhadap proses peradilan. Terdapat 4 bagian dengan beberapa pasal dari pasal 278 sampai dengan pasal 299, yang apabila dijabarkan meliputi:
Bagian kesatu: Penyesatan Proses Peradilan (pasal 278)
Bagian ini hanya terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 278 yang pada intinya merujuk pada perbuatan penyesatan dengan pidana maksimal 6 tahun penjara atau denda maksimal 500 juta rupiah. Adapun perbuatan yang dimaksudkan terhadap setiap orang sekurangnya meliputi:
- Memalsukan, membuat, atau mengajukan bukti palsu untuk dipergunakan dalam proses peradilan;
- Mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan;
- Mengubah, merusak, menyembunyikan, menghilangkan, atau menghancurkan alat bukti;
- Mengubah, merusak, menyembunyikan, menghilangkan, menghancurkan barang, alat, atau sarana untuk melakukan tindak pidana atau menjadi objek tindak pidana, atau yang dapat menjadi bukti fisik, atau menarik benda tersebut dari pemeriksaan pihak berkewenangan;
- Menampilkan diri seolah-olah sebagai pelaku tindak pidana;
Beban pidana dapat ditambahkan apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud merubah hasil putusan, semisal yang seharusnya bersalah jadi tidak bersalah, yang seharusnya tidak bersalah jadi bersalah, atau menjadi dikenakan pasal yang lebih ringan atau lebih berat dari yang seharusnya.
Bagian kedua: Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan (pasal 279-292)
Melihat dari banyaknya rumusan yang diberikan dalam bagian ini (ada 13 pasal dengan substansinya), maka ada baiknya disederhanakan. Pertama, rumusan utama delik ditujukan pada setiap orang, baik individu maupun kelompok orang. Terkait dengan orang, pasal 286 kemudian memberikan kekhususan tentang orang, yaitu orang yang telah dinyatakan pailit, tidak mampu membayar hutang, menjadi pasangan orang yang pailit, memiliki kedudukan (pengurus atau komisaris) Persekutuan perdata yang telah dinyatakan pailit.
Apabila jenis-jenis orang tersebut sudah dipanggil secara sah, namun tidak mau memberikan keterangan yang diminta, atau memberikan keterangan tidak benar, atau tidak hadir untuk memberikan keterangan, maka orang tersebut dipidana penjara atau didenda. Kemudian, delik dibagi menjadi beberapa jenis situasi, meliputi:
1. ketika proses persidangan berlangsung, termasuk juga proses diluar persidangan seperti pemeriksaan jenazah untuk kepentingan persidangan;
2. Bila perbuatan dilakukan di dekat ruang persidangan.
Secara konkret, pasal 280 mengatakan perbuatan yang dilarang saat sidang pengadilan, yang meliputi:
- Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
- Bersikap tidak hormat terhadap apparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim;
- Menyerang integritas apparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan;
- Tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses persidangan secara langsung.
Pada penjelasan pasal 280, dikatakan bahwa yang dimaksud "tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk proses peradilan" adalah melakukan hal-hal untuk menentang perintah tersebut dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Kemudian yang dimaksud dengan "bersikap tidak hormat" adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat apparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan, atau tidak menaati tata tertib pengadilan.
Lalu, yang dimaksud "menyerang integritas" termasuk menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur, dan yang dimaksud "mempublikasikan proses persidangan secara langsung" yaitu live streaming, dengan tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya setelah sidang pengadilan.
Selain itu, perbuatan lain yang dapat dikenakan pidana adalah perbuatan yang pada intinya meliputi:
- dapat mempengaruhi pejabat yang melaksanakan tugas;
- menyembunyikan atau melarikan terdakwa;
- melepaskan atau memberi pertolongan agar seseorang lolos dari penahanan;
- bila tidak datang dipanggil jadi saksi, ahli, atau juru bahasa;
- tidak datang tanpa alasan yang sah;
- tidak memenuhi perintah pejabat dalam proses peradilan, terutama untuk menyerahkan surat yang dianggap palsu atau dipalsukan untuk dibandingkan dengan surat lain;
- secara melawan hukum menjual, menyewakan, memiliki, menggadaikan, atau menggunakan benda sitaan;
- orang yang memberikan sumpah palsu dalam proses pengadilan, baik lisan dan tulisan;
- setiap orang yang membocorkan identitas yang dirahasiakan;
Bagian ketiga: Perusakan Gedung, Ruang Sidang, dan Alat Perlengkapan Sidang Pengadilan (pasal 293)
Diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 293, inti dari delik ini tertuang pada pasal 293 ayat 1 yang berbunyi:
"setiap orang yang merusak gedung pengadilan, ruang sidang pengadilan, atau alat perlengkapan sidang pengadilan yang mengakibatkan hakim tidak dapat menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
Bagian keempat: Perlindungan Saksi dan Korban (pasal 294-299).
Diatur dalam 5 pasal, perlindungan saksi dan korban pada intinya adalah tindak pidana yang diberikan terhadap pihak yang ingin mencederai saksi dan korban dalam proses persidangan dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan. Selain pidana yang terjadi dengan akibat langsung terhadap korban atau aparat yang mungkin dapat terkena kekerasan atau ancaman kekerasan, pidana juga diberikan terhadap orang yang membuat korban mengalami 'penderitaan' dalam hidupnya.
Hal tersebut dapat ditimbang dari pasal 297 yang berbunyi:
"Setiap Orang yang menyebabkan saksi, korban, dan/atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena saksi dan/atau korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V."
Kemudian, pasal 298 berbunyi:
"setiap pejabat yang tidak memenuhi hak saksi dan/atau korban padahal saksi dan/atau korban telah memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Hal ini menjadi penting, karena dengan demikian, secara hukum dan bukan hanya perihal dalam kode etik saja, pejabat yang kemudian tidak memberikan hak para saksi dan/atau korban dapat dipidanakan.
Demikianlah sedikit tentang tindak pidana terhadap proses peradilan. Artikel ini tidak sempurna selain karena kekurangan penulis, tetapi juga menekankan kesederhanaan. Terutama pada bagian kedua yang penulis rangkum sedemikian rupa sehingga ada banyak hal yang tidak dapat dituangkan secara konkret. Namun setidaknya, artikel ini dapat memberikan gambaran tindakan apa saja yang dikatakan sebagai tindak pidana dalam perihal proses peradilan. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini bermuatan opini pribadi penulis dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan:
KUHPB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H