Artikel kali ini membahwa tentang tindak pidana terhadap penyelenggaraan rapat lembaga legislatif dan badan pemerintah. Tindak pidana ini diatur dalam pasal 232 sampai dengan pasal 233. Adapun pasal 232 berbunyi:
"Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan membubarkan rapat lembaga legislatif dan/atau badan pemerintah atau memaksa lembaga dan/atau badan tersebut agar mengambil atau tidak mengambil suatu keputusan, atau mengusir pimpinan atau anggota rapat tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun."
Pasal 232 memiliki penjelasan yang berbunyi:
Pasal 232 memiliki penjelasan yang berbunyi:
"Yang dimaksud dengan "Kekerasan atau Ancaman Kekerasan" tidak hanya mengancam terhadap orang, tetapi juga terhadap barang, misalnya, dengan cara membakar gedung tempat rapat."
Apabila dikaitkan dengan Pengertian Istilah yang tertuang pada Bab V KUHPB, maka siapapun, baik orang, kelompok, atau badan hukum, melakukan pembubaran rapat lembaga legislatif dan/atau badan pemerintah atau memaksa untuk mengambil atau tidak mengambil keputusan, atau mengusir pimpinan atau anggota rapat, dipidana penjara.
Lalu, penggunaan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dimaksud disini berangkat dari pasal 156 atau pasal 157. Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Sementara Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.
Kemudian, pasal ini juga tidak eksklusif hanya pada lembaga legislatif, melainkan juga badan pemerintah. Badan pemerintah berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU 30 tahun 2014 adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Dalam hal ini, Badan pemerintah dapat dipisahkan maupun dipersamakan dengan pejabat pemerintahan karena rumusan pada pasal tersebut menggunakan dan/atau.
Dan terakhir, tindakan yang menjadi perbuatan pidana terbagi menjadi dua, yaitu membubarkan rapat, atau memaksa mengambil atau tidak mengambil keputusan.Â
Dan menjadi menarik, karena pidana yang dijatuhkan hanyalah pidana penjara. Dari hal ini, terdapat pertanyaan sederhana, apa teriakan 'bubarkan DPR' ketika demonstrasi sambil membakar ban dan berteriak serta berusaha merusak pagar gedung DPR, adalah perbuatan yang dapat dikenakan pidana ini? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Kemudian, pasal 233 berbunyi:
"Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan merintangi pimpinan atau anggota lembaga legislatif dan/atau badan pemerintah untuk menghadiri rapat lembaga dan/atau badan tersebut, atau untuk menjalankan kewajiban dengan bebas dan tidak terganggu dalam rapat lembaga dan/atau badan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."
Pasal 233 memiliki penjelasan yang berbunyi:
"yang dimaksud dengan "merintangi" adalah mencegah untuk menghindari rapat.
Bila ditambahkan dengan eksposisi pada pasal 232, maka pasal yang tertuang tersebut sudah cukup jelas. Kecuali bahwa ada alternatif pidana, yaitu pidana denda dengan besar maksimal 50 juta rupiah.
Keterkaitan dengan KUHP Lama
Sebagaimana seperti yang sudah dituangkan sebelumnya, KUHPB baru merupakan bentuk pembaharuan KUHP lama, sehingga tidak mungkin tidak memiliki keterkaitan, begitupun dalam tindak pidana ini. Dalam KUHP Lama, tindak pidana terhadap penyelenggaraan rapat lembaga legislatif dan badan pemerintah dikenal juga dengan kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan, yang diatur dari pasal 146 sampai dengan pasal 153, yang mana hanya pasal 146 dan 147 yang dimutakirkan dan diadaptasi pada delik ini.
Naskah Akademik
Adapun tujuan dari adanya delik ini dapat diperhatikan dalam Naskah Akademik RUU KUHP yang dapat diakses lewat BPHN. Pada halaman 219, diterangkan secara rinci bahwa tindak pidana ini harus diadakan untuk memberikan jaminan berfungsinya badan-badan yang mewujudkan kedaulatan rakyat, dengan harapan perilaku politik masyarakat Indonesia menjadi lebih berkualitas.
Pada pangkalnya, dikatakan bahwa badan yang dimaksud sebagai perwakilan rakyat adalah MPR, DPR, dan DPRD. Naskah yang sama juga memberikan acuan bahwa pada semangatnya, delik ini dipergunakan untuk spektrum pemilihan umum sekaligus menjaga demokrasi tetap cair dan dinamis dalam ranah masyarakat, yang didasarkan oleh UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPR.
Rasio legis untuk menciptakan pemilihan umum yang 'sehat' tersebut berangkat dari realita bahwa perilaku pemaksaan dan penyuapan, perbuatan curang, atau perbuatan lain yang mengakibatkan suara seseorang dalam pemilihan tidak berharga merupakan tindak pidana, dimana kemudian tindak pidana terhadap penyelenggaraan rapat lembaga legislatif dan badan pemerintah ini dikategorikan sebagai delik politik, sebagaimana tersirat pada tabel naskah akademik itu sendiri.
Demikianlah sedikit tentang tindak pidana terhadap penyelenggaraan rapat lembaga legislative dan badan pemerintah. Artikel ini tidak sempurna selain karena kekurangan penulis dalam mencari bahan dan keterbatasan teknis, juga karena kesederhanaan. Tidak banyak yang dapat penulis katakan terhadap delik ini, karena kekurangan penulis dalam mencari contoh kasus, mengingat dalam situs yurisprudensi MA, rumusan kamar terkait kasus ini disatukan menjadi satu kamar sehingga akan memakan waktu yang tidak penulis miliki.
Namun, setidaknya artikel ini dapat menjadi acuan bagi orang-orang yang mungkin ingin protes dan berniat menghentikan jalannya rapat pemerintahan, agar lebih mawas diri dalam mengajukan tuntutan-tuntutan tertentu dalam kehidupan bernegara. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini bermuatan opini pribadi penulis dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan:
KUHP Baru, KUHP lama, Naskah Akademik RUU KUHP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H