Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukum Pidana Baru: Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

19 Mei 2024   21:28 Diperbarui: 19 Mei 2024   21:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini, penulis kira penulis semakin mengerti nasib orang-orang yang punya hobi membaca santai tentang apapun. Mereka punya kebiasaan membawa 'perpustakaan' mereka di ponsel atau menggunakan 'lensa ajaib' untuk membaca situasi dan kondisi di sekitar mereka, seakan ruang sosial merupakan laboratorium raksasa hingga terkadang otak mereka seakan lepas dari kepala mereka. Dan dalam keadaan demikian, mereka dapat menikmati kesendirian di tengah pikuk jenaka, bahkan dapat terusik tanpa alasan jelas.

Akibatnya, orang-orang demikian dilabel 'sombong', 'angkuh', 'aneh', 'gila' dan sebagainya, yang dapat bermuara pada pembunuhan karakter secara diam-diam, yang juga tidak dapat diatasi dengan hukum pidana, setidaknya terkait dengan orang biasa saja. Siapa juga polisi yang akan mengurus kasus, misalnya kasus berbentuk gossip ibu-ibu terhadap janda yang tinggal di lingkungan mereka?

Dan menjadi suatu pertanyaan sederhana, mengapa gossip, atau gestur tubuh yang dapat bermuara pada pembunuhan karakter seseorang, sangat sulit dirumuskan sebagai tindak pidana percobaan penghinaan, bila memang bisa diproses demikian? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.

Adapun kali ini pembahasan terkait dengan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Tindak pidana diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 35, sementara Pertanggungjawaban Pidana diatur dalam pasal 36 sampai dengan pasal 50.

Tindak Pidana.

Secara definitif, tindak pidana didefinisikan dalam pasal 12 ayat 1 KUHPB yang berbunyi:

"Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan."

Perbuatan demikian dikatakan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, kecuali ada alasan pembenar. Dalam bagian tindak pidana ini, terdapat beberapa klasifikasi koridor, yang meliputi:

Pemufakatan Jahat;

Secara sederhana, pemufakatan jahat adalah pemufakatan untuk melakukan tindak pidana, yang dilakukan oleh lebih dari 2 orang. Seseorang dikatakan tidak melakukan pemufakatan jahat apabila orang itu menarik diri dari kesepakatan, atau melakukan tindakan patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Persiapan;

Secara sederhana, persiapan yang dimaksud merupakan perbuatan untuk mendapatkan, menyiapkan alat, mengumpulkan informasi, menyusun perencanaan tindakan, melakukan tindakan serupa untuk menciptakan kondisi untuk dilakukan suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana.

Percobaan;

Secara sederhana, percobaan tindak pidana dimaksudkan bahwa suatu tindak pidana dimulai dengan intensi/keinginan melakukan tindak pidana, yang kemudian dalam perbuatannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.

Penyertaan;

Penyertaan yang dimaksud merujuk pada bahwa tindak pidana tersebut dilakukan sendiri, bersama-sama, menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan perantaraan alat, turut serta melakukan tindakan.

Penyertaan yang dimaksud juga merujuk bahwa subjek tersebut melakukan tindak pidana apabila menjanjikan atau memberikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Dalam hal penyertaan, juga terdapat pembantu tindak pidana yang dikatakan bahwa setiap orang dapat dianggap sebagai pembantu tindak pidana bila memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana, atau memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan.

Pengulangan;

Pengulangan tindak pidana merujuk pada subjek hukum yang melakukan tindak pidana yang sama, lebih dari sekali. Persyaratan utama pengulangan tindak pidana ini terjadi adalah bahwa pelaku pernah melakukan tindak pidana tertentu, dan melakukannya lagi dalam kurun waktu lima tahun, atau kewajiban menjalani pidana tertentu belum daluarsa.

Tindak pidana aduan;

Pada intinya, merupakan tindakan yang menjadi tindak pidana ketika ada aduan. Aduan tersebut harus ditulis tegas dalam undang-undang bukan peraturan perundangan. Aduan dilakukan dengan cara pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut, dengan jangka waktu tertentu dan dapat ditarik kembali.

Kesemua koridor tersebut dapat memiliki alasan pembenar. Adapun alasan pembenar ini terjadi apabila perbuatan tersebut tidak melakukan perbuatan yang tidak dilarang, perbuatan tersebut dilarang namun dilakukan karena perintah jabatan dari pejabat yang berwenang, dilakukan dalam keadaan darurat, dalam rangka membela diri, atau tidak mengandung sifat melawan hukum.

Terkait perbuatan pidana yang tidak dikenakan akibat pidana, pasal 32 penjelasan KUHPB menerangkan bahwa orang yang melakukan perintah jabatan untuk melakukan perbuatan pidana tidak dikenakan pidana, apabila ada unsur hubungan hukum publik yang memberikan perintah dan yang melaksanakan perintah, serta tidak berlaku dalam hal yang bersifat keperdataan. Misal, ketika terjadi huru-hara lalu penegak hukum menggunakan water cannon untuk membuat situasi lebih tenang, dan sebagainya.

Sementara keadaan darurat yang dimaksud dalam alasan pembenar, semisal dalam peristiwa kapal karam, terjadi perebutan pelampung dan menyebabkan satu orang meninggal, tindakan dokter untuk melakukan aborsi demi nyawa sang ibu, dan sebagainya.

Kemudian terkait pembelaan terpaksa, alasan pembenar harus memiliki 4 syarat yang meliputi:

  • Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum yang bersifat seketika
  • Pembelaan dilakukan karena tidak ada jalan lain;
  • Dilakukan terhadap kepentingan yang ditentukan secara limitatif, yaitu kepentingan hukum diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda.
  • Keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dan serangan yang diterima.

Pertanggungjawaban Pidana

Pada intinya pertanggungjawaban pidana merupakan kapabilitas subjek hukum untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pertanggungjawaban ini dibagi dua jenis, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Kemudian, dalam hal pertanggungjawaban pidana, terdapat beberapa hal yang dapat melepaskan pelaku pidana dari akibat yang seharusnya diterimanya. Hal-hal tersebut meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Mengingat alasan pembenar sudah dituangkan, maka kali ini yang diulas santai adalah alasan pemaaf.

Alasan Pemaaf

Secara sederhana, alasan pemaaf dapat diberikan terhadap subjek di bawah ketentuan umur, serta apabila kondisi dapat diberikan alasan pemaaf terpenuhi, yang tertuang pada pasal 42, yang pada intinya berbunyi dipaksa kekuatan yang tidak dapat ditahan serta dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. Beberapa alasan pemaaf lain juga tertuang pada pasal 43 sampai pasal 44.

Adapun pertanggungjawaban pidana bukan hanya ditujukan pada subek orang perseorangan, melainkan juga pertanggungjawaban korporasi.

Berdasarkan pasal 45 ayat 2, korporasi yang dimaksud merujuk pada badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, Yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, badan usaha yang berbentuk firma, Persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal yang terpenting dari pertanggungjawaban korporasi diatur dalam pasal 46, yang pada intinya mengincar orang perserorangan atau kelompok yang menggunakan korporasi tertentu untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan jabatan fungsionalnya. Adapun jabatan fungsional adalah orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, mengambil keputusan, dan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut, termasuk yang berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana, atau membantu Tindak Pidana tersebut.

Orang perseorangan atau kelompok tersebut baru dapat dimintakan pertanggungjawabkan apabila:

  • Masih termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi;
  • Menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
  • Diterima sebagai kebijakan korporasi;
  • Korporasi tidak melakukan langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan.
  • Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.

Demikianlah sedikit tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam KUHPB. Artikel ini tidak sempurna selain karena kekurangan penulis, juga karena menekankan kesederhanaan. Terutama karena, pratik dalam pidana mungkin dapat sangat berbeda dengan teori-teori yang dijabarkan dalam buku maupun dalam undang-undang itu sendiri. Namun, setidaknya, artikel ini dapat memberikan gambaran sederhana tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana dirumuskan, serta apa yang dimaksud dengan tindak pidana. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.


Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Acuan:

KUHPB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun