Pemantauan dan Peninjauan Ulang terhadap undang-undang dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah, dilakukan oleh alat kelengkapan DPR. Pemantauan dan Peninjauan Ulang ini dilakukan dengan beberapa tahap, meliputi:
a. Tahap perencanaan;
b. Tahap pelaksanaan;
c. Tahap tindak lanjut.
Dalam konteks DPD yang melakukan pemantauan dan peninjauan ulang tersebut, maka spektrum kewenangan DPD seyogianya yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan sumber daya ekonomi, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pada perubahan kedua, semakin dikonkretisasi bahwa Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-undang oleh DPD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang khusus menangani bidang perencanaan undang-undang, serta dikoordinasikan oleh Menteri atau kepala lembaga Dirjen Peraturan Perundangan dengan melibatkan Menteri atau kepala lembaga yang terkait undang-undang tersebut.
Yang menarik juga, adalah kewenangan DPD juga dibatasi oleh ketentuan pasal 22D UUD NRI 1945. Pasal 22D UUD NRI 1945 amandemen keempat juga memasukkan hal yang berkaitan dengan sektor pajak, pendidikan, dan agama. Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan bidang yang lain? apa DPD tidak punya wewenang untuk memantau dan menijau ulang, misalnya, perda bersifat ekonomi berstruktur agama seperti perda syariah? Atau yang keterkaitannya buram, seperti misalnya perda pengelolaan lingkungan hidup? dengan Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pada pasal 97 kemudian dikatakan bahwa pada intinya teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU 12/2011 berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Kepres, Keputusan Pimpinan MPR, DPR, DPD, Keputusan Ketua MA, MK, Komisi Yudisial, Keputusan Kepala BPK, Keputusan Gubernur BI, Keputusan Menteri, Kepala Badan, Kepala Lembaga, atau Ketua Komisi yang setingkat.
Juga terhadap Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Secara sederhana, seluruh spektrum organ dalam tata negara di Indonesia baik di bidang eksekutif, yudikatif, serta legislatif menggunakan tehnik pembentukan peraturan perundangan ini.
Pada UU 13/2022 perubahan kedua UU P3, disisipkan pasal 97A, 97B, 97C, dan 97D. Pasal 97A bicara tentang metode omnibus. Pasal 97B bicara tentang peraturan perundangan dapat dilakukan secara elektronik, pembubuhan tanda tangan elektronik yang harus tersertifikasi. Tanda tangan elektronik ini memiliki kekuatan hukum setara dengan yang ditandatangani secara nonelektronik. Tersertifikasi yang dimaksud adalah tanda tangan yang memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam ITE.