Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembentukan Peraturan Perundangan: Epilog

22 April 2024   14:02 Diperbarui: 22 April 2024   14:09 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada artikel ini, penulis menggabungkan bagian yang meliputi Partisipasi Masyarakat, Ketentuan Lain-lain, Ketentuan penutup, dan metode Omnibus. Langsung saja, Partisipasi Masyarakat diatur dalam pasal 96 UU 12/2011 yang pada ayat 1 berbunyi:

"Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan."

Kemudian, dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, masyarakat, yang terdiri dari individu atau kelompok yang punya kepentingan, meliputi organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat, dapat melakukan melalui beberapa koridor, meliputi:

a. Rapat kerja pendapat umum;

b. Kunjungan kerja;

c. Sosialisasi;

d. Seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Pada UU 15/2019, partisipasi masyarakat ini kemudian dikonkretitasi, dimana masyarakat dapat memberikan masukan secara luring(luar jaringan/langsung) atau daring(dalam jaringan/online). Masyarakat tersebut juga merupakan pihak yang terdampak langsung atas bunyi dari peraturan perundangan.

Frasa sosialisi juga kemudian dirubah menjadi "kegiatan konsultasi publik lainnya", yang mana hasil konsultasi publik tersebut menjadi bahan pertimbangan perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundangan. Kemudian ditambahkan juga tentang penyandang disabilitas sebagai pihak yang boleh memberikan masukan terhadap peraturan perundangan tersebut.

PEMANTAUAN DAN PENINJAUAN ULANG.

Pemantauan dan Peninjauan Ulang Terhadap Undang-Undang disisipkan dalam UU 15/2019 Perubahan Pertama P3 dimana dituangkan pada bagian pasal 95, menjadi pasal 95A dan pasal 95B, yang kemudian dirubah lagi pada UU 13/2022 Perubahan Kedua P3.

Pemantauan dan Peninjauan Ulang terhadap undang-undang dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah, dilakukan oleh alat kelengkapan DPR. Pemantauan dan Peninjauan Ulang ini dilakukan dengan beberapa tahap, meliputi:

a. Tahap perencanaan;

b. Tahap pelaksanaan;

c. Tahap tindak lanjut.

Dalam konteks DPD yang melakukan pemantauan dan peninjauan ulang tersebut, maka spektrum kewenangan DPD seyogianya yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan sumber daya ekonomi, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pada perubahan kedua, semakin dikonkretisasi bahwa Pemantauan dan Peninjauan terhadap Undang-undang oleh DPD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan yang khusus menangani bidang perencanaan undang-undang, serta dikoordinasikan oleh Menteri atau kepala lembaga Dirjen Peraturan Perundangan dengan melibatkan Menteri atau kepala lembaga yang terkait undang-undang tersebut.

Yang menarik juga, adalah kewenangan DPD juga dibatasi oleh ketentuan pasal 22D UUD NRI 1945. Pasal 22D UUD NRI 1945 amandemen keempat juga memasukkan hal yang berkaitan dengan sektor pajak, pendidikan, dan agama. Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan bidang yang lain? apa DPD tidak punya wewenang untuk memantau dan menijau ulang, misalnya, perda bersifat ekonomi berstruktur agama seperti perda syariah? Atau yang keterkaitannya buram, seperti misalnya perda pengelolaan lingkungan hidup? dengan Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pada pasal 97 kemudian dikatakan bahwa pada intinya teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU 12/2011 berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Kepres, Keputusan Pimpinan MPR, DPR, DPD, Keputusan Ketua MA, MK, Komisi Yudisial, Keputusan Kepala BPK, Keputusan Gubernur BI, Keputusan Menteri, Kepala Badan, Kepala Lembaga, atau Ketua Komisi yang setingkat.

Juga terhadap Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Secara sederhana, seluruh spektrum organ dalam tata negara di Indonesia baik di bidang eksekutif, yudikatif, serta legislatif menggunakan tehnik pembentukan peraturan perundangan ini.

Pada UU 13/2022 perubahan kedua UU P3, disisipkan pasal 97A, 97B, 97C, dan 97D. Pasal 97A bicara tentang metode omnibus. Pasal 97B bicara tentang peraturan perundangan dapat dilakukan secara elektronik, pembubuhan tanda tangan elektronik yang harus tersertifikasi. Tanda tangan elektronik ini memiliki kekuatan hukum setara dengan yang ditandatangani secara nonelektronik. Tersertifikasi yang dimaksud adalah tanda tangan yang memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam ITE.

KETENTUAN PENUTUP.

Diatur dalam pasal 100 sampai dengan 104, pada intinya bicara tentang keberlakuan UU. UU 12/2011 ini mencabut UU 10 2004 yang merupakan predecessornya, dan mengatakan bahwa UU 12/2011 berlaku paling lama 1 tahun sejak diundangkan, yaitu pada tanggal 12 agustus 2011.

METODE OMNIBUS.

Metode ini baru dikenal dalam peraturan perudangan sejak UU 13/2022. Metode ini dikenal juga metode sapu jagat karena mengandung begitu banyak peraturan perundangan dari beragam sektor yang kemudian dijadikan satu peraturan perundangan (omni), contohnya UU Cipta Kerja.

Pada proses pembentukannya, metode omnibus tidak jauh berbeda dengan pembentukan UU, sehingga sudah diketahui peraturan perundangan tersebut merupakan bagian dari kamar 'omnibus' sejak dari awal perencanaannya. Judul dari peraturan omnibus secara sederhana harus menyangkut karakteristik umum yang diatur dalam suatu peraturan perundangan itu sendiri.

Misal, UU Cipta Kerja, di dalamnya terdapat UU ketenagakerjaan, mineral dan batu bara, arsitek, dan banyak lagi yang pada intinya berpusat pada pembangunan ekonomi, sebagaimana didefinisikan dalam UU 11/2020 yang berbunyi:

"cipta kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional."

Dan, mengingat begitu banyak polemik terhadap bentuk undang-undang omnibus ini, penulis sendiri melihat memang menjadi sangat rumit untuk memahami isi dari suatu undang-undang omnibus. Terutama karena, penggunaannya masih harus menggunakan peraturan perundangan lain yang terkait namun tidak dicabut.

Tidak seperti undang-undang biasa, misalnya UU 12/2011 mencabut UU 10/2004 dan dengan demikian, lebih santai untuk didalami karena ada kejelasan UU apa yang digunakan. Omnibus Law tidak santai untuk dibaca (malah terkesan ngajak berantem karena sedikit-sedikit ada frasa dihapus, dirubah dsb, tapi untuk mengetahui apa yang dihapus harus kembali pada undang-undang yang bersangkutan), walaupun pasti dapat dikatakan jelas.

Bentuk Hukum omnibus, setidaknya dari sampel cipta kerja, tidak memiliki daftar isi yang dicantumkan sebagai penjelas peraturan perundangan. Dan karena ketidakringkasan itu, penulis kira penulis sedikit mengerti mengapa banyak ahli hukum yang 'sepanteng' dengan UU tersebut, selain daripada kritik terhadap isinya yang dinilai lebih mengakomodir pelaku usaha, yang secara substansi adalah hal yang diperdebatkan.

Demikianlah sedikit tentang pembentukan peraturan perundangan: epilog dan menjadi akhir serial pembentukan peraturan perundangan. Seperti omnibus, penulis melakukan 'sapu jagat', sehingga masih ada yang dapat ditelaah dalam hal ini, inter alia bagian partisipasi masyarakat dan pembentukan secara elektronik. Setidaknya, ada kejelasan umum tentang partisipasi masyarakat dan bagaimana pemantauan dan peninjauan ulang dilakukan.

Adapun artikel ini jauh dari sempurna, selain karena dibuat secara sederhana, juga karena kekurangan penulis. Penulis sendiri mengakui kenikmatan membaca peraturan perundangan membutuhkan hal yang mungkin menjadi pertimbangan remeh bagi banyak orang, yaitu ketenangan lingkungan, baik secara factum ataupun post-factum. Belakangan ini, produktivitas penulis menurun drastis dan fokus penulis lebih cepat pudar tersemai lelah fisik dan mental.

Hal tersebut karena penulis sedang banyak menghabiskan waktu di jalan dan akan melakukannya dalam waktu ini, setidaknya hingga urusan penulis selesai sepenuhnya. Kesibukan tersebut akan menyebabkan penulis akan lebih jarang menulis, walaupun pasti akan disempatkan. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan perundangan:

UU 12/2011; UU 15/2019; UU 13/2022; UU Cipta Kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun