Suatu pertanyaan sederhana, sekarang ini diketahui secara de facto bahwa MPR tidak lagi aktif dan dengan demikian, kehilangan wibawa dan mengalami keburaman eksistensi. Namun mengapa TAP MPR masih dinyatakan berlaku, bahkan memiliki hierarki setingkat dibawah UUD NRI. Apa tujuan dan apa konsekuensinya bila TAP MPR dicabut dan dinyatakan tidak berlaku? Penulis serahkan jawabannya pada pembaca.
Bicara tentang hierarki, penjelasan pasal 7 ayat 2 UU 12/2011 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hierarki adalah jenjang jenis peraturan perundangan berdasarkan lex superior derogat legi inferiori, dimana jenis peraturan di huruf (a) merupakan yang tertinggi dan huruf terakhir dalam jajaran adalah yang terendah. Cara membaca seperti ini sering sekali menjadi perdebatan penting atas bagaimana menentukan kekuatan dari norma, dimana dapat menentukan hajat hidup orang banyak.
SPEKTRUM PERATURAN PERUNDANGAN LAINNYA.
Selain dari peraturan perundangan yang dimasukkan dalam bentuk hierarki tersebut, terdapat juga jenis peraturan lain yang diatur dalam pasal 8 yang dapat dibagi berdasarkan trias politica (kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif), yang juga saling berketerkaitan dengan jenis peraturan perundagan pada pasal 7 tersebut. Bila disederhanakan, maka kira-kira meliputi:
Spektrum Eksekutif: peraturan BI, Menteri, Gubernur, Bupati/walikota, Kepala desa atau yang setingkat.
Spektrum Legislatif: Peraturan MPR, Peraturan DPR, Peraturan DPD, DPRD, DPRD Kab/kot
Spektrum Yudikatif: Peraturan MA(Perma), Peraturan MK, Peraturan BPK,
Terkait Peraturan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPK sendiri sering mengatakan dirinya tidak termasuk dalam ketiga spektrum tersebut karena perannya sebagai pengelola keuangan negara yang bebas dan mandiri berdasarkan UUD 45 pasal 23, sehingga sering menyatakan diri sebagai lembaga auditif. Namun karena merekat dengan tugas dan wewenang sebagai pemeriksa, maka agar sederhana BPK dimasukkan spektrum yudikatif secara restriktif hanya dalam memeriksa tanpa mengadili dan memutus. Yang menarik adalah, dimana posisi kesemua peraturan tersebut, bila tidak dituangkan dalam hierarki? Â Penulis serahkan jawabannya pada pembaca.
Kemudian, pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 dengan jelas memberikan koridor pengujian terhadap peraturan perundangan tersebut. Adapun bunyi kedua norma tersebut sederhananya meliputi:
- Dalam hal suatu Undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
- Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh MA.
Ayat 1 pasal 9 ini telah cukup banyak dituangkan dalam artikel-artikel tentang MK, sehingga tidak perlu dibahas. Namun hal-hal lain di luar undang-undang harus diajukan ke MA atau lembaga yang berkewenangan atas itu.
Dan ini cukup menarik, karena lagi-lagi TAP MPR tidak digunakan sebagai tolak ukur untuk pengujian peraturan perundangan itu sendiri. Apa TAP MPR sebenarnya berfungsi sebagai 'sisa-sisa peradaban hukum' dari sistem pemerintahan di Indonesia? suatu 'monumen norma' yang ada untuk dinikmati menggunakan interpretasi historis, atau apa? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.