"hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi: pejabat negara lainnya; anggota partai politik; pengusaha; advokat; atau pegawai negeri."
Maka, ketika norma pasal 15 ayat 2 huruf (i) dan pasal 15 ayat 3 huruf (f) itu tidak disertakan dalam perubahan ketiga, dapat dipertanyakan kekuatan norma tersebut. Pertanyaan sederhana saja, kenapa norma dalam pasal 15 ayat 2 huruf (i) dan pasal 15 ayat 3 huruf (f) tidak disertakan? Bilapun tidak berlaku, mengapa sempat dituangkan atau mengapa tidak dinyatakan dicabut seperti peraturan perundangan lain?
Apa mungkin, hakim konstitusi boleh merangkap sebagai anggota partai politik dengan pola penalaran bahwa pelarangan pasal 17 dimaknai secara alternatif dan bukan kumulatif? Untuk jawabannya, penulis serahkan ke pembaca.
Kemudian, Pasal 18 membunyikan norma yang pada intinya merupakan komposisi Hakim Komposisi. 3 orang diajukan oleh MA, 3 orang diajukan oleh Presiden, 3 orang diajukan oleh DPR. Pada perkembangannya, pasal 18 kemudian menyisipkan dan menambah normanya menjadi pasal 18A, pasal 18B, dan pasal 18C. Hal ini dilakukan dalam UU 4/2014 Perubahan Kedua MK.
Pasal 18A pada intinya bicara tentang uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Konstitusi yang dilaksanakan oleh Panel Ahli. Calon Hakim Konstitusi diajukan oleh Kepresidenan/DPR/MA. Apabila calon itu dinyatakan lulus, maka calon itu menjadi Hakim Konstitusi. Apabila tidak lulus, maka Kepresidenan/MA/DPR dapat memajukan nama lain, dimana pengajuan calon hakim konstitusi dapat dilakukan sebanyak tiga kali. Pemajuan calon hakim juga ditentukan atas kebutuhan Hakim Konstitusi yang diperlukan.
Yang menarik adalah, kekosongan norma saat uji seleksi hakim konstitusi sudah dilakukan tiga kali, namun tidak ada yang menembus kriteria uji kelayakan dan kepatutan dari Panel Ahli. Apabila tidak ada yang lulus uji seleksi, dengan demikian tidak ada hakim konstitusi? atau hakim konstitusi aktif kemudian tidak diganti hingga akhirnya ada yang dinyatakan lolos ujian seleksi, walaupun hakim konstitusi aktif tersebut tidak dapat lagi menjadi hakim konstitusi? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Dalam 18C UU 4/2014 Perubahan Kedua MK, dikatakan bahwa komposisi panel ahlipun terdiri atas tujuh orang, dengan 3 orang masing-masing dari Presiden, DPR, dan MA, ditambah 4 orang dari Komisi Yudisial dengan persyaratan mendetil tertuang pada peraturan Komisi Yudisial.
PEMBERHENTIAN HAKIM
Pemberhentian Hakim diatur pada pasal 23 sampai dengan pasal 27 dalam UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Secara sederhana, pemberhentian hakim dibagi menjadi dua kategori, yaitu diberhentikan dengan hormat, dan diberhentikan dengan tidak hormat. Format kategori tidak berubah sampai pada perubahan ketiga yaitu UU 7/2020. Adapun secara singkat, pemberhentian dengan hormat dilakukan atas dasar:
- Meninggal dunia;
- Mengundurkan diri;
- Telah berusia 70 tahun;
- Sakit jasmani atau Rohani yang dibuktikan dengan surat dokter;
Tidak dijelaskan tentang maksud Sakit rohani, apa sakit rohani yang dimaksud berada dalam ranah psikologikal atau di dalam lingkup spiritual, atau dalam spektrum lain. Terutama, karena rohani sendiri memiliki dua pandangan, dimana ada yang menyatukan keadaan spiritual dan keadaan psikologis adalah sama, sementara ada yang membedakan keadaan spiritual dan keadaan psikologis.
Pada pandangan yang memisahkan keadaan psikologis dan keadaan spiritual, keduanya memiliki terminologi yang dekat dengan pemaknaan dokter, antara psikiater secara medis, atau dukun putih/pemuka agama secara metafisis (mengingat hukum pidana Indonesia juga memasukkan delik santet yang sangat unik, namun hal ini perkara lain.)