Adakah planet lain yang dapat ditinggali manusia selain bumi yang ada di pojokan kamar?
Adakah kehidupan di luar sana?
Pertanyaan tersebut mencetus lahirnya perpanjangan ilmu astronomi antara lain astrofisika yang mempelajari sifat badan angkasa; astrobiologi yang meneliti kehidupan di alam semesta; dan kosmologi yang meriset asal muasal, evolusi dan nasib akhir dari alam semesta; serta astronomi budaya.
“Dengan adanya matematika, fisika, kimia serta pemikir kreatif dan imajinatif seperti Albert Einstein dan Stephen Hawking, astronomi dilihat sebagai ilmu yang sulit untuk ‘dipegang’. Tetapi tidak semata itu. Kita harus melihat ada apa dibaliknya.”
Salah satu pesan implisit yang ia maksud adalah sumbangan astronomi pada ranah etika, moral bermasyarakat.
Jika meminjam perkataan almarhum astronom Carl Sagan:
“Astronomi dikatakan sebagai ilmu yang merendahkan hati dan membangun kepribadian. Tidak ada yang bisa memperlihatkan bodohnya keangkuhan manusia selain melihat potret bumi mungil yang diambil dari jarak jauh. Bagiku, ini menekankan kewajiban untuk memperlakukan sesama lebih baik, dan melihara serta mensyukuri si titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita ketahui.”
Tak kenal berarti tak sayang adalah idiom yang selamanya berlaku.
Dengan mengetahui ternyata bumi hanyalah merupakan satu-satunya rumah yang kita miliki – si titik biru pucat di tengah hamparan raksasa langit – diharapkan kita dapat lebih menghargai tempat tinggal kita beserta isinya dan juga sesama manusia.
Untuk semua kalangan