Mohon tunggu...
Joseph Chen
Joseph Chen Mohon Tunggu... -

Kota Semarang adalah asalku, kerja di Jakarta. Menulis adalah salah satu hobby'ku. Sekarang ikut menggawangi Blog keroyokan yang bernama gloBAL communiTY nusantaRA... BALTYRA.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Kekuatan Calon DKI-1 & 2 Tahun 2017 dan Pemanasan 2019

11 Oktober 2016   14:45 Diperbarui: 11 Oktober 2016   17:47 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencermati tulisan-tulisan saya empat tahun lalu, satu per satu sampai dengan Pilpres kemarin, rasanya tidak berlebihan bahwa tingkat akurasinya cukup tinggi untuk analisa dan pemetaan yang terjadi sekarang ini, dan juga sangat mendekati situasi sekarang ini.

Dimulai dengan:

Menakar Kekuatan Calon DKI-1 & 2, Pemanasan 2014

kemudian:

What’s Next Setelah Pilgub DKI Jakarta 2012?

lanjut dengan:

Tamparan Keras untuk Gerindra, Ancang-ancang 2017, 2019 dan 2024

dan kemudian:

Peta Kekuatan Politik Pasca Pilpres 2014

Bagaimana dengan Ahok?

Di tengah terpaan badai cercaan, caci maki, serangan bertubi-tubi yang menghantamnya, Ahok dengan tegar menghadapinya satu per satu. Kubu rasis Haji Lulung (PPP) yang sejak awal mempermasalahkan etnis dan agama Ahok adalah yang paling lantang bersuara. Belum lagi M. Taufik – Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta – malah menyuarakan supaya Ahok pindah kewarganegaraan sekalian (http://www.merdeka.com/politik/taufik-tantang-ahok-sekalian-pindah-kewarganegaraan.html). Kembali lagi jajaran Gerindra dengan kompak menghancurkan partainya beramai-ramai; Fadli Zon, M. Taufik, Desmond J. Mahesa, Ahmad Muzani dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sangat kontra-produktif.

Ahok menyatakan bahwa untuk saat ini, dia akan memimpin Jakarta tanpa bergabung dengan partai politik mana pun. Untuk saat ini mungkin bisa, namun untuk ke depannya, tidak ada pilihan lain selain harus bergabung dengan salah satu partai politik. Kendaraan partai politik masih diperlukan untuk berkiprah di belantara perpolitikan Indonesia (dan di manapun di dunia). Pilihan Ahok adalah: PDIP, Golkar atau Demokrat; tidak akan ada pilihan lain karena hanya partai-partai itulah yang mesin politiknya cukup matang dan strateginya cukup piawai.

Memilih PDIP

Jika Ahok memilih PDIP (saat ini atau nantinya), pamornya akan menurun dan tidak akan ‘segarang’ sekarang, karena memilih PDIP berarti main gampang dan ‘play safe’ menempel ke partai penguasa. Belum lagi musuh-musuhnya yang tersebar di partai-partai yang sekarang masih berimajinasi sebagai Koalisi Merah Putih. Dengan kendaraan PDIP, jalan Ahok tidak akan mulus karena berarti everybody else is enemy.

Memilih Golkar

Golkar tanpa Ical Bakrie akan menjadi kendaraan politik dahsyat untuk Ahok. Dengan pamor Ahok dan gebrakan serta pencapaian yang dicanangkannya akan menguntungkan kedua belah pihak. Ahok akan mulus jalan politiknya. Apalagi Jusuf Kalla – Wakil Presiden 2014-2019 adalah sesepuh Golkar. Belum lagi Wiranto dan Surya Paloh, yang walaupun sudah bersalin baju menjadi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), ‘DNA’ mereka berdua tetap Golkar; genetically-default Golkar. Sebelumnya Ahok berasal dari Golkar, keluar bergabung dengan Gerindra, seandainya kembali ke partai induk lama bukan sesuatu yang aneh walaupun tidak lazim.

 Memilih Demokrat

Pilihan ini adalah opsi kedua setelah opsi pertama Golkar. Memilih Demokrat bisa dibilang adalah pilihan moderat. Ketokohan SBY seorang diri yang diandalkan oleh partai ini, tanpa figur SBY bisa jadi Demokrat sudah habis di Pemilu 2014. Dengan pengalaman SBY memimpin selama sepuluh tahun dan diplomasi serta lobby tingkat tingginya, akan menjadi kendaraan politik yang tidak jelek untuk Ahok. Keuntungan lain adalah mengakurkan dua mantan Presiden RI yang sepertinya jothakan-forever. Hubungan khusus Ahok dengan Presiden Joko Widodo yang berkendaraan PDIP akan menjadi koneksi apik menjembatani Megawati dan SBY mengawal pemerintahan Jokowi-JK.

Pilihan membangun partai politik sendiri adalah kemungkinan terkecil. Dari hitung-hitungan politis serta logistik dan seluruh komponen pendukungnya, sepertinya Ahok belum sampai ke sana, walaupun bukannya tidak mungkin. Faktor minoritas kuadrat (etnis dan agama) akan jadi pertimbangan utama Ahok untuk tidak mendirikan partai politik sendiri. Di luar partai-partai papan atas PDIP, Golkar dan Demokrat, masih ada dua partai yang sebenarnya bisa jadi alternatif kendaraan Ahok di dunia politik, yaitu Partai Hati Nurani Rakyat atau Partai Nasional Demokrat. Tapi hari ini, dua partai ini tidak terlalu gilang gemilang prestasi dan reputasinya. Dan bukan tidak mungkin dalam kurun waktu sekarang sampai sepuluh tahun lagi akan ada partai baru yang muncul.

 

 

Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat

Strategi Ahok ternyata sedikit off-track, pertama dengan mengumumkan keindependenan tanpa partai politik manapun juga. Berdirinya Teman Ahok yang menggalang satu juta KTP DKI sampai dua kali karena pertama penggalangan KTP untuk majunya calon independen adalah pasangan Ahok – Djarot, kemudian berubah menjadi Ahok – Heru dikarenakan waktu itu PDIP belum memberikan dukungan dan Djarot adalah salah satu kader PDIP sehingga pasangan Ahok berubah.

Dalam perjalanannya, partai-partai yang semula berseberangan dengan Ahok dan sibuk mencari calon, akhirnya harus menerima kenyataan wind of change perpolitikan di Indonesia, satu per satu menyatakan dukungan untuk Ahok tanpa syarat dan tanpa mahar politik.

Golkar tanpa Ical Bakrie akan menjadi kendaraan politik dahsyat untuk Ahok. Dengan pamor Ahok dan gebrakan serta pencapaian yang dicanangkannya akan menguntungkan kedua belah pihak. Ahok akan mulus jalan politiknya. Apalagi Jusuf Kalla – Wakil Presiden 2014-2019 adalah sesepuh Golkar. Belum lagi Wiranto dan Surya Paloh, yang walaupun sudah bersalin baju menjadi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), ‘DNA’ mereka berdua tetap Golkar; genetically-default Golkar.

Setya Novanto menggantikan Ical Bakrie. Surya Paloh adalah yang pertama menyatakan dukungan Nasdem untuk Ahok, disusul oleh Wiranto dengan Hanura; kemudian Golkar menyusul. Secara politis PDIP tidak ada pilihan calon lain selain Ahok yang harus diusung. Megawati dan para penasehat utamanya dengan cerdik “memimpin” di tikungan terakhir. Di malam terakhir pendaftaran calon DKI-1 dan DKI-2 barulah dideklarasikan PDIP mengusung Ahok berpasangan dengan Djarot, sehingga menyebabkan Boy Sadikin berang dan angkat kaki menyeberang ke gerbong kubu lain. Manuver “tikungan terakhir” sama persis ketika Megawati mengusung Jokowi sebagai capres di tahun 2014. Sepertinya Sang Ibu Suri sudah “sadar” tidak dapat melanggengkan politik dinasti dan calon satu-satunya yang (mungkin) digadang-gadang yaitu Puan Maharani, masih jauh sekali dari segi intelektualitas, kematangan karakter, leadership, public speaking capacity, dan semua aspek untuk menjadi penggebrak menjadi pemimpin sekelas Gubernur DKI, future RI-2 apalagi future RI-1.

Dengan mengusung Ahok – Djarot untuk DKI-1 dan DKI-2 di 2017, gerbong raksasa partai-partai besar ini meletakkan fondasi kuat dan ancang-ancang all out battle di Pilpres 2019. Kedekatan Jokowi – Ahok yang sering disebut Dwitunggal tak tergoyahkan sampai saat ini, sejak duet DKI-1 dan DKI-2 kemudian duet RI-1 dan DKI-1 terbukti menjungkirbalikkan tatanan pakem politik Indonesia selama ini. Manuver Ahok dengan deklarasi jalur independen dengan apik berakhir dengan ‘merangkul’ PDIP dan Golkar (beserta derivatifnya Hanura dan Nasdem). Merangkul tanpa merangkul!

Di balik semua kekuatan ini, Ahok sendiri membuat blunder besar dengan ketidak-konsistenannya mencla-mencle bersikukuh maju dengan jalur independen, namun ternyata kemudian justru diusung oleh para partai politik besar. Memang ‘bukan’ Ahok sendiri yang berniat diusung para partai politik, memang para partai politik yang seolah-olah merapatkan barisan ke Ahok, tapi sepertinya memang itu adalah bagian dari strategi besar Ahok. Dengan blunder ini sepertinya banyak potensial suara pemilihnya yang akan mengalihkan suara ke kubu lain.

 

Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni

Yang mengagetkan adalah munculnya Agus Yudhoyono yang diusung oleh gerbong Demokrat bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ini adalah langkah blunder terbesar SBY dalam karier politiknya. Pertaruhannya terlalu besar dan beresiko. Sungguh kasihan Agus Yudhoyono yang karier militernya bisa dibilang gilang gemilang, deretan pendidikan militernya dari berbagai institusi militer bergengsi Amerika yang hanya segelintir manusia non Amerika bisa menempuhnya, tiba-tiba harus menuruti dorongan keluarga untuk melestarikan Dinasti Cikeas.

Konon yang paling berpengaruh di dalam Dinasti Cikeas adalah dua ibu suri; Ibu Suri Sepuh dan Ibu Suri Muda. Tidak usah membahas Ibas karena dari segala aspek tidak akan pernah menjadi penerus atau calon penerus Dinasti Cikeas. Agus Yudhoyono satu-satunya yang layak diusung untuk diadu dengan para calon DKI-1 lain dan sebagai teaser sekaligus pemanasan untuk laga Pilpres 2019. Memang timing yang tidak menguntungkan untuk Agus Yudhoyono, pangkat kolonel pun belum disandangnya, namun harus melepas impian mengejar pangkat minimal bintang satu atau dua. Bisa jadi secara hitung-hitungan politis dari Dinasti Cikeas, kans ini layak dicoba dan ditempuh demi merengkuh sesuatu yang lebih besar.

Yang tidak lazim di sini adalah adanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang identik dengan Gus Dur dan NU dalam gerbong Agus Yudhoyono – Sylviana Murni ini. Dari segala sisi ideologi dan kebangsaan, rasanya sungguh tidak klop dan tidak klik chemistry antara PKB, PAN dan PPP. Kalau PPP dan PAN bisa jadi mereka memiliki ‘genetis’ ideologi sama, namun PKB sangat jauh dari gaya PPP dan PAN. Belum lagi keberadaan Nusron Wahid mantan Ketua Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama yang sekarang menjadi tim pemenangan Ahok – Djarot. Genetis dan ideologi PKB sebenarnya lebih cocok di gerbong Ahok – Djarot. Bisa jadi keberadaan PKB dalam gerbong Agus Yudhoyono – Sylviana Murni adalah sebagai ‘kuda Troya’ pemecah perhatian dan pemecah kekuatan dari dalam dan dari luar.

Ini sangat identik dengan keberadaan Ruhut Sitompul sebagai dedengkot dan senior di Demokrat. Sejak Pilgub 2012, Pilpres 2014 sampai sekarang sepak terjangnya sangat vokal dan gemar nyeruduk ‘seolah-olah’ membelot dari Demokrat. Bahkan ketika terang-terangan tidak mendukung Agus Yudhoyono – Sylviana Murni dan malah menyeberang ke kubu Ahok – Djarot sekaligus menjadi juru bicaranya, tidak ada satu patah kata pun dari SBY atau pentolan Demokrat yang lain, kecuali Roy Suryo yang nyap-nyap. Ruhut Sitompul adalah anomali dalam Demokrat. Statusnya jelas masih Demokrat, tidak ada teguran apalagi pemecatan dirinya. Entah peran Ruhut sebagai ‘double agent’ di kubu seberang atau justru sebagai bentuk ‘unspoken support’ SBY kepada kubu Ahok – Djarot karena semua tahu masih ada ‘unspoken barrier’ antara SBY dan Megawati; sama-sama gengsi dan pentolan partai politik mainstream di Indonesia. Jika Agus Yudhoyono – Sylviana Murni kalah, posisi Demokrat masih ‘ok-lah’ di kubu lawan, jika menang juga masih ‘ok-lah’ karena Ruhut Sitompul toh mendukung kubu sana.

Yang perlu dicermati adalah reputasi Demokrat yang sudah berantakan semenjak kasus-kasus berderet para kader papan atas satu per satu berurusan dengan KPK. Sebut saja deretannya: Angelina Sondakh, Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Mirwan Amir, Johny Allen Marbun, Amrun Daulay, Aziddin, Max Sopacua, Andi Mallarangeng, Jero Wacik. Ditambah lagi reputasi PAN dengan ketokohan si Aki Tua Amien Rais yang menderita amnesia politik jelas tidak pernah mendapat tempat lagi di hati dan pikiran masyarakat. Sementara PPP sejak jaman Orde Baru sampai sekarang lebih merupakan penggembira saja, kiprahnya yang ‘gemilang’ belakangan hanyalah gebrakan Suryadharma Ali nilep duit penyelenggaraan haji, selain itu tak ada satupun gaung dari PPP ini.

Dan baru-baru ini suara PPP terbelah dua, antara yang mendukung Agus Yudhoyono – Sylviana Murni dan kubu Djan Faridz yang mendukung Ahok – Djarot, bahkan mengatakan bahwa Lulung – ‘musuh besar’ Ahok juga pasti akan mendukung Ahok karena keputusan DPP PPP harus diikuti semua kadernya. Hal ini menuai kontroversi di dalam PPP dan kekacauan pemetaan kekuatan dukungan.

Harus diakui strategi think tank kubu Agus – Sylvi cukup jitu. Dengan tidak koar-koar mengusung isu SARA, rupanya cukup mampu menggoyang pertimbangan para pemilih. Selama si Aki Amien Rais tidak membuat blunder (lagi) yang tidak perlu, sepertinya pasangan Agus – Sylvi akan menjadi lawan berat Ahok – Djarot.

 

Anies Baswedan – Sandiaga Uno

Sungguh malang Prabowo Subianto ditinggalkan para pendukung semu dengan cara seperti ini. Di penghujung kesempatan dimana seharusnya seorang Prabowo bisa diingat sebagai negarawan sejati, tapi Prabowo memilih untuk dilindas dengan strategi total-crushing tanpa sisa – hanya didampingi PKS yang memang tidak punya pilihan dan exit strategy. (Peta Kekuatan Politik Pasca Pilpres 2014)

Di Pilgub DKI kali ini Gerindra berdua dengan PKS sendirian mengusung Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Sosok Anies Baswedan dengan ketokohan serta reputasi positif selama ini – secara akademis dan politis posisi terakhir Menteri Pendidikan – sontak serta merta amblas menguap dengan bersedianya dia diusung oleh Gerindra – PKS. Kesan mencla-mencle tak bisa dihindari, di Pilpres 2014 masih segar dalam ingatan, Anies ada di kubu Jokowi – JK dan melontarkan beberapa pernyataan negatif terhadap kubu Prabowo – Hatta Rajasa dan juga opini kepada pribadi Prabowo. Memang tak salah jargon politik sepanjang masa: “tidak ada musuh atau kawan abadi, yang ada kepentingan (bersama) abadi” dan “the enemy of my enemy is my friend”.

Kubu Gerindra dan PKS jelas-jelas tidak memiliki kader yang cukup menjual. Sandiaga Uno yang pertama didekati dan diusung sebagai calon gubernur, ternyata harus mengalah dengan Anies Baswedan. Kubu Gerindra – PKS jelas paham bahwa Sandiaga Uno masih jauh sekali daya jualnya kepada para pemilih dibanding kubu lawan, sehingga dipilihlah Anies Baswedan yang diyakini lebih menjual, sehingga Sandiaga Uno tak ada pilihan lain selain menjadi calon wakil gubernur.

Dengan bersedianya Anies Baswedan diusung oleh kubu Gerindra – PKS, sangat terlihat janggal dan sangat tidak klik dengan reputasi Anies Baswedan selama ini. Entah karena alasan apa sehingga Anies Baswedan bersedia diusung Gerindra dan PKS dimana secara genetis dan chemistry dalam sejarah tidak pernah klik dengan Anies yang plural dan sekuler. Apakah karena alasan pribadi sakit hati dicopot Jokowi sebagai Menteri Pendidikan ataukah mengejar posisi DKI-1 untuk ke depannya siapa tahu bisa nyangkut di bursa capres 2019; mengingat Anies Baswedan pernah masuk dalam bursa capres seleksi Demokrat namun akhir cerita penjaringan dan penyaringan capres dari Demokrat tahun 2014 memang tidak jelas juntrungannya.

Dalam salah satu pertunjukan ‘lawak’ para badut Gerindra, terlihat gesture dan body language Anies Baswedan yang tidak nyaman sama sekali dengan tingkah polah para badut politik tersebut. Justru Sandiaga Uno yang menunjukkan ekspresi girang luar biasa yang berlebihan.

Tidak habis pikir dengan Prabowo Subianto, apakah sudah begitu desperate’nya dalam kancah politik Indonesia sampai-sampai merendahkan intelektual dan martabatnya bergandengan mesra dengan PKS. Sudah jelas dibohongi dan dikerjain habis-habisan dalam Pilpres 2014, masih ingin mengulangi rasa yang sama lagi di 2017.

Kubu ini tidak ada jualan lain selain menjual isu SARA, terutama jualan isu agama yang diusung PKS sejak awal mula berdirinya dan didukung oleh para barisan radikal lainnya (salah satunya barisan preman berdaster). Sudah menjadi rahasia umum bahwa IM ada di belakang partai ini; padahal IM adalah organisasi terlarang di Timur Tengah sana.

 
pilgub-dki-2017-2
pilgub-dki-2017-2
 
pilgub-dki-2017-6
pilgub-dki-2017-6
 
pilgub-dki-2017-7
pilgub-dki-2017-7

Pilgub DKI 2017 kali ini sungguh seru dan ketat. Tidak mudah dianalisa dan ditebak peta kekuatannya. Kubu-kubu seberang Ahok – Djarot menggunakan dan mengerahkan segala cara untuk menggoyang suara pemilih. Isu agama diserukan di mana-mana, di kampung-kampung, di media sosial, di grup-grup Whatsapp, di kelompok-kelompok pengajian, ayat-ayat suci dihamburkan dengan interpretasi apapun yang menguntungkan. Posisi Ahok sebagai minoritas kuadrat (etnis dan agama) adalah sasaran empuk gaya jualan isu SARA ini.

 
twit-rasis01
twit-rasis01
 
twitrasis
twitrasis
keblinger
keblinger

Pilgub DKI 2017 akan jauh lebih seru pertarungannya dibanding dengan Pilgub DKI 2012. Di Pilgub 2012 peta kekuatan para calonnya terlalu jauh njomplang, Jokowi – Ahok tak tertandingi oleh pasangan calon manapun juga. Sementara kali ini dalam perjalanannya, Ahok sendiri banyak melakukan blunder, sementara kubu-kubu lain juga tak luput dari segala kekurangannya. Sekarang bagaimana para think tank kubu masing-masing mengolah kelebihan menjadi menonjol dan kekurangan menjadi samar atau termaklumi oleh para pemilih.

Yang pasti adalah sejak Pilgub DKI 2012 dan dalam Pilgub DKI 2017 kali ini equilibrium politik Indonesia berguncang. Kesetimbangan pakem politik selama ini morat-marit. Tatanan politik dan bagi-bagi fulus yang selama ini berlangsung semenjak era pasca Ali Sadikin, didobrak habis-habisan di era Gubernur Jokowi dan dilanjutkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Pundi-pundi uang dan ATM para partai politik jungkir balik. Oleh karena itu, dengan segala cara equilibrium/kesetimbangan pakem politik di DKI ingin dikembalikan seperti semula sesuai ‘khitah’nya, apalagi kalau bukan dengan mengusung isu dan jualan agama?

Apapun hasilnya Pilgub DKI 2017 ini akan menjadi modal para partai politik untuk memetakan kekuatan dalam Pilpres 2019. Jika Ahok menang, bisa dipastikan Jokowi akan menggandengnya untuk melaju dalam Pilpres 2019 sebagai calon RI-2. Bahkan seandainya Ahok kalah pun, kemungkinan Jokowi menggandeng Ahok sebagai calon RI-2 di 2019 masih sangat tinggi. Jika Agus Yudhoyono menang, bisa jadi Jokowi akan menggandengnya sebagai calon RI-2 di 2019, dengan catatan restu Ibu Suri dari Teuku Umar berkenan, mengingat long-time-barriers antara SBY dan Megawati.

Tahun 2017: Gubernur DKI masa jabatan 2017-2022

Kemungkinan Ahok menang dan menjadi Gubernur DKI (gubernur asli, bukan melanjutkan seperti sekarang melanjutkan dari Jokowi) dengan masa jabatan 2017-2022. Kemungkinan lain Agus Yudhoyono menang. Jika Agus Yudhoyono yang menang, peta politik untuk 2019 dipastikan akan berubah lagi. Koalisi baru sangat mungkin terbentuk. Yang sudah ditunggu lama adalah rujuknya dua dedengkot politik mainstream dua dinasti politik Indonesia, Kubu Cikeas dan Kubu Teuku Umar. Jika sampai dua kubu ini bergabung, Pilpres 2019 dipastikan akan lebih seru dan gegap gempita.

 

Tahun 2019: RI-2

Di tahun 2019 ini Jokowi akan maju kembali dengan ‘pasangan baru’nya yaitu Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon RI-2. Pasangan Jokowi-Ahok yang menghebohkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 akan maju kembali untuk pemilihan RI-1 dan RI-2 di tahun 2019. Jika Agus Yudhoyono kalah dalam Pilgub DKI 2017, Demokrat tidak akan gegabah mengusungnya menjadi capres di 2019, pamornya masih jauh di bawah Jokowi. Pilihan logis Kubu Cikeas adalah merapat ke PDIP-Golkar-Hanura-Nasdem; bersama-sama mengusung pasangan Jokowi-Ahok untuk Pilpres 2019. Dengan segenap kegaduhan politik yang mengikutinya, hampir bisa dipastikan pasangan Jokowi-Ahok tidak terbendung di 2019.

Jika Agus Yudhoyono menang, pilihan pasangan Jokowi untuk RI-2 di 2019 adalah Ahok atau Agus Yudhoyono. Mengingat gengsi masing-masing Kubu Cikeas dan Kubu Teuku Umar, pilihan pasangan Jokowi-Agus kecil kemungkinannya dibanding dengan Jokowi-Ahok.

Apapun yang terjadi di 2017, Ahok kalah atau menang, kesempatan untuk melaju bersama dengan Jokowi di 2019 jauh lebih besar dibandingkan siapapun juga calon gubernur DKI 2017 hari ini. Sepertinya tidak banyak yang mengantisipasi contigency strategy Ahok. Jika 2017 terjungkal dari kursi DKI-1, kursi Menteri Dalam Negeri terbuka lebar untuknya. Untuk Jokowi, sangat diperlukan sosok seperti Ahok untuk mengobrak-abrik tatanan birokrasi dan pemerintahan di negeri ini. Pemilihan Ahok sebagai menteri dalam negeri tidak akan dapat dibendung siapapun juga karena reshuffle kabinet adalah hak prerogatif mutlak seorang Presiden.

Sebenarnya dengan bercokolnya Ahok sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Presiden Jokowi, akan lebih memudahkan gebrakan mereka berdua dalam menjungkirbalikkan equilibrium politik Indonesia. Posisi Menteri Dalam Negeri memegang kunci utama seluk beluk dan liku-liku pemerintahan dan birokrasi di seluruh Indonesia. Dan di tahun 2019, sekali lagi duet Jokowi-Ahok akan maju dalam Pilpres 2019.

Ditambah lagi dengan kemunculan dua partai baru, Partai PERINDO – Persatuan Indonesia oleh Hary Tanoesoedibjo dan PSI – Partai Solidaritas Indonesia oleh si cantik Grace Natalie yang sekaligus menjadi ketua umumnya. Akankah dua partai baru ini berkibar dan bersinar? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Sedikit intermezzo…

 
pilgub-dki-2017-5
pilgub-dki-2017-5
 
pilgub-dki-2017-3
pilgub-dki-2017-3

 

Artikel terkait:

What’s Next Setelah Pilgub DKI Jakarta 2012?

Sandyakalaning Demokrat

Menakar Kekuatan Calon DKI-1 & 2, Pemanasan 2014

Dagelan Politik Tutup Tahun 2012

Mengukur Kekuatan di Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun