Mohon tunggu...
Jose
Jose Mohon Tunggu... Guru - Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Setujukah Anda, Pramuka di Hapus?

9 April 2024   13:22 Diperbarui: 9 April 2024   13:32 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulm pada Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, Pramuka ditetapkan sebagai kegiatan yang dapat dipilih dan diikuti sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat peserta didik.

Secara utuh, Pramuka masih tetap ada di sekolah-sekolah. Namun, hanya hilang status sebagai eskul wajib. Mengutip pendapat, Edi Subakhan, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, menilai langkah Nadiem ini mengembalikan kegiatan “Pramuka sesuai ketentuan Undang-undang yang bersifat sukarela dan bukan pemaksaan dan bukan paksaan”.

“Sejarah Pramuka juga begitu, bukan dengan paksaan atau kewajiban, saya relatif sepakat dengan kebijakan tersebut, karena tidak semua siswa memiliki minat terhadap Pramuka, ujarnya kepada CNNIndoensia.com (25/3/24)”. Hal ini berarti ia setuju dengan nilai merdeka belajar, yaitu setiap siswa wajib diberikan kemerdekaan dalam memilih hal yang diinginkan tentunya potensi, bakat dan kebutuhannya.

Kita perlu flashback terhadap sejarah Pramuka di masa lalu terhadap masa kini. Ada suatu hal yang dibanggakan sebagai nilai yang menyejarah. Namun, kita perlu melihat konteks bahwa “siswa yang sedang kita hadapi saat ini adalah mereka yang pernah mengalami proses pembelajaran online di masa pandemi”. Singkatnya, mereka adalah korban pandemi. Dan mereka saat ini masih melakukan proses pemulihan mental.

Di masa pandemi Covid-19 siswa mengalami beban mental tanpa investasi bermakna untuk mengubah perilaku mereka. Mereka terkungkung oleh situasi yang mereka hadapi selama 24 jam dalam siklus yang sama. Menurut laporan UNICEF yang berjudul “ The State of the World’s Children 2021; On Mind: Promoting, Proctecting and caring for the children’s mental health, menunjukkan bahwa remaja berusia 10-19 tahun di dunia (termasuk Indonesia) mengalami diagnose gangguan mental.  Pembatasan mobilitas anak-anak di masa pandemi menyebabkan mereka terpisah dari keluarga, sekolah, teman, dan kesempatan bermain-membentuk karakter, sebagai suatu hal yang perlu diperhatikan, ungkap Direktur Eksekutif Unicef, Hendrietta Fore (5/10/2021).

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dari The State of the World’s Children 2021, pertama, pemerintah harus melakukan pencegahan, promosi, dan perawatan terhadap pemulihan mental siswa. Tindakan ini, dilakukan agar siswa memperoleh kesempatan belajar bagaimana ia dengan bantuan orang dewasa dapat memulihkan mentalnya dengan beragam cara. Kedua, partisipasi sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial perlu melakukan pola asuh yang mengedepankan building human sense, seperti kasih sayang, empati, agar mendukung self-esteem siswa. Ketiga, perlu melakukan pendekatan holistik untuk menanggapi pengalaman gangguan mental siswa agar mereka dapat menumbuhkan self-resilien di dalam diri mereka. Self-resilier dapat dibentuk bila, para siswa mendapatkan kebiasaan yang dilatih secara berangsur untuk mendewasakan mental mereka, misalnya melalu program kegiatan pramuka. Didalam program tersebut seharusnya dirancang bentuk-bentuk kegiatan yang dapat memulihkan dan mengembangkan “mental baja” mereka.

Temuan survei yang dilakukan oleh UNICEF dan Gallup untuk mengetahui perbedaan antar generasi “Changing Childhood Project” menunjukkan temuan tentang perasaan atau rendahnya minat untuk berkegiatan (5/10/2021). Hal ini menujukan bahwa siswa kita masih “terkunkung” dalam suasana yang mereka alami selama pandemi Covid-19. Seperti yang dijumpai penulis, siswa kita saat ini, masih terpatri dengan gangguan mental seperti rebahan, malas berpikir (berpikir secara mendalam gregetnya sangat minim), kurang berempati, mudah menyerah, daya juang rendah. Hal ini merupakan dampak dari alienasi mental yang masih terpatri di masa pandemi.

Pandangan serupa dijumpai Penulis, ketika memasuki ruang kelas. Disana ada siswa sibuk dengan bermain gawai, kepala tertunduk diatas meja, bermalas-malasan, bahkan kurang memiliki semangat dalam belajar. Apakah hal ini terjadi dilingkungan sekolah karena tidak ada aturan? Saya katakana di sekolah ada aturan untuk mendorong siswa memiliki kesiapan belajar. Namun, hal sesederhana tersebut, “mereka ciptakan sendiri”. Dan menurut mereka lebih áman saja”. Mereka lebih menyukai dunia sendiri. Secara tidak langsung, hal yang dilakukan siswa tersebut merupakan sumber dari pengalaman belajar di masa pandemi Covid-19. Rendahnya sikap empati dan kesiapan belajar secara mandiri membuat semakin merosotnya misi belajar pada idealisme kognitif dan idealisme praktis untuk mendukung capaian tujuan hidup mereka. Hal yang masih terjadi adalah mereka seperti orang-orang yang kehilangan tujuan hidup.

Dalam menyikapi persoalan tersebut, seharusnya, di masa ini, Kemendikbudristek, perlu merefleksikan kembali terhadap kebijakan Pramuka: “Pramuka tidak Diwajibkan sebagai Eskul”. Penulis mengutip ulang pernyataan Edi Subakhan, “Pramuka sesuai ketentuan Undang-undang yang bersifat sukarela dan bukan pemaksaan dan bukan paksaan”. Pernyataan ini jauh lebih baik diterapkan sebelum masa pandemi dan kondisi saat itu, siswa kita “bisa dikatakan minim” mengalami gangguan mental.

Pasca pandemi, pernyataan tersebut perlu direfleksikan, dapat dikatakan kurang “kontekstual”. Seharusnya pernyataan tersebut sejalan dengan upaya apa yang harus dilakukan untuk memulihkan kesehatan mental siswa pasca pandemi. Kebutuhan yang mendesak kita saat ini, bukan kebijakan teoritis tetapi kebijakan praktis yang mengerucut pada program kegiatan kepramukaan yang lebih berdampak terhadap proses pemulihan mental siswa pasca pandemi Covid-19.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menilik kembali makna kata sukarela. Aristoteles Moral Philosophy, menguraikan makna kata sukarela. Tindakan sukarela adalah tindakan yang insentif (tambahan) yang mendorong tindakan tersebut berasal dari kebijaksanaan individu itu sendiri; meskipun orang tersebut sadar akan keadaan yang menimpanya, namun tidak bertindak semata-mata karena keadaan tersebut. Artinya bahwa seseorang bertindak tidak semata-mata karena keputusan sendiri, tetapi ada intervensi dari luar dirinya. Intervensi inilah sebagai daya dukung untuk mendukung keputusan dan tindakan seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun