Mohon tunggu...
Jose
Jose Mohon Tunggu... Guru - Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Miskonsepsi Kemerdekaan Guru

17 Maret 2024   11:56 Diperbarui: 17 Maret 2024   12:03 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggung jawab dapat dimiliki oleh siswa, bila siswa maampu mengatur waktu hidupnya, tahu menempatkan waktu. Ia bukan membiarkan waktu berjalan begitu saja, tanpa harus memanfaatkan waktu untuk menuntaskan aktivitas sebagai pelajar. Kedua, kedisiplinan. Kedispilinan adalah sebuah cara yang dilakukan guru dalam membentuk karakter siswanya. Karena perbedaan budaya, maka tindakan pembinaan secara tegas yang dapat memberikan kesadaran kepada siswa. Harapan guru adalah siswa seharunya menanggapi secara positif, dan harus menyadari bahwa apa yang ia terima adalah bentuk melatih mentalitas tangguh.

Seharusnya siswa tersebut bersyukur bahwa gurunya memedulikannya sekalipun ia beberapa hari harus beristirahat di rumah karena sakit. Bila ada guru yang peduli, merupakan sebuah roh yang menjiwai kehidupan keprofesian guru. Artinya, sang guru menyadari bahwa panggilan menjadi guru bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi melatih karakter siswa. Sangat bisa, guru hadir di kelas untuk berbagi ilmu selesai. Ini adalah pekerjaan yang sangat santai bagi guru.

Karena panggilan guru adalah membina kepemimpinan diri siswanya, maka sebagai pemimpin pun siap menerima resiko. Penulis teringat dengan pepatah kuno dalam bahasa Belanda: “Eeen Leidersweg is een lijdensweg; Leiden is lidjen. Artinya jalan memimpin bukanlah jalan yang mudah. Menjadi guru yang mengemban panggilan memimpin sudah sewajarnya siap menderita di era sekarang. Kehilangan konsep mendidik, dididik dikalangan orang tua menjadi suatu tugas tanpa purna waktu yang harus dipikirkan guru,  guru harus bekerja sama dengan orang tua, saling mendukung untuk membentuk karakter siswa. Entah, mengapa kejadian pengroyokan terhadap guru adalah langkah yang tidak mudah yang harus dihadapi guru.

Bila orang tua memikirkan, “kamu jadi guru karena saya bayar”, merupakan bentuk pernyataan hanya diukur dari sisi materi. Sementara yang dihadapi guru bukan uang tetapi manusia. Jangan mengukur manusia dengan uang, karena uang adalah benda yang dapat dicari, tetapi karekater manusia tidak mudah di cari. Ia membutuhkan proses kontinu untuk dilakukan melalui proses pembinaan berkelanjutan serta saling dukung antara guru dan orang tua sebagai ekosistem kolaborasi memanusiakan siswa agar ia menjadi manusia mandiri (self-regulated). Di dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara menyebutnya anak dapat mengatur diri mereka sendiri. Hal inilah membuat founding father, mencetuskan Merdeka belajar. Merdeka belajar adalah sebuah nilai yang dicapai dalam menerapkan cara untuk menjalankan proses pembelajaran untuk melatih aktivitas belajar siswa: berpikir kritis, bekerja sama, berkreasi menciptakan sebuah projek sederhana. Cara belajar inilah menciptakan tujuan dari Bapak Pendidikan kita tercinta, tentang Merdeka belajar.

Apa yang dilakukan guru dalam belajar bersama muridnya merupakan sebuah cara untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan (living values) kepada para siswa.  Mereka sadar akan nilai dan kebutuhan mereka sebagai mahkluk yang sedang dibentuk agar di kemudian hari mereka berani hidup di tengah kemandirian (self-discipilne) mereka bersama orang lain.  

Miris, bila orang tua terlalu protektif terhadap anaknya. Secara tidak langsung hak anak untuk mengembangkan dirinya, termasuk memecahkan masalah yang dihadapi dirinya telah “dimanfaatkan oleh orang tua” pada pilihan yang tidak manusiawi seharusnya direfleksikan oleg orang tua. Akan tetapi, “bila kehadiran orang tua sebagai fasilitator bagi anaknya, niscaya kepercayaan anak dibentuk”. Anak dapat memberdayakan potensi yang ada didalam dirinya, seperti anak belajar mencari cara, berpikir holistik untuk memecahkan masalah, serta merasakan dampak dari proses belajar yang ia lalui dapat dibentuk. Hal ini merupakan harapan besar yang sedang diperjuangkan oleh guru dan orang tua saat ini.

Tetapi harapan itu tidak mudah untuk diwwujudkan, sebab setiap orang tua memiliki corak berpikir yang mendukung atau sebaliknya. Seperti ada orang tua memberikan ruang untuk anak belajar menyelesaikan masalah secara mandiri, disaat itulah imajinasi anak diasah. Ia akan melihat bahwa pengalaman yang dianggap buruk dibaliknya ada nilai positif, yaitu “ia dapat mengajarkan dirinya untuk menjadi pribadi yang sedikit demi sedikit menyelesaikan masalah di sekolah secara mandiri”. Lambat laun, kedewasaan berpikir, emosional akan terbentuk di dalam dirinya.

Kedewasaan berpikir, emosi, tidak dapat dibeli dengan uang. Ia hanya dapat dilakukan apabila ada latihan dan kebiasaan yang diberikan orang tua, guru di sekolah, atau memungkinkan lingkungan tempat dimana anak tinggal. Kehadiran tempat tersebut, berupaya menumbuh kembangkan budaya self-problem slover dalam diri siswa.

Mengapa orang tua harus memberikan peluang ini kepada anaknya? Dunia, saat ini sangat kejam. Beragam tawaran yang menggiurkan seorang anak dapat menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan guru di sekolah. Sebagai guru, Penulis mengalami bagaimana menujumpai anak-anak yang terkadang sekadar hadir di kelas, pikiran ngelantur kemana-mana. Sikap apatis, tidak mendengarkan arahan guru dalam kurun waktu tertentu, mengulur-ulur waktu dalam menyelasikan sebuah tugas. Ya, inilah mentalitas kehidupan anak generasi Z.

Pengaruh informasi digital yang dikonsumsi dapat mengalihakan perhatian para siswa ketika belajar. Daya tarik konten yang menampilkan beragam tawaran hidup mewah (life style), hidup instan telah memengaruhi proses guru membersamai siswa dalam pembelajaran. Dan didalam corak kehidupan anak SMA dikenal dengan istilah mager, malas gerak, alias mereka menghabiskan waktunya dengan bermain game, tidur-tiduran dalam kurun waktu yang lama. Ini adalah sebuah fenomena yang harus dikritisi, diwaspadai oleh orang tua dan guru di sekolah. Kebiasaan yang dibentuk oleh generasi ini, menciptakan budaya “malas berpikir; kalau pun berpikir, berpikir seadanya, tidak ada daya juang untuk lebih jauh dari sekadar aku berpikir. Hal ini berbalik arah dari perkataan Rene Descartes, Filsuf eksistensial, aku berpikir maka aku ada, cogito ergo sum.

Peluang untuk menciptakan proses berpikir secara luas dan mendalam, salah satunya seorang anak dihadapkan dengan sebuah masalah yang dihadapi. Anak banyak belajar mengolah pikiran, membuat keputusan serta menentukan cara dan pilihan tepat untuk dirinya. Akan tetapi, gagasan ini memiliki tantangan tersendiri di dunia parenting. Beragam cara dalam mengasuh anak. Perlu diingat bahwa mengasuh anak harus ada batasan, yaitu what should I do,  bagaimana kita harus melihat dengan peluang kehidupan anak dikemudian hari. Apa pun yang kita didik hari ini, adalah cara kita mempersipkan seorang anak untuk menikmati masa depan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun